1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Shisha atau Cerutu? Lebarnya Jurang Kaya Miskin di Lebanon

Dario Sabaghi
1 Agustus 2023

Krisis ekonomi Lebanon tidak membuat orang berhenti menghisap tembakau. Kalangan ekonomi terbatas harus puas dengan shisha, sementara yang berpunya bisa menghisap cerutu sebagai simbol status.

https://p.dw.com/p/4UaDD
Sekotak cerutu di Lebanon
Cerutu menjadi semacam simbol status ekonomi di Lebanon yang masih dibekap krisis ekonomiFoto: Dario Sabaghi /DW

Saat berjalan-jalan di sepanjang kafe dan restoran di Beirut, Lebanon, tidak mungkin untuk melewatkan aroma intens tembakau wangi buah yang berhembus dari hookah atau shisha dan langsung meresap ke hidung.

Hookah, yang secara lokal dikenal sebagai narghile atau shisha, adalah pipa air yang digunakan untuk merokok tembakau atau tembakau beraroma (atau moassal). Di sini, menghisap shisha bukan sekadar tentang menikmati tembakau, tetapi juga aktivitas sosial, tradisi, dan ritual. Kebiasaan ini dinikmati oleh pria dan wanita dari semua lapisan masyarakat.

Tony, 28, bekerja di sebuah kafe di Furn El-Chebbak, di pinggiran ibu kota Lebanon. Di sana dia mengambil potongan arang panas dari anglo yang menghitam dan menaruhnya di mangkuk shisha. Mangkuk itu terdiri dari tembakau beraroma yang ditutup dengan kertas timah berlubang. Tony bergegas membawa shisha itu ke pelanggan.

"Kami didatangi ratusan pelanggan per hari. Banyak dari mereka yang datang rutin. Mereka datang ke sini untuk bersantai, untuk melepaskan diri dari masalah," kata Toni kepada DW.

Bagi banyak orang Lebanon, meskipun dilanda krisis ekonomi sejak akhir 2019, merokok shisha tetap jadi pilihan populer. Berbeda dengan cerutu, misalnya, yang seolah jadi hak istimewa bagi elit kaya yang mampu membeli kemewahan. Tren ini menyoroti bagaimana krisis ekonomi memperparah kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.

Salah satu toko yang menjual hookah atau shisha di Beirut, Lebanon
Salah satu toko yang menjual hookah atau shisha di Beirut, Lebanon. Krisis ekonomi tidak membuat masyarakat berhenti menghisap shisha dan cerutuFoto: Dario Sabaghi /DW

Murah meriah melepas stres ditemani shisha

Somar, 28, tengah bersantai bersama temannya di luar kafe, menghisap shisha dengan tembakau rasa apel setelah menyelesaikan pekerjaannya di klinik transplantasi rambut.

"Semua orang menyukainya. Setelah bekerja, saat Anda merokok, semuanya hilang dari pikiran Anda, dan Anda merasa bahagia dan terbebas dari stres," katanya kepada DW.

Somar membayar $3 (sekitar Rp45 ribu) untuk merokok shisha di kafe, tetapi dia menyebutkan bahwa beberapa kafe mungkin mengenakan biaya hingga $10 (Rp150 ribu), tergantung lokasi, kualitas tembakau, serta layanan.

Merokok shisha adalah praktik yang sangat umum di Lebanon, tapi tidak lantas ini menjadi bisnis yang menguntungkan bagi semua orang.

Mazen, 35, memiliki toko shisha kecil di lingkungan Sunni di Beirut. Dia mengatakan kepada DW bahwa bisnisnya tidak berjalan dengan baik. "Keadaannya lebih baik selama pandemi Covid-19 ketika ada lockdown. Semua orang merokok shisha di rumah di balkon. Tapi sekarang, bisnis melambat, meskipun harga yang saya berikan murah." Namun, seorang pemilik toko lainnya yakni Tarek Adada, 41, mengatakan bahwa bisnisnya lancar. 

