1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Referendum di Mesir Loloskan Konstitusi

dk/ml (dpa, dapd, afp)26 Desember 2012

Konstitusi Mesir diterima mayoritas rakyat, tapi AS dan Uni Eropa tetap ragu dan minta aturan demokrasi lebih besar. Sementara itu seorang menteri tinggalkan Morsi.

https://p.dw.com/p/1793W
An Egyptian election worker shows his colleagues an invalid ballot while counting ballots at the end of the second round of a referendum on a disputed constitution drafted by Islamist supporters of president Mohammed Morsi at a polling station in Giza, Egypt, Saturday, Dec. 22, 2012. Egypt's Islamist-backed constitution headed toward likely approval in a final round of voting on Saturday, but the deep divisions it has opened up threaten to fuel continued turmoil. (Foto:Nasser Nasser/AP/dapd)
Foto: AP

Di Mesir konstitusi baru yang kontroversial diterima dengan 63,8 persen suara. Ini diumumkan Komisi Pemilu di Kairo. Menurut keterangan komisi tersebut, sekitar 33 persen pemegang hak pilih ikut ambil bagian dalam referendum mengenai konstitusi tersebut. Oposisi menilai teks konstitusi tersebut terlalu bersifat Islamis, dan mengumumkan akan menolak hasil referendum itu akibat adanya manipulasi.

Dengan diterimanya konstitusi baru Mesir, terbuka jalan untuk pemilihan parlemen yang diajukan di negara tersebut. Seandainya meraih kemenangan, oposisi akan mengganti konstitusi yang diterima saat ini dengan usulan konstitusi baru. Meskipun konstitusi berhasil diterima lewat referendum, Presiden Mohammed Morsi tetap mendapat pukulan. Menteri Komunikasi Hani Mahmud menyampaikan pengunduran dirinya. Ia tidak sepaham dengan budaya kinerja pemerintah, demikian dikatakan Mahmud.

Reaksi Tahan Diri dari AS dan Uni Eropa

Sementara itu Amerika Serikat dan Uni Eropa menyerukan kubu yang saling bertikai di Mesir untuk berdamai. "Masa depan demokrasi di Mesir tergantung dari kesepakatan yang luas mengenai tatanan demokrasi baru dan institusi-institusinya," demikian dikatakan juru bicara kementerian luar negeri AS Patrick Ventrell di Washington. Lebih lanjut Ventrell mengatakan, "Mesir membutuhkan pemerintah yang kokoh secara luas, untuk dapat mengatasi berbagai tantangan yang ada."

Sebagai presiden yang terpilih secara demokratis, Mohammed Morsi memiliki "tanggung jawab istimewa," untuk menciptakan kepercayaan dan "memperluas dukungan untuk proses politik." Juru bicara kementerian luar negeri AS itu juga menunjuk pada "banyak warga Mesir menyatakan rasa keprihatinan yang dalam mengenai isi konstitusi tersebut."

Pernyataan yang bersifat menahan diri juga disampaikan pejabat tinggi urusan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton di Brussel. "Saya menerima informasi, bahwa mayoritas menyetujui konstitusi tersebut. Saya juga menerima informasi, bahwa partisipasi pemilih berkisar 33 persen," ujar Ashton. Lebih lanjut ia menjelaskan, Morsi seharusnya menciptakan kembali kepercayaan terhadap demokrasi. Ashton juga menyerukan kepada seluruh pihak untuk ambil bagian dalam dialog. Uni Eropa mendukung transisi menuju demokrasi negara di utara Afrika itu. Demikian Ashton.

Pihak oposisi Mesir khawatir, bahwa dengan konstitusi baru tersebut hukum Islam Syariah akan menjadi sumber utama penetapan peraturan. Kubu liberal, kiri dan Kristen menuduh Presiden Morsi mengabaikan hak-hak mereka.