1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Itu Teknologi Pemindahan Karbon?

Martin Kübler
8 Februari 2024

Lapisan karbondioksida di atmosfer Bumi bisa dipanen dari langit dan disimpan di perut Bumi. Tapi selain mahal dan berskala kecil, cara ini juga dikritik berpotensi memanjakan produsen emisi terbesar.

https://p.dw.com/p/4c8Xl
Teknologi CSS di Jerman
Instalasi pengujian penyimpanan karbondioksida di JermanFoto: Patrick Pleul/dpa/picture alliance

Karbondioksida adalah salah satu gas alami yang menjadi elemen penting penyusun atmosfer Bumi. Tapi dengan konsentrasi sebesar 422 bagian per sejuta atau PPM, yaknisekitar 0,04 persen, angkanya 50 persen lebih tinggi ketimbang rata-rata 200 tahun lalu, di awal era Revolusi Industri.

Sejak revolusi itu, negara industri giat memompa emisi CO2 ke atmosfer yang dilanjutkan oleh negara berkembang. Lapisan gas ini berfungsi layaknya cermin yang memantulkan panas matahari kembali ke Bumi dan mengacaukan iklim planet.

Kini, dengan tenggat yang kian mendesak dan lambatnya transisi energi hijau, harapan ikut dijatuhkan kepada teknologi penangkapan karbondioksida atau "carbon capture".

Pusat Penyimpanan Emisi CO2 Terbesar di Dunia

Apa itu Penangkapan dan Penyimpanan Karbon?

Gas rumah kaca sejatinya ditangkap kembali secara alami oleh pepohonan, air laut atau tanah. Namun laju produksi emisi dan deforestasi melampui kemampuan regeneratif alam. Sebabnya kini teknik sekuestrasi karbon, CCS, dikedepankan sebagai solusi cepat. Teknologi ini diperkenalkan pada dekade 1970an melalui proses yang masih dianggap kontroversial lantaran risiko kesehatan dan keselamatan.

Risiko itu antara lain berupa kebocoran pipa gas yang bisa membahayakan manusia, kontaminasi air tanah dengan logam berat dan polutan lain atau potensi gempa dari proses pemompaan CO2 ke dalam tanah. Hingga kini, teknologi CCS masih dilarang di Jerman.

CSS dipraktikkan dengan langsung menangkap CO2 pada sumber pembakaran di pembangkit listrik, smelter, pemurnian minyak, pabrik semen atau pupuk kimia. Setelah ditangkap, gas CO2 dipampatkan menjadi cairan dan disimpan di dalam perut Bumi, biasanya di lubang bekas tambang.

Karbondioksida juga bisa diisap dari udara melalui proses berinisial DACCS, yang sayangnya masih boros energi dan menelan biaya tinggi.

Emisi Karbondioksida dari Erupsi Vulkanik

Kenapa CSS diandalkan?

Saat ini, hampir tidak ada teknologi penangkapan karbon lain yang lebih mumpuni. Alternatif lain, misalnya, adalah BECCS, Bioenergy with Carbon Capture and Storage, yang membakar biomassa berupa kayu, tanaman energi atau limbah pertanian yang mengandung karbon demi memproduksi emisi untuk lalu disimpan di dalam tanah.

Kebanyakan teknologi ini belum teruji dan bersifat terbatas. Namun pamornya menguat karena bahkan jika manusia berhasil memangkas sepenuhnya emisi CO2 di masa depan, dunia tetap harus memindahkan antara 450 miliar hingga 1,1 triliun ton gas rumah kaca pada tahun 2100, menurut laporan panel iklim PBB, Januari 2023 lalu.

Sejak 2022, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, IPCC, telah mendukung pengembangan dan aplikasi teknologi penangkapan karbon sebagai "tak terelakkan," jika dunia masih ingin mencapai sasaran nol emisi. Lembaga iklim PBB juga memperingatkan industri CSS agar menggiatkan pengembangan dalam 10 tahun ke depan. Riset teranyar menyebutkan, hanya 0,1 persen emisi global yang sudah ditangkap melalui teknologi CSS.

Bulan November 2023, Badan Energi Internasional, IEA, mewanti-wanti betapa produsen minyak dan gas harus mulai "melupakan ilusi bahwa penangkapan karbon dalam skala raksasa adalah solusinya." Pegiat lingkungan mengkhawatirkan, teknologi CSS hanya akan mengulur waktu bagi produsen emisi untuk terus membakar energi fosil.

 rzn/as