1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tanggung Jawab Cina di Pembangunan KCJB Indonesia

Yu-Chun Chou
3 Januari 2024

Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi proyek infrastruktur skala besar Cina yang dianggap sukses. Namun, masyarakat lokal ternyata terkena dampak negatifnya.

https://p.dw.com/p/4anMU
Pegawai kereta cepat Jakarta-Bandung "Whoosh"
Pegawai kereta cepat "Whoosh" menanti kehadiran para penumpang di Stasiun Padalarang, Jawa BaratFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Lewat program Belt and Road Initiative (BRI) Cina berinvestasi dalam berbagai proyek infrastruktur berskala besar di Asia Tenggara, salah satunya Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang terbilang sukses. Namun, masalah lingkungan dan dampaknya pada tempat tinggal masyarakat yang terimbas proyek diabaikan dan sulit untuk meminta pertanggung jawaban dari Cina. Bagaimana cara mengatasi masalah akibat BRI ini?

Menaiki KCJB yang dibri nama "Whoosh" serupa layaknya naik kereta cepat di Cina, karena tidak hanya gerbongnya saja, tapi peralatan dan pelayanannya juga mirip seperti yang ada di negara Tirai Bambu tersebut. Ternyata, moda transportasi ini merupakan kereta cepat pertama asal Beijing "yang digunakan di luar Cina dengan keseluruhan sistem, elemen, dan rantai industrinya,” serta digambarkan sebagai "golden brand" dari kerja sama Cina dan Indonesia dalam BRI.

Berdasarkan klaim dari China Railway International Company, KCJB yang resmi beroperasi pada Oktober 2023 ini dalam dua bulan pertama saja, secara kumulatif telah mengangkut satu juta penumpang.

Di balik citra positif yang dipromosikan pemerintah Cina, ternyata ada cerita lain yang tersembunyi. Sejumlah narasumber membeberkan kepada DW bahwa lokasi stasiun KCJB yang tidak terletak di tengah-tengah kota sehingga membutuhkan bus pengumpan atau moda transportasi lainnya, membuatnya tidak senyaman yang diharapkan. Selain itu, harga tiket KCJB yang relatif tinggi untuk warga kebanyakan di Indonesia, kemungkinan hanya menguntungkan pengguna kelas menengah. Bagi pelaku industri di bidang pertanian ini justru berdampak buruk.

Kereta cepat "Whoosh"
Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) bernama "Whoosh" terparkir di Stasiun Halim, Jakarta TimurFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Dampak negatif Kereta Cepat Jakarta-Bandung

"Cina itu yang paling tidak mengikuti kaidah-kaidah yang seharusnya dijalankan di Indonesia," kata Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Daerah (Ekda) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Jawa Barat kepada DW. Dia menyebut, kasus-kasus yang berhubungan dengan Cina menjadi yang paling sulit untuk diadvokasi.

Wahyudin menyinggung bahwa negara lain memiliki semacam aturan atau panduan terkait masalah lingkungan, tapi tidak dengan Cina. Ketika berurusan, baik dengan pemerintah atau perusahaan Cina, para aktivis sulit untuk menemukan mekanisme yang efektif untuk meminta pertanggung jawaban dari mereka.

Proyek KCJB ini semestinya mengikuti langkah-langkah pembangunan agar memenuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang sesuai dengan aturan. Namun, faktanya proses promosi proyek ini sendiri juga telah dipolitisasi, selain pemerintah Cina menganggapnya sebagai proyek "unggulan" dari BRI, pemerintah Jokowi juga mencantumkan KCJB ini ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membuatnya semakin menjadi prioritas.

Wahyudin menyebutkan lebih lanjut, dokumen-dokumen pendukung terkait proyek pembangunan ini disetujui secara cepat sehingga masyarakat lokal tidak mendapatkan akses informasi yang layak terkait proyek ini dan tidak memiliki andil dalam proses asesmen.

Tidak ada respons atas keluhan warga

Joanna Klabisch, manajer NGO Jerman Stiftung Asienhaus yang fokus terhadap program Cina sempat berkunjung ke salah satu komunitas masyarakat di Bandung pada Oktober 2022 atas undangan dari WALHI. Dia membuat semacam laporan mengenai dampak yang ditimbulkan dalam pembangunan proyek KCJB ini terhadap masyarakat lokal.

"Kami melihat bagaimana rumah-rumah terdampak. Anda bisa melihat keretakan di dinding rumah masyarakat lokal. Beberapa rumah yang berada di lereng, bahkan bergeser turun hingga beberapa sentimeter… Dan penduduk juga mengadu kepada kami persoalan lain yang tidak bisa kami bayangkan. Selain itu, ada banyak ledakan yang membuat satwa liar di perbukitan ketakutan sehingga masyarakat juga harus berhadapan dengan ular dan monyet yang menyelamatkan diri ke kawasan pemukiman penduduk."

