1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertanyaan untuk Jokowi

8 April 2014

Dalam tanda-tanda yang jelas bahwa gubernur populer Jakarta akan menjadi presiden berikutnya, muncul tekanan agar dia menjelaskan pemikirannya tentang Indonesia sebelum menjabat.

https://p.dw.com/p/1BdbV
Foto: ADEK BERRY/AFP/GettyImages

Itu menggambarkan bahwa setelah satu setengah tahun berkuasa di ibukota Indonesia, tak seorangpun yakin tentang bagaimana wajah kepresidenan di bawah Jokowi kelak.

Para pemilih di Negara demokrasi ketiga terbesar dunia akan ke tempat pemungutan suara pada hari Rabu untuk memilih parlemen baru. Hasilnya akan menentukan siapa yang akan bisa maju dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Dalam wawancara beberapa bulan terakhir dengan para pejabat dan politisi yang pernah bekerja dengan Jokowi, yang beberapa diantaranya dekat, yang muncul adalah kesan tentang seorang pemimpin yang dianggap cukup punya ketertampilan politik yang menampilkan dirinya sebagai figur berbeda dengan reputasi bersih di negara yang penuh korupsi.

Bekas pemilik usaha mebel itu juga menyentuh awam, dengan sering mengunjungi jalan-jalan Jakarta untuk melihat secara luas tantangan dekat yang ia hadapi.

Tapi rencana kebijakannya bagi negara ekonomi terbesar Asia Tenggara itu masih dilihat sebagai sebuah kertas kosong.

“Jokowi harus menyampaikan pikirannya, solusi atau kebijakan yang akan ia jalankan untuk memecahkan masalah rumit yang kini sedang dihadapi negara ini,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah wawancara yang diposting di Youtube. Yudhoyono sendiri, selama berkuasa menghadapi kritik keras atas kepemipinannya yang tidak tegas.

Jokowi, 52 tahun, dilihat sebagai generasi baru pemimpin yang menawarkan terobosan atas orang-orang lama yang telah mendominasi politik Indonesia yang masih terus berkuasa bahkan 16 tahun setelah jatuhnya bekas diktator Suharto.

Kertas kosong

Jokowi, menolak memberikan wawancara atau menjawab soal kebijakannya secara langsung kepada media sejak dinominasikan sebagai presiden bulan lalu.

Para petinggi PDI Perjuangan dalam wawancara menyatakan platform partainya “sangat nasionalis” namun hanya memberikan detail yang sedikit tentang apa artinya itu bagi kebijakan khususnya ekonomi di Negara demokrasi Muslim terbesar dunia tersebut.

Baik Jokowi dan PDI Perjuangan mengatakan mereka menangguhan pertanyaan-pertanyaan seputar itu hingga setelah pemilu parlemen pekan ini selesai.

“Agenda kami juga adalah agenda Jokowi jika ia menjadi presiden,” kata anggota parlemen dari PDI Perjuangan, Budiman Sudjatmiko.

“(Megawati) tidak akan menyetir dia tapi… dia akan menjadi tangan pembimbing.”

Akhir tahun lalu, Jokowi mengkritik inisiatif memperkenalkan proyek jutaan milyar dollar mobil murah hamat bahan bakar yang ditujukan kepada kelas menengah Jakarta, mengatakan bahwa jalan-jalan ibukota sudah terlalu padat kendaraan. Ia juga menolak memberikan izin baru bagi pembangunan mal, juga dengan menyatakan bahwa itu sudah terlalu banyak. Namun dalam sebuah langkah yang dipuji oleh dunia usaha, ia membatasi kenaikan upah jauh dibawah tingkat yang dituntut oleh serikat buruh.

“Jokowi sekarang adalah sebuah halaman kosong: tidak berpengalaman di tingkat politik nasional dan dengan kecenderungan populis,” kata seorang pimpinan kelompok lobi bisnis asing yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Sejumlah catatan “campuran” mewarnai kiprah Jokowi.

Ketika kelompok Islam garis keras memprotes penunjukkan seorang perempuan Kristen menjadi pejabat publik, Jokowi membela Lurah Susan Zulkifli agar terus memegang jabatannya.

Untuk mengatasi kemacetan kronis, tahun lalu ia memulai pembangunan proyek sistem transportasi massal yang sudah diusulkan lebih dari 20 tahun yang lalu. Ia juga memberisihkan Tanah Abang dan berhadapan dengan para preman yang menguasai lokasi itu dan berhasil meminta kios-kios yang tadinya didirikan di jalan untuk pindah ke lokasi yang disediakan pemerintah.

ab/ml (rtr, afp,ap)