1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketidakacuhan Politik Perburuk Deforestasi

Riazul Islam5 Juni 2015

Ekspansi ekonomi dan ketidakpedulian politik mendorong pengawahutanan yang begitu cepat di Indonesia, mengancam keragaman hayati. Indonesia bahkan dilaporkan memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia.

https://p.dw.com/p/1Ccyd
Foto: imago/Photoshot/Balance

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia melewati pertumbuhan ekonomi yang kuat, yang dilansirkan mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan. Namun kisah pertumbuhan negeri mempunyai sisi negatif: pengawahutanan yang pesat. Permintaan tinggi - baik lokal maupun asing - atas produk-produk hutan seperti minyak sawit, bubur kayu dan kertas mendorong deforestasi, menurut organisasi riset Center for International Forestry Research (CIFOR).

Studi terbaru dari Universitas Maryland menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia. Antara tahun 2000 dan 2012, Indonesia kehilangan hampir 16 juta hektar hutan, yakni areal seluas Yunani. Lahan hutan semakin banyak yang diubah menjadi zona industri atau lahan pertanian. Lebih jauh, pembalakan liar, pertambangan dan kebakaran hutan memicu kekhawatiran para pakar lingkungan karena mengancam keragaman hayati dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Kurangnya minat politik terhadap perlindungan lingkungan dan lemahnya tata kelola pemerintahan bertanggung jawab atas kenaikan laju deforestasi di Indonesia, ujar Bruno Vander Velde dari CIFOR.

Absennya kemauan politik

Sebagai upaya menekan pengawahutanan, pemerintah Indonesia mendeklarasikan moratorium bulan Desember 2011, yang melarang keluarnya lisensi untuk mengubah hutan dan lahan gambut menjadi tanah pertanian atau untuk penggunaan lainnya. Namun langkah ini gagal untuk memperlambat raibnya areal hutan.

Pakar lingkungan menyalahkan kegagalan pemerintah pada kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan provinsi, pengawasan yang lemah dan meluasnya penyimpangan pada tingkat pemerintahan lokal. Ketidakacuhan politisi terhadap isu perubahan iklim juga dianggap memperparah masalah ini.

"Pertumbuhan ekonomi dan memaksimalkan pemasukan dengan merusak sumber daya alam menjadi satu-satunya prioritas elit politik. Banyak pembuat kebijakan yang mempunyai kepentingan bisnis dan mereka hanya memikirkan laba," ujar Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), seraya menimpalkan bahwa DPR hampir tidak pernah mendiskusikan isu lingkungan.

Indonesia kaya akan sumber daya alam, namun partai-partai politik menaruh sedikit perhatian untuk perlindungannya. Contohnya, sepanjang kampanye pemilihan presiden, tak ada kandidat yang "menunjukkan komitmen yang kuat untuk melindungi lingkungan," kata Bustar Maitar, ketua kampanye hutan Indonesia untuk Greenpeace.

Kalangan aktivis menyerukan kepada pemerintah untuk tidak menaruh pertumbuhan produk domestik bruto di atas perlindungan lingkungan.

Lemahnya pengawasan

Data terbaru memperlihatkan bahwa 38 persen dari total kehilangan hutan di Indonesia terjadi di hutan primer lindung dan hilangnya lahan hutan secara keseluruhan meningkat rata-rata 47.600 hektar per tahun.

Tarigan menemukan bukti adanya praktek pembalakan liar dan pengawahutanan di wilayah hutan lindung. "Pemerintah lokal tidak punya kapasitas untuk memonitor lahan hutan yang begitu luas dan ini dimanfaatkan oleh pebisnis yang tidak jujur," jelasnya.

Alasan lain mengapa hilangnya lahan hutan gagal dicegah adalah sebagian besar deforestasi justru terjadi di luar wilayah hutan primer lindung, menurut para ahli. "Inilah mengapa moratorium harus diperluas ke hutan-hutan alamiah sehingga konversi hutan dapat dimonitor dan dikurangi," Maitar menekankan.

Mengancam keragaman hayati

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), total vegetasi hutan di Indonesia memproduksi lebih dari 14 miliar ton biomassa, atau sama dengan kurang lebih 20 persen biomassa di seluruh hutan tropis Afrika.

Indonesia hanya meliputi 1,3 persen daratan di muka bumi, namun menjadi rumah bagi 11 persen spesies tanaman dunia, 10 persen spesies mamalia dan 16 persen spesies burung. Namun deforestasi yang terus menerus, perburuan liar dan perdagangan telah membawa dampak buruk bagi keragaman hayati di Indonesia.

Menurut CIFOR, populasi gajah turun 35 persen antara tahun 1992 hingga 2007 akibat pengawahutanan. Sementara jumlah harimau Sumatera menurun dari 400 menjadi 500. Bahkan badak Sumatera dan Jawa sudah masuk kategori terancam punah.