1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jadi Arsitek di Jerman: Bahasa Juga Kunci Sukses dalam Studi

Marjory Linardy
27 Mei 2023

Bahasa Jerman jadi kunci jika harus berkomunikasi di Jerman. Apalagi dalam bidang seperti arsitektur, di mana orang kerap harus berkomunikasi dengan klien. Itu awalnya sama sekali tidak diduga oleh Yunita.

https://p.dw.com/p/4Rp0d
Konstanz | Theresia Angela Yunita, Architektin
Foto: privat

Theresia Angela Yunita lahir dan besar di Jakarta. Setelah selesai bersekolah di Jakarta, untuk persiapan pergi ke Jerman, Yunita belajar bahasa Jerman terlebih dahulu lewat les privat dan di Goethe Institut. Tujuannya ke Jerman adalah untuk berkuliah di bidang arsitektur. Dia mengatakan, dari kecil memang suka menggambar. Selain itu, bagi Yunita arsitektur adalah bidang yang menarik, karena menggabungkan kesenian dan teknik.

Dia bercerita, dia memutuskan berkuliah di Jerman karena termasuk murah, walaupun Jerman adalah negara industri maju. Sebaliknya, untuk berkuliah di negara lain seperti Singapur dan Australia biayanya tinggi, apalagi di Amerika Serikat. Memang berkuliah arsitektur di Indonesia juga bisa. Tetapi kalau sudah selesai, penghasilannya tidak sebanyak dibanding kalau orang berkuliah di luar negeri, begitu dijelaskan Yunita. Jadi dia memutuskan untuk berusaha berkuliah di Jerman agar peluang kerjanya juga lebih luas. Tapi untuk berkuliah di Jerman memang kendalanya, orang harus bisa berbahasa Jerman.

Setelah persiapan bahasa, akhirnya dia bertolak ke Jerman bulan Januari tahun 2009. Tepatnya ke kota Konstanz di Jerman selatan. Awalnya, karena sama sekali belum pernah berkuliah di Indonesia, dia harus melalui Studienkolleg terlebih dahulu selama setahun. Studienkolleg adalah sekolah khusus penyetaraan bagi orang asing yang menyelesaikan sekolah di luar negeri, dan akan mulai berkuliah di Jerman. Biasanya, di Studienkolleg orang juga dipersiapkan agar bisa mengikuti kuliah di jurusan yang sudah dipilih.

Tapi ternyata ketika mulai berkuliah, dia kesulitan mengikuti penjelasan profesor. Dia bercerita, sang profesor berdiri di depan ruang besar dan berbicara terus tentang sejarah arsitektur sambil menunjukkan berbagai gambar. "Apa itu korinthische Säule [artinya: pilar Korintus, yaitu salah satu jenis pilar bangunan yang berasal dari Yunani]? Saya dulu waktu Studienkolleg ga pernah denger kata-kata itu," kata Yunita sambil tertawa, "Jadi pertamanya ga ngerti apa-apa."

Selain itu, dulu dia berpikir, kalau berkuliah di bidang arsitektur, orang tidak perlu banyak memakai bahasa Jerman. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Dia harus mampu menggunakan bahasa Jerman dengan baik, karena harus memberikan banyak penjelasan tentang rancangan yang ia buat dan menjual ide-idenya.

Konstanz | Theresia Angela Yunita, Architektin
Yunita ketika berkunjung ke Lisbon, ibukota PortugalFoto: privat

Tapi ternyata kesulitan di awal, yang dia rasakan jadi beban, membuat dia lebih siap untuk mengambil langkah berikutnya. Dia bercerita, ketika kuliah dia harus membuat banyak presentasi, dan menjelaskan proyek-proyeknya di depan kelas, karena itulah yang jadi bagian dari pekerjaan sebagai arsitek.

Karena itu, ketika mencari pekerjaan dan harus menjelaskan ide-idenya saat wawancara, dia sudah tidak merasakan itu sebagai beban lagi. Sekarang, setelah menyelesaikan kuliah S1 dan S2 di bidang arsitektur dan bekerja sebagai seorang arsitek, dia juga harus menjelaskan rancangannya kepada klien.

Jadi arsitek di negeri orang

Yunita selesai berkuliah S1 dan S2 di HTWG Konstanz tahun 2015. Dia bercerita, setelahnya dia mengambil waktu sebulan hanya untuk berlibur, kemudian mulai mengirim lamaran pekerjaan. Saat itu dia memang tidak pulang ke Indonesia. "Kalau udah selesai kuliah, terus pulang setahun, dua tahun di Indonesia, kalau mau balik ke Jerman lagi untuk kerja, kayaknya males lagi deh."