Masalah tidak hanya itu saja. WALHI juga mengatakan kalau tanah hasil galian proyek yang dibuang ke jalanan oleh para pekerja juga berdampak terhadap sumber mata air dan saluran drainase, yang akhirnya menyebabkan banjir dan tanah longsor bakal sering terjadi di kawasan tersebut.

Masyarakat sendiri telah meminta kompensasi atas kerugian yang menimpa mereka akibat dari pembangunan proyek ini. Namun, PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), sebuah perusahaan gabungan dari badan usaha milik negara antara Cina dan Indonesia tidak merespons dengan baik permintaan masyarakat. Sebelum pembangunan dimulai, WALHI juga sempat menyurati China Development Bank (CDB) yang ikut berinvestasi dalam pembangunan ini, tapi juga tidak ada respons baik.

Kereta Cepat Whoosh: Benarkah Diperlukan Warga Saat Ini?

Investasi Cina sebabkan banyak keluhan masyarakat?

Kepada DW, seorang aktivis yang tidak ingin disebutkan namanya dari NGO Cina yang berfokus pada investasi luar negeri Cina, mengatakan bahwa secara umum perusahaan Cina yang berinvestasi di luar negeri belum memiliki tradisi komunikasi dengan masyarakat lokal atau NGO. Juga keterbukaan informasi dan transparansi masih kurang. Terlepas dari ideologi politik, kata dia, investasi Cina melalui BRI ini merupakan hal yang baik di satu sisi, tapi di sisi lain buruk dalam masalah implementasi. Contohnya soal manajemen lingkungan dan sosial sehingga membuat hal yang baik menjadi buruk.

Hal senada disampaikan Joanna Klasbich. Dia menyebut sebetulnya Cina memiliki sumber daya, teknologi, dan pembangunan kereta cepat di negara berkembang sejatinya dapat meningkatkan perekonomian setempat. "Hanya saja KCJB belum memenuhi standar sosial dan lingkungan yang harusnya dipatuhi," kata Klasbich. Jadi sebenarnya kuncinya adalah soal standar dan prosedur penilaian yang benar-benar diterapkan.

Ternyata setelah hampir 10 tahun program BRI, pemerintah Cina baru mulai menyadari bahwa dampak negatif dari proyek infrastruktur luar negeri ini juga membuat citra Cina jadi buruk sehingga ada perintah langsung untuk "pembangunan BRI berkualitas tinggi” dari Presiden Xi Jinping," papar manajer NGO Jerman Stiftung Asienhaus itu.

Peran NGO di Cina

Terkait inisiatif soal BRI ini, anggota NGO Cina berpendapat: "tidak peduli apa niat awal pemerintah, tidak peduli apa tujuan awalnya, begitu diusulkan, kita harus menggunakannya dengan baik dan mengubahnya menjadi BRI yang kita inginkan."

Dia menambahkan bahwa proyek BRI yang ideal mestinya mempertimbangkan kebutuhan penduduk setempat, menyelesaikan analisis dampak lingkungan dan sosial, serta merelokasi penduduk dengan layak jika diperlukan, hingga membuat mekanisme pengaduan yang transparan.

Premis tersebut sebagian besar tidak ada dalam kasus infrastruktur luar negeri Cina yang ada saat ini. Pengawasan masyarakat sipil dibutuhkan dalam kasus seperti ini. Kemudian, peran NGO Cina sebagai jembatan perusahaan dan target investasi bahkan menjadi hal yang penting.

Anggota NGO Cina menunjukkan bahwa masyarakat dan NGO lokal tidak hanya menghadapi permasalahan bahasa, tapi juga perbedaan budaya dan kosakata yang digunakan saat mereka hendak mengadukan masalah yang timbul karena investasi Cina. "Ini bukan hanya masalah penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Mandarin atau bahasa lokal, tetapi ada bahasa yang lebih dapat diterima oleh pihak Cina.”

Di negeri Tirai Bambu ini, sulit bagi kelompok masyarakat sipil untuk mengkritik pemerintah secara langsung sehingga NGO di sana cenderung menggunakan istilah seperti "peradaban ekologis” dan "keharmonisan antara manusia dan alam” untuk melakukan advokasi, ketimbang menggunakan istilah "hak asasi manusia”.

Ketika ada permintaan dari NGO asing, dengan kecukupan dana, NGO di Cina dapat mengintervensi kasus ini dan memberikan dukungan yang diperlukan, seperti berdiskusi dengan investor Cina, mempromosikan "pendidikan investor”, contohnya komunikasi dengan perusahaan, menerbitkan panduan, dan hal lain untuk membuat Cina lebih memahami risiko dan aturan lokal di negara tempat mereka berinvestasi.

Reporter DW Indonesia Muhammad Hanafi berkontribusi dalam tulisan ini

(mh/as)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!