1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Belum Aman

Andy Budiman11 April 2014

Joko Widodo belum aman. Perolehan suara PDI-P meleset dari perkiraan. Hitung cepat menempatkan partai pengusung Jokowi itu gagal memenuhi syarat 25 persen agar bisa mengajukan kandidat tanpa perlu berkoalisi.

https://p.dw.com/p/1Bg9R
Foto: Reuters

Jajak pendapat sebelum pemilu yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan Jokowi punya peluang terbesar menang dalam pemilihan presiden dengan selisih tajam sekitar 15 persen dibanding Prabowo Subianto dari Gerindra.

“Tapi itu bukan jaminan bahwa ia akan memenangkan Pilpres,” kata direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskrido Ambardi kepada Deutsche Welle.

“15 persen dalam pengalaman di Pemilihan Kepala Daerah (Pillkada) bukan jarak aman. Yang kedua masih bisa menyusul yang pertama. Jadi kita hanya bisa bilang prospek Jokowi paling bagus…“ kata direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskrido Ambardi kepada Deutsche Welle.

“Akan sangat tergantung siapa calon wakil presiden yang diambil Jokowi dan kandidat lainnya, karena itu mewakili koalisi.“

Kuskrido Ambardi Politikwissenschaftler Indonesien
Kuskrido Ambardi: tak akan ada kuda hitam dalam pemilihan presiden.Foto: Kuskrido Ambardi

Deutsche Welle: Apakah kemenangan Jokowi, sudah bisa dipastikan?

Kuskrido Ambardi: Sudah bisa dibaca, tapi degree of uncertainty (derajat ketidakpastian) itu masih ada, jadi tidak otomatis Jokowi akan menang secara mudah. Apalagi, para politisi lawannya belum menyerang secara telak, secara sistematik, sehingga kalau kita mau berhitung dengan data survei yang sekarang, masih banyak faktor yang belum berpengaruh pada publik, dan masih ada waktu sekitar tiga bulan lagi sebelum pemilihan presiden. Sejauh ini, Jokowi memang prospeknya paling bagus…

Deutsche Welle: Apakah masih ada kemungkinan muncul kuda hitam di luar Jokowi dan Prabowo?

Kuskrido Ambardi: Kelihatannya tidak, karena kalau berdasar survei kami, nama-nama lain begitu kecil, angkanya di bawah 3 persen. Kalau bertarung di panggung nasional, itu bunuh diri, kalau tidak mengatakan itu sia-sia saja. Jadi sejauh ini dalam benak pemilih ya nama-nama yang selama ini nongol di media. Mereka yang mendeklarasikan atau diidentifikasi sebagai calon potensial, dukungan politiknya tidak begitu tinggi.

Kehadiran Jokowi menimbulkan semacam sensasi. Bahkan media asing menyebut Jokowi sebagai “Obama dari Indonesia“.

Meski populer, sejumlah kalangan terutama para investor masih bertanya-tanya tentang orientasi ekonomi Jokowi. Para ekonom dan investor punya kekhawatiran mengenai sikap Populis yang diperlihatkan "Obama dari Indonesia" tersebut.

Deutsche Welle: Apakah anda melihat Jokowi punya kecenderungan Populis?

Kuskrido Ambardi: Populisme itu antara lain ditunjukkan dalam program redistribusi ekonomi, Jokowi memang akan melakukan itu. Tapi problemnya, akan dibiayai uang dari mana? Itu rupanya sudah dijalankan di Solo dan sekarang di Jakarta. Tapi kemudian ada pertanyaan dari mana pembiayaan program-program yang populis itu? Nah kemudian ada dilema bagi Jokowi, meneruskan kebijakan populer tapi kemudian harus ada politik baru budgenting, atau meninggalkan kebijakan-kebijakan populis yang berbiaya besar. Nah kelihatannya Jokowi mencoba mencari jalan tengah. Untuk sementara ini di DKI misalnya, tanggungan lebih dari dua trilyun dana santunan kesehatan dan pendidikan, belum terpecahkan. Tapi saya tidak melihat Jokowi adalah orang yang keras dan tidak mau berkompromi. Saya kira dia akan mencari jalan tengah. Dia tidak akan meninggalkan apa yang sudah dipilihnya yakni kebijakan populis, cuma dia bersiasat mencari pembiayaan untuk program-program ini. Jika ia terpilih sebagai presiden, di tingkat nasional saya kira akan terjadi kompromi.

Kuskrido Ambardi, Dosen Universitas Gajah Mada, Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI).