1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan HukumIndonesia

Bagaimana Masyarakat Tanpa Akses Internet Mencari Keadilan

4 Juli 2023

Istilah no viral, no justice, atau tidak viral tidak ada keadilan, belakangan marak. Lantas, bagaimana cara masyarakat tanpa atau minim akses internet mencari keadilan?

https://p.dw.com/p/4TMSi
Ilustrasi sistem pengadilan di Indonesia
Ilustrasi sistem pengadilan di IndonesiaFoto: PantherMedia/picture alliance

Belakangan, banyak pengguna media sosial khususnya di Twitter membagikan kisah dan permasalahan yang mereka hadapi agar menjadi viral dengan harapan agar segera mendapatkan solusi. Istilah no viral, no justice, atau tidak viral tidak ada keadilan, pun marak beredar.

Kasus paling baru bisa dilihat pada akhir Juni 2023, saat sebuah akun Twitter bernama Iman Zanatul Zaeri menulis sebuah utas peristiwa yang menimpa adiknya. Hingga Senin (03/07) utas tersebut telah dilihat sekitar 1,9 juta pengguna Twitter, mendapat sekitar 16,8 ribu likes dan telah diretweet sampai lebih dari 9.200 kali.

Utas tersebut menjadi salah satu gambaran dari banyaknya utas pengguna sosial media Twitter yang membagikan pengalaman saat menempuh jalur hukum di Indonesia.

Menanggapi fenomena ini, pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengatakan hal ini mengindikasikan gejala yang kurang baik dalam penegakan hukum sehingga masyarakat mencari saluran lain, misalnya sosial media.

Namun demikian, Ismail mengingatkan bahwa dari semua bentuk pelaporan yang ada di media sosial, belum tentu semuanya benar. Kasus yang menyangkut hukum harus ada pembuktian secara hukum, ujar Ismail.

"Sosial media bukan tempat yang tepat untuk menyampaikan pelaporan karena sifatnya engagement, bukan kebenaran mutlak," kata Ismail kepada DW Indonesia. Logika publik di sosial media adalah kebenaran yang berdasarkan keramaian di dunia maya, tambahnya.

Tidak semua orang punya akses internet

Jika suatu masalah harus terlebih dahulu viral baru ditanggapi dengan serius, bagaimana dengan akses keadilan bagi mereka yang tidak terhubung dengan internet? Hal ini mengingat tidak semua masyarakat di Indonesia punya akses ke internet untuk menyuarakan pendapat atau opini demi mencari keadilan.

Menurut catatan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), per Januari 2022, sekitar 73,7 juta orang di Indonesia, atau sekitar 26,3% dari total populasi tidak menggunakan internet. Lebih dari 12.500 desa dan 104.000 sekolah di seluruh Indonesia masih belum memiliki akses internet.

Ada berbagai macam faktor mengapa orang di Indonesia belum memiliki akses internet. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, mengatakan bahwa orang tidak memiliki akses internet antara lain karena tidak memiliki gawai atau keterbatasan akses internet walaupun memiliki gawai.

Isnur mengkritik pemerintah yang ia nilai tidak mempunyai keseriusan dalam membangun koneksi akses internet ke seluruh wilayah Indonesia. Terutama keadilan akses internet ke wilayah terpencil. Oleh karena itu, Isnur menekankan perlunya perbaikan fungsi-fungsi lembaga penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan agar bisa menjangkau masyarakat yang tidak memiliki akses internet.

"Bantu mereka bersuara. Jangan sampai masyarakat tidak punya akses internet. Caranya dengan mencari informasi ke mereka secara langsung," kata Isnur kepada DW Indonesia.

Manfaatkan jaringan masyarakat sipil

Sementara itu, ahli tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, menuturkan bahwa kerja-kerja dari organisasi masyarakat sipil seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), YLBHI, atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bisa mendampingi masyarakat tanpa akses internet untuk melaporkan aduan ke aparat penegak hukum.

Bivitri menuturkan bahwa cukup banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) di pelosok Indonesia dapat menjadi sarana bagi masyarakat tanpa akses internet untuk menyampaikan sesuatu. Padahal, tambahnya, fungsi tersebut seharusnya dilakukan oleh negara dan tidak bisa dilimpahkan ke LSM yang sifatnya pelengkap. 

"Mestinya ke polisi. Pos polisi ada di semua tempat. Tapi (masyarakat) takut duluan ke kantor polisi," kata Bivitri kepada DW Indonesia. Ini yang seharusnya menjadi perhatian polisi untuk menyediakan bantuan hukum kepada semua lapisan masyarakat.

Solidaritas dan jaringan kerja LSM di pelosok Indonesia dinilai cukup kuat dan efektif sebagai kendaraan bagi masyarakat tanpa akses intenet untuk mencari keadilan. Dia mengingatkan bahwa fungsi organisasi masyarakat sipil adalah mendampingi masyarakat agar menerima proses hukum yang adil di kantor polisi.

Perlunya pendidikan hukum bagi masyarakat

Menurut Isnur, LBH dan pengacara perlu menyediakan konsultasi, penyuluhan, dan pendidikan hukum bagi masyarakat. Ia mengatakan masyarakat harus menyadari hak-hak yang dimiliki sebagai warga negara.

"Itu lebih baik karena mencegah supaya mereka bisa mengantisipasi permasalahan hukum," kata Isnur. Pendidikan untuk menyiapkan paralegal bisa dilakukan di kantong-kantong masyarakat seperti misalnya kepada tokoh masyarakat atau tokoh agama, terang Isnur.

Paralegal adalah seseorang yang mempunyai kecakapan hukum namun ia bukan seorang pengacara profesional dan bekerja di bawah bimbingan seorang pengacara, seperti dikutip dari laman LBH Apik. 

LBH mengembangkan konsep pelatihan paralegal di kampung-kampung dengan menyasar kaum perempuan terutama ibu-ibu, pemuda, dan mahasiswa supaya paham hukum, kata Isnur.

"Mereka akan menjadi ujung tombak bagi masyarakat (di sekitarnya)," tegas Isnur.

Senada dengan Isnur, Bivitri juga menjelaskan bahwa sudah cukup banyak pendidikan hukum kritis bagi masyarakat, seperti pelatihan pemberdayaan komunitas. Ide ini muncul dari kenyataan bahwa LSM tidak memiliki banyak energi untuk mendampingi jutaan orang tanpa internet yang mencari keadilan.

"Harus berdaya secara sendiri dulu. Di kampung-kampung masih banyak masyarakat yang bahkan tidak paham hak mereka itu apa saja. Pendidikan hukum kritis sangat dibutuhkan," tutup Bivitri.

(ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).