1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKorea Selatan

Jelang Pemilu, Korsel Berjuang Melawan Disinformasi

3 April 2024

Masalah informasi palsu dan penyebaran disinformasi semakin membayangi kampanye pemilu di Korsel yang sudah tegang akibat perbedaan ideologi yang mendalam antara kedua partai utama.

https://p.dw.com/p/4eNB0
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol
Presiden Korea Selatan Yoon Suk YeolFoto: KIM MIN-HEE/Reuters

Kurang dari satu minggu menjelang pemilihan parlemen Korea Selatan pada 10 April, pihak berwenang berjanji untuk mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang mencoba mempengaruhi hasil pemilu, dengan menyebar disinformasi menggunakan deepfake kecerdasan buatan atau melakukan serangan siber terhadap proses pemilu.

Sebelum kampanye resmi dimulai pada tanggal 28 Maret lalu, Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan, NPA, menyebutkan, mereka meningkatkan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang merupakan upaya untuk melemahkan legitimasi pemilu.

Polisi dan petugas pemantau pemilu memang sudah sibuk jauh sebelum pemilu. Menurut berita kantor berita Yonhap, sampai 18 Maret lalu ada lebih 400 tuduhan aktivitas kriminal sehubungan dengan pemilu, dengan 676 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dari jumlah total kasus tersebut, 352 kasus melibatkan penyebaran informasi palsu, 72 kasus suap, dan 17 kasus terkait pelanggaran kampanye sebelum jadwal yang ditetapkan.

Pemimpin Oposisi Korea Selatan Ditikam di Leher

Deepfakes AI untuk memanipulasi opini publik

Banyaknya pengusutan penyebaran informasi palsu menggarisbawahi kekhawatiran pihak berwenang. Baru-baru ini, sebuah video di YouTube menarik ratusan ribu pemirsa sesaat setelah ditayangkan. Video itu memperlihatkan presiden Yoon Suk Yeol bersulang di pernikahan penyanyi populer Lim Young-woong. Padahal Lim Young-woong belum menikah dan acara pernikahan itu tidak ada.

Pada awal Maret, NPA meluncurkan program pembelajaran mendalam yang menggunakan 5,2 juta data untuk menganalisis video guna menentukan apakah video tersebut nyata atau deepfake yang dihasilkan komputer. Prosesnya memakan waktu sekitar lima menit, kata polisi, dan memiliki tingkat akurasi sekitar 80%.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Korea Selatan adalah negara yang pertama kali mengadopsi banyak teknologi informasi dan memiliki tingkat penggunaan media sosial dan sumber berita alternatif yang sangat tinggi,” kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Ewha Womans University di Seoul. "Presiden Yoon telah sering memperingatkan bahwa disinformasi, termasuk deepfake yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, merupakan ancaman terhadap integritas debat publik dan pemilu yang adil,” katanya.

Potensi pengaruh asing dalam pemilu

Hyobin Lee, seorang profesor politik dan etika di Universitas Nasional Chungnam, mengatakan pemilu tahun ini "lebih serius dan kritis” dibandingkan pemilu sebelumnya. "Sebagian besar "fake news" disebarkan oleh kubu konservatif, terutama karena pendukungnya cenderung berasal dari generasi tua,” katanya kepada DW. "Kaum konservatif menerapkan strategi negatif terhadap lawan-lawan mereka untuk memperkuat basis mereka,” tambahnya.

"Di Korea Selatan, terdapat perpecahan yang mencolok antara sayap kiri dan kanan, dengan kecenderungan kuat untuk memandang pihak lawan sebagai 'musuh',” katanya. "Dalam konteks ini, berita palsu dibuat dan disebarkan secara diam-diam sebagai bagian dari strategi negatif dan sebagian besar berdampak pada generasi tua, yaitu mereka yang berusia 60 tahun ke atas.”

Dua partai utama di Korea Selatan memang sedang bersaing keras, yaitu kubu konservatif Partai Kekuatan Rakyat PPP dipimpin Presiden Yoon Suk Yeol dan oposisi Partai Demokrat pimpinan Lee Jae-myung. Ada kekhawatiran mengenai potensi pengaruh pemerintahan asing yang mencoba mendukung partai tertentu. Baik Korea Utara maupun Cina, misalnya, diketahui lebih mendukung oposisi Partai Demokrat pimpinan Lee Jae-myung.

"Cina bisa dianggap pro-Lee, sedangkan Jepang pro-Yoon,” kata Profesor Hyobin Lee. "Mengingat pemerintahan Yoon sangat mendukung Jepang, dapat disimpulkan bahwa Tokyo ingin Yoon memenangkan pemilu, sedangkan Cina lebih memilih Lee dan oposisi.”

Namun, Kim Sang-woo, mantan politisi yang sekarang menjadi anggota dewan Yayasan Perdamaian Kim Dae-jung, yakin hasil pemilu akan ditentukan oleh kebijakan partai-partai yang bersaing, termasuk berbagai skandal yang meramaikan pemberitaan media.

"Pemilihan umum ini adalah kesempatan bagi rata-rata pemilih untuk memberikan penilaian terhadap dua tahun pemerintahan Yoon hingga saat ini, dan saya tidak terlalu percaya bahwa kebanyakan orang khawatir tentang deepfake atau informasi palsu,” kata mantan politisi Kim. "Saya pikir masyarakat sangat fokus pada kandidat dan kebijakan mereka."

(hp/as)

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.