Selain itu, harus mengirim lamaran dari Indonesia dan mengajukan visa lagi. Sementara jika sudah selesai kuliah di Jerman, orang dapat visa untuk mencari pekerjaan selama satu setengah tahun di Jerman, begitu dijelaskan Yunita.

Menurut Yunita, cari kerja di Jerman gampang-gampang susah. Dia sendiri mengirimkan beberapa lamaran, bukan hanya satu, di daerah kota Konstanz dan Stuttgart di negara bagian Baden Württemberg. Tidak semua lamaran yang ia kirim mendapat jawaban, kata Yunita.

Tapi dia juga belum sempat mendapat penolakan. "Tepatnya belum tahu," kata Yunita sambil tertawa, dan menambahkan, dia mendapat panggilan wawancara di empat kantor arsitek. Begitu salah satunya menyatakan penerimaan, dia segera setuju, dan mengirimkan pemberitahuan ke kantor-kantor lain yang juga sudah memanggil dia untuk interview. 

Yunita bercerita, kantor arsitek tempat dia bekerja sebetulnya bergerak di beberapa proyek. Tapi dia biasanya bertugas untuk membuat Wohnungsbau atau gedung yang terdiri dari sejumlah apartemen. Untuk itu, dia hanya berdua dengan atasannya. Dia bercerita juga, atasannya sangat percaya dengan kemampuannya.

Sebagai arsitek, pada sebuah proyek yang dia kerjakan adalah desain, perencanaan bangunan, hingga detail konstruksinya. Contohnya dinding, yang di Jerman pasti terdiri dari beberapa lapis, atau juga jendela, yang nantinya ukurannya harus sesuai perencanaan dan perhitungannya. Dia menjelaskan, karena kliennya sebagian besar investor, mereka biasanya memberikan perincian luas lahan yang akan dijadikan bangunan, kemudian mereka meminta dia membuat rancangan bagi sebanyak mungkin apartemen yang bisa muat di lahan seluas itu.

Awalnya seorang klien biasanya menyatakan apa yang mereka inginkan. Kemudian sebagai arsitek, Yunita akan membuat Vorentwurf atau rancangan awal. "Mereka kemudian memberikan feedback [tanggapan]," kata Yunita, jadi mereka akan mengatakan suka, atau mungkin ada sesuatu yang mereka lebih suka kalau diganti. "Tergantung Bauherr-nya, kadang ada Bauherr yang gampang, nah itu bisa cepet jadi," begitu ditambahkan Yunita. "Kalau Bauherr-nya rewel, itu bisa lama buat Entwurf-nya, karena ganti-ganti terus."

Dia bercerita, dari rancangan awal pasti ada yang harus diubah. Tetapi perubahan seratus persen karena klien menolak rancangannya, belum pernah ia alami. "Pernah sekali ada perubahan total, karena Behörde-nya [badan berwenang] bilang, itu tidak sesuai dengan Stadtplanung-nya [perencanaan kota]." Demikian dijelaskan Yunita.

Theresia Angela Yunita
Yunita bersama rekan-rekan ketika berdiskusi di kantorFoto: Privat

Kesalahan juga pernah dia buat. Dan itulah yang terutama menyebabkan stres dalam pekerjaannya. Dia bercerita, dia pernah salah membuat perhitungan, sehinga jendela yang sudah dipesan dan sudah dibuat, terlalu besar dari lubang penempatan jendela yang juga sudah jadi. "Untungnya masih bisa diubah. Jadi Rahmen-nya [bingkai sekitar pinggiran jendela] masih bisa dipotong," kata Yunita, sehingga akhirnya pas.

Jika ada kesalahan seperti itu, dia mendapat teguran dari atasannya, yang juga menjadi Bauleiter atau pemimpin proses pembangunan di lokasi. Tetapi kesalahan seperti itu bukan alasan untuk memecat seseorang, kata Yunita. Selain itu, mereka juga punya asuransi, yang bisa diandalkan jika terjadi kesalahan pada rancangan.

Yunita menjelaskan di setiap proyek juga ada yang namanya Bauzeitenplan, atau rencana waktu pembangunan. "Jadi Kalenderwoche ini [minggu ini sesuai kalender] apa saja yang harus sudah selesai, supaya pas, gitu." Itu juga mencakup batas waktu yang diminta oleh klien, di mana bangunan harus sudah selesai. Juni mendatang misalnya, salah satu proyeknya harus sudah selesai, karena kliennya sudah merencanakan acara yang akan diadakan di gedung baru.

