1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Islamofobia di Eropa dan Tantangan Stabilitas Regional

15 Maret 2023

Sejumlah pakar ungkapkan kekhawatiran apabila insiden islamofobia kembali terulang, stabilitas di kawasan dengan negara mayoritas muslim bisa terganggu.

https://p.dw.com/p/4Ofjc
Ilustrasi islamofobia di Jerman
Ilustrasi islamofobia di JermanFoto: Revierfoto/ Roy Gilbert dpa/lnw/dpa/picture alliance

Tahun 2022, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia. Wujud kebencian terhadap umat Islam atau dikenal sebagai islamofobia terus menjadi sorotan, utamanya di negara-negara dengan penduduk minoritas muslim seperti di Eropa. Laporan tentang insiden islamofobia pun sering mewarnai media massa.

Seperti dikutip dari laman PBB, UN News, Sekretaris Jenderal PBB mengatakan bahwa ada hampir dua miliar penduduk muslim di seluruh dunia. Namun, umat Islam sering menghadapi prasangka karena kepercayaan yang mereka anut.

Presiden Majelis Umum PBB, Csaba Korosi, mengatakan bahwa islamofobia berakar pada xenofobia, atau ketakutan terhadap orang asing. Ketakutan ini tercermin dalam praktik diskriminatif, larangan bepergian, ujaran kebencian, intimidasi, dan penargetan.

Salah satu insiden islamofobia yang masih lekat dalam ingatan terjadi pada akhir Januari lalu, yakni aksi pembakaran Alquran oleh pemimpin politik sayap kanan Denmark di depan Kedutaan Turki di Stockholm, Swedia. Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi di Swedia. Namun akhirnya, pada awal Februari pemerintah Swedia mengeluarkan larangan melakukan unjuk rasa sambil membakar Alquran.

Tidak hanya itu, di tahun-tahun sebelumnya, insiden islamofobia juga tercatat meningkat di sejumlah negara Eropa seperti Austria, Prancis dan Denmark, menurut laporan European Islamophobia Report tahun 2021 yang dirilis pada 2022 oleh lembaga think tank Turki, SETA. Ketakutan ini antara lain juga disebarkan oleh para politisi, baik dari golongan kanan hingga kiri, dan lewat ujaran kebencian di internet, tulis laporan itu.

Tantangan bagi stabilitas regional

Sejumlah pakar mengungkapkan kekhawatirannya bahwa apabila insiden islamofobia kembali berulang, stabilitas keamanan khususnya negara dengan mayoritas umat Islam bisa terganggu. Sebagai contoh adalah digelarnya demonstrasi besar-besaran di Turki dan di Jakarta menyusul insiden di Swedia tersebut.

Saat itu, ratusan massa menggeruduk kantor Kedutaan Besar Swedia di Jakarta. Sedangkan sekitar 1.000 orang membentuk barisan di depan Kedutaan Swedia di Kuala Lumpur, Malaysia. Massa di negara lain seperti Pakistan, Irak, Iran dan Lebanon juga tak ketinggalan melakukan demonstrasi.

"Ketidakstabilan kondisi keamanan di dalam negeri karena imbas islamofobia di Eropa menjadi hal yang ditakutkan terjadi. Akibatnya memang selalu ada kerusuhan, protes atau bentrok di negara mayoritas Islam sebagai buntut peristiwa pembakaran Alquran di Eropa," kata pengamat politik internasional dari Universitas Paramadina, Reza Widyarsa, dalam perbincangan dengan DW Indonesia Februari lalu. 

Senada dengannya, pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah menilai bahwa meski aksi islamofobia oleh pemimpin ekstrem kanan di Swedia tidak merepresentasikan negara itu, ia tidak memungkiri bahwa perilaku ini dapat memicu goyahnya stabilitas di kawasan wilayah negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim.

"Perilaku ini bisa merusak stabilitas kawasan, tak hanya Indonesia tapi juga negara dengan mayoritas muslim lainnya. Terlebih lagi situasi keamanan dalam negeri yang sedang persiapan pemilu," ujar dia.

