1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Redupnya Kebebasan Ekonomi Lukai Reputasi Hong Kong

15 Maret 2024

Perusahaan asing bersiap hengkang ketika pemerintah Hong Kong berniat memperluas implementasi UU Keamanan Nasional Cina. Apakah eksodus korporasi menandakan berakhirnya reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan dunia?

https://p.dw.com/p/4dZYg
Sentra bisnis Hong Kong
Sentra bisnis Hong KongFoto: Mario Martinez/Westende61/IMAGO

Pandemi Covid-19, pengganyangan protes pro-demokrasi dan perang dagang Cina melawan Amerika Serikat membuat keok reputasi Hong Kong sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Pulau yang dulu diduduki Inggris itu diyakini telah kehilangan kemerdekaannya dan dianggap telah melebur dengan Partai Komunis Cina di Beijing.

Perkembangan Hong Kong menempatkan investor dalam dilema terhadap kota yang dulu dinamakan sebagai Permata Asia.

Sejak tahun 2019, jumlah perusahaan multinasional yang bermarkas di Hong Kong turun sebanyak 8,4 persen, menurut sensus ekonomi kota. Angkanya terlihat lebih mencolok pada perusahaan AS. Harian Wall Street Journal melaporkan, sebanyak sepertiga perusahaan AS sudah keluar dari Hong Kong dalam satu dekade terakhir.

Adapun perusahaan yang masih bertahan memangkas jumlah pegawainya, rata-rata hampir sebesar sepertiga dari jumlah sebelumnya.

Perda keamanan picu eksodus

UU Keamanan Nasional yang disahkan Presiden Xi Jinping pada 2020 direspons pemerintah Hong Kong dengan menerbitkan dua peraturan daerah demi menumpas gerakan pro-demokrasi. Legislasi pertama menyeret ratusan pegiat ke penjara dan membredel media-media independen. Perda kedua memudahkan aparat membidik individu, perusahaan atau kelompok swadaya yang dianggap subversif.

Konsul Jendral AS di Hong Kong, Gregory May, belum lama ini memperingatkan betapa kini perusahaan AS menggunakan laptop atau ponsel sekali pakai jika datang berkunjung, lantaran mengkhawatirkan kebocoran data. Dia menilai, Hong Kong perlahan memperkuat sensor internet seperti di daratan.

Kementerian Luar Negeri di Washington baru-baru ini juga mewanti-wanti, UU keamanan yang baru mengadopsi definisi yang "luas dan ambigu" tentang batas rahasia negara dan intervensi asing.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!  

Kemunduran demokrasi lemahkan kebebasan berbisnis

"Jika Anda berusaha membatasi kebebasan berkumpul dan berekspresi, Anda akan mendapat efek samping terhadap supremasi hukum dan kebebasan ekonomi," kata Matt Mitchell, peneliti di Frazer Institute di Kanada.

Tahun lalu, Frazer dan Cato Institute di AS menempatkan Hong Kong di peringkat ke46 dari 165 wilayah hukum di Indeks Kebebasan Manusia, anjlok dari posisi ke29 di tahun sebelumnya. Hanya Myanmar yang mencatatkan kemunduran lebih besar akibat kudeta militer. 

Namun, Mitchell meyakini posisi Hong Kong belum mencerminkan situasi teranyar. "Sangat mungkin bahwa peringkat Hong Kong akan semakin menurun," ujarnya.

Hong Kong juga untuk pertama kalinya merosot ke peringkat kedua dalam Indeks Kebebasan Ekonomi. Ia disalip Singapura yang kini memiliki 4.200 perusahaan multinasional, dibandingkan Hong Kong sebesar 1.336.

Keputusan pelaku usaha meninggalkan Hong Kong biasanya karena ingin menjauhi Beijing seiring eskalasi konflik geopolitik dengan AS. Terlebih kini, ketika AS membatasi akses perusahaan Cina terhadap produk semikonduktor berteknologi tinggi.

Peran baru bagi ekonomi Cina

"Jika Anda melihat lima pilar Hong Kong sebagai pusat keuangan, di samping pasar saham, ada empat pilar lain, yakni pasar obligasi, sektor asuransi, manajemen aset dan perbankan, semuanya mengalami perbaikan," kata Heiwai Tang, direktur Asia Global Institute di Universitas Hong Kong.

Menurut hasil risetnya sendiri, Tang mengklaim Hong Kong belakangan banyak menerima masuknya tenaga kerja muda yang berpendidikan tinggi. Selain itu, sistem hukum di Hong Kong masih terpisah sepenuhnya dari Cina dan tetap "independen, transparan dan adil."

Dia memprediksi, Hong Kong akan mempertahankan statusnya sebagai gerbang menuju Cina, bukan untuk negara Barat, tapi untuk perusahaan-perusahaan Asia dan Timur Tengah.

"Adalah hal prematur untuk memvonis Hong Kong telah berakhir dan bahwa kota ini tidak lagi hidup, tidak penting buat Cina atau dunia," tukasnya.

Bagi Mark Williams, ekonom kepala untuk Asia di Capital Economics, Inggris, Hong Kong kini bisa menjemput peran baru bagi perusahaan Cina yang ingin merambah pasar internasional. "Hong Kong menjelma dari pusat keuangan internasional menjadi sentra bisnis lepas pantai bagi Cina," kata dia.

"Dulu, Hong Kong harus bersaing dengan pusat keuangan lain untuk menjaring perusahaan Cina. Tapi perusahaan Cina kini khawatir mencatatkan diri di lantai bursa London atau New York. Bagi mereka, Hong Kong merupakan stau-satunya pusat keuangan global yang mampu menawarkan jaminan keamanan terhadap ketegangan geopolitik.

rzn/hp

Beijing's ever-tightening grip on Hong Kong

Nik Martin Penulis berita aktual dan berita bisnis, kerap menjadi reporter radio saat bepergian keliling Eropa.