1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Starlink: Kunci Penting bagi Pertahanan Ukraina

Fred Schwaller
18 Oktober 2022

Layanan internet cepat di daerah tertinggal memang terdengar menjanjikan. Namun, bagaimana cara kerja Starlink dan mengapa internet satelit SpaceX milik Elon Musk itu begitu kontroversial?

https://p.dw.com/p/4IH2M
Gambar ikonik 40 satelit SpaceX yang dihancurkan oleh badai geomagnetik.
Program Starlink SpaceX menyediakan internet satelit ke lebih dari 40 negaraFoto: Mariana Suarez/AFP

SpaceX milik Elon Musk mulai memberikan akses internet gratis kepada Ukraina melalui layanan internet Starlink, tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina.

Manfaat strategisnya jelas, yakni akses internet untuk rakyat Ukraina dan militer negara tersebut setelah Rusia mengganggu dan memutus koneksi internet sejak memulai invasi.

Teknologi ini telah berperan penting dalam memandu serangan pesawat tak berawak Ukraina terhadap sejumlah tank dan posisi militer Rusia. Namun, kini nasib akses internet gratis Starlink bagi Ukraina, mulai tidak pasti.

Seminggu setelah pertengkaran cuitan di Twitter dengan Duta Besar Ukraina Andrij Melnyk, Elon Musk mengatakan pada hari Jumat (14/10) bahwa SpaceX tidak akan lagi memberikan layanan Starlink secara gratis kepada warga Ukraina. Bahkan Pentagon dilaporkan telah diminta untuk membayar tagihannya.

Bagaimana cara kerja Starlink?

Program Starlink milik Elon Musk ini mampu memasok layanan internet ke daerah terpencil, di mana infrastruktur telekomunikasi di wilayah tersebut masih sangat sedikit, contohnya seperti di laut, di kawasan pelosok yang jauh dari hiruk-pikuk kota, ataupun wilayah yang dibatasi akses internetnya oleh pemerintah.

Starlink merupakan konstelasi satelit, menyediakan akses layanan internet dengan transportasi data melalui cahaya, hampir mirip dengan kabel serat optik. Transfer data ini difasilitasi melalui jaringan satelit kecil, yang akan berkomunikasi dengan penerima data di Bumi yang telah dirancang untuk itu.

SpaceX memiliki sekitar 3.000 satelit di Orbit Bumi rendah atau low Earth orbit (LEO), yakni wilayah di ruang angkasa dengan ketinggian di bawah 2.000 kilometer dari permukaan Bumi. Satelit-satelit tersebut berbagi orbit dengan teleskop luar angkasa Hubble dan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

SpaceX mulai meluncurkan satelit Starlink pada tahun 2019 silam. Perusahaan menyebutkan, mereka berencana untuk memperluas jaringan Starlink hingga 12.000 satelit, di mana masih ada kemungkinan untuk terus memperluas jaringan hingga 42.000 satelit.

Seperti halnya layanan internet satelit lainnya, diperlukan beberapa komponen, baik di darat maupun di langit, untuk dapat menyediakan akses internet melalui Starlink.

Pertama, untuk menghubungkan perangkat seperti ponsel dan komputer ke satelit terdekat, diperlukan perangkat penerima di darat. Perangkat penerima ini yang secara otonom akan menyelaraskan piringan penerima, yakni alat yang menyerupai parabola TV, dengan satelit yang tersedia. Kemudian, barulah koneksi internet dapat diakses dan digunakan.

Gambar Ilustrasi Jaringan satelit SpaceX Starlink
Sejak 2019, perusahaan luar angkasa SpaceX telah meluncurkan sekitar 3.000 satelit ke orbit Bumi rendah (LEO)Foto: Science Photo Library/imago images

Apa keunggulan Starlink?

Starlink bukanlah layanan pertama yang menawarkan akses internet satelit. Namun, Starlink memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan para pesaingnya.

Satelit Starlink mengorbit Bumi pada ketinggian 328 hingga 614 kilometer, jauh lebih rendah daripada pesaingnya HughesNet, yang mengorbit Bumi pada ketinggian 35.000 kilometer.

Karena mengorbit Bumi di ketinggian yang relatif rendah, memungkinkan Starlink mengalirkan data sekitar 10 kali lebih cepat dibanding HughesNet, salah satu pesaing utama Starlink.