Kalau ternyata ada kesulitan sehingga mulur, maka mereka harus memberitahukan sang Bauherr. Tetapi sebaik mungkin mereka berusaha agar tiap tahap pembangunan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat. Dia menambahkan, yang membuat rencana biasanya bukan dia melainkan Bauleiter, dalam hal ini atasannya. Menurut Yunita, segala koordinasi yang harus terlaksana tepat sesuai rencana, misalnya dengan para tukang dan teknisi spesialis yang mengurus pemanas dan sanitasi, dibuat oleh atasannya.

Ia menambahkan, berurusan dengan para Handwerker atau tukang tidak selalu mudah, apalagi mereka kebanyakan tidak menggunakan bahasa Jerman tinggi atau Hochdeutsch, melainkan dialek Swäbisch yang tersebar luas di daerah negara bagian Baden Württemberg.

Arsitektur dan perubahan iklim

Dia menjelaskan, dunia arsitektur terkena dampak perubahan iklim yang antara lain mendorong orang untuk hemat energi dan memperhatikan bahan bangunan yang bersifat berkelanjutan. Situasi ini juga dipertajam setelah Rusia menyerang Ukraina Februari tahun 2022.

Menurut Yunita, semakin banyak orang memilih untuk menggunakan bahan kayu, baik untuk membuat rumah, sekolah maupun bangunan rumah tinggal. Kayu berasal dari alam, sebaliknya beton atau semen dan baja dibuat orang, dan proses produksinya melepas karbondioksida atau CO2 dalam jumlah sangat besar.

Konstanz | Theresia Angela Yunita, Architektin
Yunita ketika berlibur di MallorcaFoto: privat

Ditambah lagi, bahan kayu yang misalnya berasal dari bangunan-bangunan tua yang dibongkar lebih mudah untuk didaurulang dibanding beton. Selain itu, energi yang dibutuhkan untuk mendaurulang tidak terlalu besar.

Tetapi penggunaan bahan untuk mendirikan bangunan bukan keputusan seorang arsitek, kata Yunita. Biasanya Bauherr atau pemilik bangunanlah yang memutuskan bahan apa yang ingin digunakan. Tapi sejauh ini, untuk pendirian rumah tinggal, sebagian besar pemilik bangunan masih lebih suka menggunakan bahan beton dan Mauerwerk, atau batu kata Yunita.

Seperti halnya penggunaan bahan, pemilik bangunan juga menentukan tipe pemanas seperti apa yang ia inginkan. Saat ini, sebagian besar rumah dan bangunan di Jerman menggunakan pemanas dengan bahan bakar fossil, baik minyak maupun gas. Tetapi pemerintah sekarang sudah mulai berusaha mendorong perubahan agar pemanas dari sumber energi terbarukan seperti sinar matahari lebih banyak digunakan.

Tantangan bekerja di negeri orang

Bagi Yunita, tantangan terbesar dalam pekerjaan terutama ia rasakan di awal. Ketika baru mulai bekerja dia baru sadar, banyak hal yang harus dia kerjakan, tidak dipelajari atau sangat sedikit dia pelajari saat berkuliah. Misalnya membuat konstruksi, perhitungan biaya dan urusan tender. Dia hanya belajar dasar-dasarnya saja. Sehingga saat harus mempraktikkan, dia kurang terlatih.

Menurut Yunita, kuliahnya sebagian besar menekankan rancangan, pengembangan konsep dan desain. Dia juga dituntut untuk menggunakan kreativitas sebanyak mungkin, dan harus mampu menjual ide-idenya.

Di lain pihak, berkuliah dan bekerja di Jerman punya dampak sangat positif bagi dirinya karena dia dituntut untuk sangat mandiri. "Tidak ada yang instan," kata Yunita. Sejak kuliah, dia sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa dia harus aktif mencari sendiri berbagai informasi, misalnya jika dia membuat rancangan yang lain daripada yang lain, dan ingin itu berhasil. Dosennya tidak akan memberitahukan bagaimana cara pembuatannya.

Begitu juga halnya dalam penggunaan berbagai program komputer yang mendukung pekerjaannya. Sebagai mahasiswa di Jerman, orang dituntut belajar sendiri, melihat berbagai tutorial, membaca buku atau bertanya kepada orang yang lebih mahir. Berbeda dengan proses perkuliahan di Indonesia, dosen di Jerman tidak akan "menyuapi" mahasiswanya. Tapi mereka pasti akan membantu, jika mahasiswa mengalami kesulitan saat membuat proyeknya.

Yunita mengatakan juga, sebagai mahasiswa dan pekerja di Jerman, orang bebas menyatakan pendapat. Berdebat dengan dosen atau dengan bos di kantor adalah hal yang normal, selama pendapat itu masuk akal. Setelah itu orang bisa berteman kembali tanpa perasaan negatif apapun. (ml/hp)