1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

AS Awasi Risiko Kredit ‘Beli Sekarang, Bayar Nanti’

Timothy Rooks
14 Januari 2023

Skema kredit 'beli sekarang, bayar nanti' semakin populer dalam transaksi bisnis e-commerce di dunia. Namun pemerintah AS mengkhawatirkan dampak negatif bagi konsumen dan sebabnya didesak memperketat regulasi.

https://p.dw.com/p/4M9S9
Jasa layanan beli sekarang, bayar nanti
Jasa layanan beli sekarang, bayar nantiFoto: STRF/STAR MAX/IPx/picture alliance

Tren kredit cepat "beli sekarang, bayar nanti”, alias BNPL, belakangan semakin digandrungi oleh konsumen online. Kebanyakan menawarkan kemudahan utang untuk pembelian bernilai rendah, seperti baju, tiket konser atau bahkan untuk belanja kebutuhan pokok.

Sistem ini dibangun dengan trik lawas yang berbasis empat kali pembayaran. "Cara ini sudah teruji ampuh meningkatkan penjualan ,” kata Rohit Chopra, Direktur Biro Perlindungan Finansial Konsumen AS, CFPB. 

"Pemain besar biasanya tidak menetapkan bunga, melainkan mencari keuntungan dari biaya transaksi kepada pedagang atau pembeli yang tidak membayar tepat waktu.”

Di AS, nilai kredit BNPL melonjak sebanyak sepuluh kali lipat dari USD 16,8 juta pada 2019 menjadi USD 24,2 miliar pada 2021. Menurut pemerintah AS, rata-rata pembelian berkisar di angka USD 135.

Namun, laporan CFPB mengungkap sejumlah masalah, antara lain rendahnya perlindungan konsumen, mekanisme konflik utang piutang maupun perlindungan data. 

Kebanyakan BNPL menawarkan opsi "bayar empat kali,” yang menyaratkan uang muka sebesar 25 persen dan kewajiban melunasi utang dalam tiga kali pembayaran setiap dua pekan. Biasanya, kredit BNPL diproses jauh lebih cepat, tanpa bunga dan pemeriksaan. 

Kreditur mendapat keuntungan dari biaya transaksi yang dibebankan kepada pedagang. Biaya tersebut lebih besar dari ongkos transaksi via kartu kredit dan dipatok antara dua hingga delapan persen.

Kewaspadaan konsumen

Kemudahan kredit terutama berdampak pada lonjakan konsumsi berlebih. Rohit Chopra mewanti-wanti konsumen terhadap pelaku BNPL juga menghimpun dana dan informasi yang melampaui bank-bank tradisional.

"Kebanyakan perusahaan ini mengembangkan aplikasinya sendiri yang digerakkan oleh data pelaku konsumsi masing-masing individu, untuk menjebak mereka agar membeli lebih banyak produk melalui skema beli sekarang, bayar nanti,” kata dia.

Sebuah survei yang dirilis Bank Sentral AS mencatat setidaknya 61 persen konsumen BNPL tercatat memiliki pekerjaan dan termasuk kelas menengah. 

Salah satu temuan yang penting dalam studi tersebut adalah alasan debitur. "Berbeda dengan asumsi kebanyakan analis, pengguna skema beli sekarang, bayar nanti, tidak menyebut minimnya akses kredit sebagai alasan utama memilih BNPL sebagai metode pembayaran.”

Pertumbuhan pesat di era digital

Dengan popularitas yang tinggi, Biro Perlindungan Finansial Konsumen AS mendesak agar regulasi BNPL diperketat. CFPB menilai, penyedia jasa kredit BNPL harus diperlakukan layaknya lembaga kredit lainnya.

Penny Lee, Direktur Asosiasi Teknologi Keuangan AS yang mewakili kepentingan BNPL, sebaliknya menilai kemudahan kredit justru menguntungkan ekonomi.

"Konsumen dan pedagang sama-sama diuntungkan oleh skema beli sekarang, bayar nanti. Konsumen bisa menggunakannya sebagai alternatif kredit yang fleksibel dan berbunga rendah. Pedagang lintas sektor juga menggunakan skema ini untuk meraih pelanggan baru,” tulisnya kepada DW.

"Beli sekarang, bayar nanti, sudah diregulasi oleh UU Perlindungan Konsumen federal atau di tingkat negara bagian,” pungkasnya.

Padahal, AS bukan pasar terbesar BNPL, melainkan Eropa yang pada 2021 lalu mencatatkan nilai transaksi BNPL terbesar di dunia. Swedia misalnya melaporkan sebanyak 25 persen transaksi online domestik dibayar melalui skema tersebut. Adapun di Jerman, porsi BNPL mencapai 20 persen, Norwegia 18 persen dan Finlandia  sebesar 13 persen.

Negara lain dengan pasar BNPL terbesar di dunia adalah Belanda, Australia, Selandia Baru, Belgia, Inggris, Prancis dan Singapura.

Analis meyakini skema BNPL berpotensi untuk terus tumbuh, karena baru mewakili 3 persen transaksi e-commerce pada 2021. 

rzn/hp