Islamofobia di Eropa, ketakutan atas sesuatu yang asing

Laporan European Islamophobia Report oleh lembaga yang sama pada tahun 2019 menuliskan bahwa muslim yang tinggal di negara Eropa cenderung mendapatkan perlakuan diskriminatif. Riset itu juga melaporkan bahwa sejumlah media utama di Eropa dinilai berpartisipasi mereproduksi wacana islamofobia yang membahayakan hak dasar jutaan warga Eropa.

Jumlah insiden kebencian pada muslim dan ketakutan pada orang asing juga meningkat kala itu. "Pemilihan umum di Parlemen Eropa dan beberapa parlemen nasional memperlihatkan peningkatan popularitas partai ultranasionalis di beberapa negara," demikian menurut temuan laporan riset tersebut.

Reza Widyarsa dari Universitas Paramadina mengatakan bahwa penyebab utama islamofobia di Eropa adalah banyaknya gelombang pengungsi akibat konflik di Timur Tengah. Hal ini menyebabkan orang-orang di Eropa takut datangnya budaya berbeda dan membawa ide politik yang akan mengubah budaya yang selama ini telah familiar. 

"Ditambah dengan cara media barat yang selalu menggambarkan Islam dengan hal-hal yang bertentangan dengan nilai HAM seperti Iran, Arab Saudi yang menjalankan syariat Islam perempuan itu direpresi, tidak mengindahkan HAM, itu yang selalu digembar-gemborkan," kata Widyarsa.

Ketakutan ini juga yang dijadikan komoditas bagi sejumlah politisi sayap kanan di Eropa untuk merebut suara konservatif yang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah.

"Kalangan konservatif ini jadi curigaan sama imigran muslim, mereka sudah takut, dan akan merasa sebagai orang yang paling terancam. Mereka takut akan kehilangan kerja. Sehingga ada upaya untuk mempertahankan itu dengan anggapan imigran muslim ditolak atau boleh masuk tapi tidak boleh membawa culture Islam," ungkap Widyarsa.

Sementara Teuku Rezasyah menambahkan islamofobia adalah salah satu masalah di Eropa yang butuh pembenahan. Bahkan di beberapa negara Eropa, islamofobia terkadang sangat nampak dalam kebijakan satu negara.

"Islamofobia juga ada yang bersifat terbuka dan diam-diam, seperti di Prancis yang sering kali didengar ada diskriminasi terhadap Islam. Tapi perlahan mulai membaik seperti di Inggris, atau Prancis juga pemain bola nasional mereka banyak yang muslim," menurut Teuku Rezasyah.

Perlunya saling mengerti

Widyarsa mengatakan pemerintah Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim harus berupaya untuk menyampaikan keberatan atas diskriminasi dan pelanggaran tersebut kepada negara-negara di Eropa.

"Nilai kebebasan berekspresi di negara mayoritas muslim itu berbeda dengan Eropa. Itu yang harus disadari oleh orang Eropa, mereka juga harus menghormati negara dengan mayoritas muslim kalau mereka niat menjalin hubungan baik dengan kita," ujarnya.

Namun demikian, kemauan tersebut tidaklah mudah. Masalahnya, tergantung pada kemauan dari para politisi dan para pemangku kepentingan di negara itu apakah mereka mau menjalankan itu.

Pakar hubungan Asia - Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutia mengatakan dirinya lebih meminta pemerintah masing-masing negara dengan mayoritas warga beragama Islam untuk menentramkan warganya.

"Dengan pernyataan menyesalkan atau memanggil duta besar negara yang bersangkutan itu sudah cukup. Setidaknya untuk mengekspresikan kalau Indonesia tidak senang akan adanya aksi tersebut. Aksi tersebut mencerminkan sikap personal, bukan satu negara," ujar pakar hubungan antarnegara Timur Tengah itu.

Sementara itu, Presiden Majelis Umum PBB, Csaba Korosi, mendesak negara-negara untuk menjunjung tinggi kebebasan beragama atau berkeyakinan, yang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Korosi mengatakan pendidikan adalah kunci untuk mengetahui penyebab adanya fobia tersebut. Pendidikan juga bisa menjadi hal transformatif dalam mengubah cara orang untuk saling memahami.

"Kita semua memikul tanggung jawab untuk menantang islamofobia atau fenomena serupa lainnya, untuk menyatakan adanya ketidakadilan dan mengecam diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan, atau berdasarkan ketiadaan (agama dan kepercayaan itu sendiri)," tambahnya. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.