1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiAfrika

Afrika: Demam Nuklir di Negeri Matahari

Martina Schwikowski
20 Oktober 2023

Negara-negara Afrika melirik energi nuklir untuk menyediakan listrik murah dan mempercepat laju industrialisasi. Namun, inisiatif tersebut justru dilabeli sebagai propaganda politik di wilayah yang kaya energi surya.

https://p.dw.com/p/4XkkH
Menara listrik di Assuan, Mesir
Ilustrasi produksi listrik di AfrikaFoto: Schoening/imageBroker/picture alliance

Penguasa baru Burkina Faso punya ambisi besar. Setelah mengkudeta pemerintahan sipil tahun lalu, Ibrahim Traore yang baru berusia 35 tahun, ingin membeli teknologi pembangkit nuklir dari Rusia demi menggenjot produksi listrik. Menurut data Badan Energi Atom Internasional (IAEA), hanya 20 persen warga Burkina Faso yang punya aliran listrik.

Bagi Adrien Poussou, ambisi nuklir Burkina Faso hanyalah propaganda Rusia. "Sangat tidak masuk akal, jika benua Afrika, yang sarat sinar matahari, kekurangan energi dan listrik," kata analis politik dan bekas menteri rekonsiliasi nasional di Republik Afrika Tengah itu.

Rusia sedang giat berekspansi di pasar energi Afrika. Di Mesir, perusahaan nuklir negara, Rosatom, sedang mengerjakan pembangkit nuklir pertama di Kota El Dabaa sejak 2022 silam. Proyek serupa ingin ditiru oleh negara-negara lain di Afrika demi memproduksi energi ramah iklim.

Di Uganda, pembangkit nuklir rencananya akan mulai beroperasi tahun 2031, menurut pengumuman Kementerian Energi Maret lalu. Pemerintah di Kampala bekerja sama dengan badan energi nuklir Cina, CNNC, untuk membangun pembangkit pertama sekitar 120 kilometer dari ibu kota.

Cara Tangguh Penyediaan Listrik Secara Lokal dari Matahari

Keraguan terhadap ambisi nuklir Kenya

Jiran Uganda, Kenya, sudah membidik tahun 2027 untuk memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir PLTN yang akan membutuhkan waktu sepuluh tahun. Saat ini, pemerintah masih mencari lokasi yang tepat. Diniatkan, pembangkit yang baru akan memproduksi listrik dengan kapasitas 1.000 megawatt, demi menutupi lonjakan kebutuhan energi di dalam negeri.

Bagi X.N. Iraki, analis energi dari Universitas Nairobi, rencana tersebut tidak ekonomis, melainkan obyek propaganda politik. "Adalah mengejutkan bahwa kami berinvestasi pada energi atom, meski kami sudah punya potensi energi yang banyak," kata dia, merujuk pada energi surya, bayu dan panas Bumi. Padahal, Kenya dikenal sebagai pionir dalam pembangunan energi terbarukan di Afrika.

"Saya mencurigai, investor hanya mengincar keuntungan ketika menjual pembangkit nuklir ke Kenya atau Afrika Timur. Pembangkit nuklir sedang ditutup di mana-mana, karena energi nuklir di banyak negara industri tidak disukai," kata dia.

Kenya saat ini pun sudah memproduksi 90 persen kebutuhan energinya dari sumber terbarukan. Pemerintah di Nairobi berambisi menggenapkan jumlahnya menjadi 100 persen pada tahun 2030. Pembangunan pembangkit nuklir di Kenya dianggarkan menelan biaya sebesar 3,16 miliar Euro atau sekitar Rp52 triliun selama 10 tahun. Keraguan terutama muncul pada stabilitas politik dan ketidakjelasan seputar sumber pendanaan. Terlebih, proyek serupa biasanya menelan dana yang lebih besar dari yang dianggarkan.

Solusi Pembangkit Nuklir yang Aman

Pembangkit nuklir di Afrika Selatan

Menurut Iraki, negara-negara lain seperti Ghana, Nigeria, Sudan, Zambia, dan Zimbabwe sudah mengutarakan gagasan mengembangkan energi nuklir hingga satu dekade ke depan. Namun, ketika sejumlah negara sudah mengurungkan niat tersebut, yang lain masih dalam proses penjajakan.

Saat ini, hanya Afrika Selatan saja yang sudah mengoperasikan pembangkit energi nuklir. Letaknya di Koebeg, di dekat Cape Town, dan mulai beroperasi sejak tahun 1984. Selebihnya, Afsel masih bergantung kepada batu bara. Situasi dipersulit dengan ketidakmampuan perusahaan listrik negara, Eskom, untuk membiayai transisi energi terbarukan.

Sebab itu, dukungan bagi energi nuklir menggema di Afrika Selatan. "Sudah saatnya, bahwa kami sebagai benua Afrika tidak menemukan ulang roda, tapi berinvestasi kepada teknologi energi yang sudah teruji di negara-negara maju," kata Princess Mthombeni, pendiri organisasi lobi, Africa4Nuclear.

Mthombeni meyakini, energi nuklir akan mampu membantu industri di Afrika mengejar ketertinggalan dengan kawasan lain di dunia. Dia berharap, negara-negara Afrikan akan "terus menjalankan komitmen menghadirkan teknologi penopang seperti energi nuklir, serta campuran yang bertanggungjawab secara sosial dan ekonomi dengan energi terbarukan seperti angin dan tenaga surya."

Namun, belum jelas bagaimana negara-negara di Afrika akan mengelola limbah radioaktif di wilayahnya. Pertanyaan serupa hingga kini belum terjawab di negara-negara pengguna energi nuklir lainnya.

(rzn/as)