Meski demikian, memang tidak semua orang mampu untuk merokok shisha setiap hari. Bagi Samir, pensiunan berusia 70-an, merokok shisha sudah menjadi kebiasaan. "Saya mencoba untuk merokok setiap hari selama satu setengah jam, tetapi saya tidak mampu membelinya setiap hari, meskipun harganya sekitar $2 (sekitar Rp20 ribu) di kafe."

Menurut data dari Tobacco and Tobacco Inventory Department (Al-Regie) yang dilaporkan oleh surat kabar lokal Al-Modon, jumlah perokok di Lebanon tetap stabil dalam beberapa tahun terakhir. Namun, segmen perokok shisha berkembang secara signifikan, yakni lebih dari dua kali lipat.

Produksi molase untuk shisha juga meningkat pesat, dari sekitar 228.139 kotak pada tahun 2020 menjadi 592.251 pada tahun 2022. Produksi molase di Lebanon meningkat lebih dari dua kali lipat selama krisis ekonomi antara tahun 2020 dan 2022. Pertumbuhan lebih lanjut juga diprediksi untuk tahun-tahun mendatang.

Cerutu jadi simbol status di Lebanon?

Pada akhir Mei, Statista, portal statistik di Jerman, menerbitkan laporan mengejutkan yang menyatakan bahwa warga Lebanon adalah pembeli cerutu terbesar di dunia pada tahun 2022.

Deepanshu Onkar, analis eksternal di Statista, mengatakan kepada DW bahwa Lebanon memiliki angka perokok jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Onkar juga mengatakan bahwa produk tembakau adalah komoditas jaminan, dan penjualan cerutu tetap tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi berkat daya tarik kemewahan dan kesan premiumnya. 

Woody Ghsoubi pemilik klub cerutu Club Mareva Beirut di Beirut, Lebanon
Woody Ghsoubi pemilik klub cerutu Club Mareva Beirut di Beirut, Lebanon. Tokonya dibuka saat pandemi corona tahun 2020Foto: Dario Sabaghi /DW

Woody Ghsoubi, 35, mengelola sebuah klub cerutu di ibu kota Lebanon bernama Club Mareva Beirut, bersama istri dan mitra bisnisnya Najat Abdo, 37. Dia mengatakan kepada DW bahwa cerutu pada dasarnya bukanlah produk mewah, tetapi di Lebanon, orang menganggapnya sebagai barang mewah. simbol status sosial.

"Ada orang-orang yang memperoleh uang selama situasi (krisis) ini, dan mereka menghabiskan banyak uang untuk membeli cerutu dan barang mahal lainnya, menganggapnya sebagai barang mewah," kata Ghsoubi.

Harga cerutu yang dijual Ghsoubi berkisar dari $9 (sekitar Rp135 ribu) hingga lebih dari $100 (lebih dari 1,5 juta) per cerutu, bahkan ada yang berharga $600 atau sekitar 9 juta rupiah, seperti cerutu Davidoff Oro Blanco. 

Ghsoubi mengatakan kepada DW bahwa dia membuka klub tersebut pada tahun 2020 saat pandemi COVID-19 dan krisis ekonomi. "Pelanggan kami menghabiskan rata-rata sekitar $500 per bulan (sekitar Rp7,5 juta) untuk rokok dan alkohol." 

Cerutu

Toko Ghsoubi juga terdapat humidor. Seorang pelanggan bernama Jan-Paul Abdallah memilih cerutu berikutnya untuk dihisap dari kotak itu. Manajer operasi berusia 44 tahun di sebuah perusahaan pialang mengatakan bahwa ayahnya dulu merokok cerutu. Sedangkan ia sendiri berusia sekitar 19 tahun ketika mulai merokok.

"Saya tidak pernah memikirkan berapa banyak yang saya habiskan untuk cerutu... Bisa dikatakan saya menghabiskan antara $300 (Rp4,5 juta) hingga mungkin $600 per bulan," katanya kepada DW.

Abdallah menjelaskan bahwa merokok cerutu belum tentu merupakan simbol status. "Saya tidak merokok cerutu karena status saya; saya merokok karena saya menyukainya. Saya tahu bahwa masyarakat mungkin memandang cerutu sebagai simbol status, tapi saya tidak peduli," ujar Jan-Paul Abdallah.

(ae/hp)