Sejauh ini, Starlink hanya tersedia di 40 negara, meliputi sebagian Amerika Serikat, Kanada, Eropa tengah dan selatan, sebagian Amerika Latin, serta Australia selatan. Dengan kata lain, masih banyak wilayah yang belum memiliki jangkauan internet yang baik, seperti yang dimaksudkan oleh Starlink di awal.

Hal ini mungkin saja disebabkan sebagian oleh faktor harga internet satelit Starlink yang masih relatif sangat mahal. Untuk perangkat penerima saja membutuhkan biaya sekitar $600 (setara Rp9,2 juta), sementara biaya penggunaan per bulannya mencapai $110 (setara Rp1,7 juta).

Internet satelit hampir tidak begitu dibutuhkan di daerah dengan jangkauan jaringan yang sudah cukup baik atau memuaskan. Kecuali jika seseorang sering bepergian menggunakan perahu atau kendaraan motorhome sejenis mobil van kemah, yang menginginkan koneksi internet cepat dan kuat secara permanen, di daerah yang cukup terpencil.

Foto Elon Musk
Akankah Elon Musk akhirnya menjual proyek Starlink pribadinya kepada penawar tertinggi?Foto: JIM WATSON/AFP

Mengapa Starlink begitu kontroversial?

Internet cepat bagi semua orang, di seluruh penjuru Bumi, memang terdengar begitu menjanjikan pada awalnya. Namun, tetap saja internet satelit Starlink sangat kontroversial.

Penyediaan layanan Starlink bagi rakyat Ukraina merupakan kesepakatan publik antara Elon Musk dan Mykhailo Fedorov, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Transformasi Digital Ukraina, melalui akun Twitter pribadinya. Dengan kata lain, perjanjian ini terjadi tanpa debat publik, bahkan tanpa pengawasan pemerintah.

Muncul pula kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi jika Musk menjual proyek Starlink miliknya kepada penawar tertinggi, setelah situasi perang selesai. Apa yang akan terjadi jika perusahaan swasta dengan sedikitnya pengawasan dari pemerintah seperti SpaceX, memiliki kendali atas jaringan yang membentang di Bumi ini?

Penumpukan satelit dan puing-puing luar angkasa

Ada kekhawatiran lainnya, bahwa SpaceX "memenuhi" orbit kita dengan satelit pribadinya. Satelit Sputnik pertama diluncurkan ke luar angkasa pada tahun 1957 dan sekitar 8.500 peluncuran satelit lainnya telah menyusul sejak itu.

Jaringan Starlink diperkirakan akan terus bertambah hingga mencakup 42.000 satelit di tahun-tahun mendatang. Hal ini dikhawatirkan para ahli akan memenuhi orbit Bumi, serta menempatkan satelit lainnya dalam bahaya dan juga menghambat para astronom untuk dapat melakukan pengamatan luar angkasa dari Bumi.

Selain itu, satelit Starlink juga telah dituduh dapat menyebabkan kekacauan luar angkasa karena hampir bertabrakan dengan satelit lainnya, akibat meningkatnya kepadatan di jalur orbit Bumi rendah (LEO).

Para ahli turut memperingatkan kemungkinan adanya penumpukan yang akan menyebabkan efek domino di ruang angkasa kita, jika kepadatan ini terus berlanjut. Walaupun secara otomatis, satelit telah dirancang untuk mengubah lintasannya agar menghindari kemungkinan tabrakan yang dapat memicu reaksi berantai, ketika satelit lainnya bereaksi terhadap pergeseran arah jalur lintasan.

Masalah lainnya adalah umur yang relatif pendek dari satelit Starlink Musk, yang telah berhenti beroperasi setelah sekitar lima tahun mengorbit. Alih-alih kembali ke Bumi, begitu satelit Starlink berhenti berfungsi, mereka akan tetap berada di luar angkasa yang menyebabkan meningkatnya jumlah penumpukan puing-puing ruang angkasa.

Beberapa satelit lamanya bahkan terbakar saat mencoba masuk kembali ke atmosfer Bumi, sementara satelit barunya harus terus-menerus diluncurkan ke luar angkasa untuk menghindari adanya celah kosong dalam jaringan.

(kp/as)