1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanJerman

Indonesia Bagi Kisah Atasi Covid di Pertemuan Penerima Nobel

Arti Ekawati
30 Juni 2023

Indonesia berbagi kisah keberhasilan menangani pandemi Covid-19 di pertemuan tahunan penerima Hadiah Nobel atau Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 di Lindau, Jerman.

https://p.dw.com/p/4TGcO
Indonesia berbagi pengalaman atasi pandemi COVID-19 di ajang pertemuan tahunan para penerima Hadiah Nobel di Lindau, Jerman
Indonesia berbagi pengalaman atasi pandemi COVID-19 di ajang pertemuan tahunan para penerima Hadiah Nobel di Lindau, JermanFoto: Arti Ekawati/DW

Setelah didera pandemi Covid-19 selama lebih dua tahun, kehidupan di berbagai wilayah di dunia mulai kembali ke normal. Memang, banyak yang masih merasakan dampak dari pandemi lalu dalam kehidupan mereka, baik karena kehilangan orang terkasih maupun menderita dampak Covid berkepanjangan. Namun bagi sebagian lain, pandemi seolah telah jadi bagian masa lalu.

Pandemi maupun epidemi sejatinya hadir secara berkala dalam kehidupan manusia. Karena itu sangat penting belajar dan berbagi pengalaman dalam menghadapinya. Inilah yang dilakukan Indonesia dalam ajang pertemuan para penerima Hadiah Nobel atau Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 di Lindau, Jerman.

Dalam acara yang berlangsung sejak 25 hingga 30 Juni 2023 ini, Indonesia menjadi salah satu negara mitra, dan diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dalam menghadapi pandemi di negara kepulauan sangat luas, dengan sejumlah konsentrasi wilayah padat penduduk.

"Sejak itu kami mentransformasikan sistem pendidikan ke sistem online. Pada saat yang sama kami juga memobilisasi lebih dari 15.000 mahasiswa kedokteran untuk membantu menangani pandemi," ujar Profesor Nizam, Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, dalam sambutannya.

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia saat itu, yakni bentuk geografis sebagai negara kepulauan, hingga pengadaaan berbagai alat kesehatan dan pendukungnya seperti masker, perangkat tes VCR, dan vaksinasi bagi penduduk dengan jumlah begitu besar dalam waktu singkat. 

Penanganan berbasis regulasi dan 'cocktail' vaccine

Ketua tim peneliti Vaksin Merah Putih dari Universitas Airlangga, Profesor Dr. Fedik Abdul Rantam, menyatakan antusiasmenya, saat melihat banyak peneliti asing ingin belajar penanganan pandemi dari Indonesia.

"Ya bagus, karena kita model penanganannya adalah berbasis pada regulasi. Kalau nggak mau ya dibuat regulasi. Ini efektif ternyata. jadi tidak dibiarkan bebas. Menurut saya itu penting ketika kita dalam situasi pandemi. Kalau tidak pandemi sih nggak masalah," ujarnya kepada DW Indonesia usai presentasi tersebut.

Menurut Prof. Fedik, di saat pandemi, transmisi virus begitu cepat, karenanya "semakin cepat kita menutup akses dari virus semakin baik kita mengambat varian dari virus yang baru… Itulah sebenarnya regulasi terkait dengan itu di kita berjalan baik, karena orangnya juga masih mengikuti... Kalau di beberapa negara maju 'kan nggak mau," ujarnya. 

Dalam forum tersebut, Prof. Fedik mengatakan, peran vaksin sangat penting untuk mencegah sebaran penyakit akibat inveksi virus. Ia pun bercerita tentang perjalanan panjang Indonesia dalam membuat vaksin dalam negeri yang dirancang agar bisa reaktif terhadap varian-varian Covid-19, atau yang ia sebut 'cocktail' vaccine.

Ketua tim peneliti Vaksin Merah Putih, Profesor Dr. Fedik Abdul Rantam.
Ketua tim peneliti Vaksin Merah Putih, Profesor Dr. Fedik Abdul Rantam.Foto: Arti Ekawati/DW

"Cocktail vaccine itu tidak hanya menggunakan satu varian, tapi beberapa varian sehingga kita bisa protektif, terproteksi dari beberapa varian. Itu intinya adalah di situ. Masalahnya adalah kita mendesain yang mRNA cocktail vaccine, or whole virus cocktail vaccine. Nah inilah yang kita kembangkan ke depan sehingga fleksibel vaksin ini," ujar Profesor Fedik kepada DW Indonesia setelah pemaparan tersebut.

Terkait kesiapan cocktail vaccine, Prof. Fedik mengatakan: "Lebih cepat itu kita membutuhkan waktu 1-1,5 tahun sudah selesai. Karena kita sudah tahu tipikal karakteristik dari virus itu, mana yang kita pilih dan mana yang kita gabungkan," ujarnya. 

Lebih lanjut ia menambahkan, pengembangan vaksin memang sangat terkait dengan kecepatan waktu, karena vaksin yang aman harus bisa diproduksi pada saat pandemi. "Kalau kita terlalu lambat, ya selesai."

Presentasi e-Nose menyentil rasa penasaran

Salah satu yang menarik perhatian banyak ilmuwan dan negara lain adalah presentasi mengenai deteksi Covid-19 dengan menggunakan e-Nose. Alat yang berfungsi untuk meneliti susunan kimia dalam tiap hembusan napas ini tampak menyentil rasa ingin tahu para peserta pertemuan.

Antonia Morita Iswari Saktiawati dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Antonia Morita Iswari Saktiawati dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, di Lindau, Jerman.Foto: Arti Ekawati/DW

Dalam presentasi pada kesempatan yang sama, Antonia Morita Iswari Saktiawati dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan, tiap manusia memiliki aroma tubuh dan napas yang berbeda, tergantung dari sususunan kimianya. 

"Mendeteksi penyakit lewat aroma tubuh dan napas sudah dilakukan sejak bertahun silam," ujar perempuan yang akrab disapa Morita. Dalam presentasinya ia mencontohkan aroma manis dapat menjadi pertanda seseorang mungkin mengidap diabetes. Berdasarkan prinsip tersebut, ia dan rekan-rekan lalu menyusun sebuah alat yang disebut e-Nose.

"Alat kami e-Nose menggunakan konsep kecerdasan buatan untuk mendeteksi suatu penyakit. Untuk menggunakan e-Nose, seseorang harus bernapas ke dalam sebuah kantong yang akan menampung udara dari napas orang tersebut. Semua ini akan disambungkan ke sebuah alat yang terhubung ke laptop, dan laptop tersebut akan menganalisis apakah seseorang mengidap penyakit atau tidak," kata dia.

Presentasi alat ini pun sontak memantik rasa ingin tahu sejumlah ilmuwan. Pertanyaan mengalir dari sesama ilmuwan dan peneliti dari berbagai negara seperti Cina, Arab Saudi, Kuba dan Brasil. Kebanyakan mereka ingin tahu tentang bagaimana cara kerjanya, dan sejauh apa efektivitas alat tersebut jika digunakan di negara lain dalam mendeteksi Covid-19.

Peneliti Indonesia di Lindau Nobel Laureate Meetings

Dalam presentasinya Morita pun mengakui bahwa alat ini masih butuh masukan data yang lebih bervariasi agar bisa lebih efektif, khususnya apabila akan dipakai di tempat lain selain di Indonesia. "Sejauh ini sample-nya masih di Indonesia, jadi masih butuh masukan data yang lebih bervariasi," pungkasnya.

(ae/as)