1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Akankah UE Terima Ide Kedaulatan Eropa oleh Presiden Macron?

Lisa Louis
26 April 2024

Presiden Prancis Emmanuel Macron mencetuskan perubahan paradigma dalam integrasi Uni Eropa. Tapi gagasannya tentang kedaulatan supranasional didengungkan di tengah kebangkitan partai populis kanan yang justru anti-Eropa.

https://p.dw.com/p/4fD87
Presiden Prancis Emmanuel Macron
Presiden Prancis Emmanuel Macron saat berpidato di Universitas Sorbonne, Paris, Kamis (25/4)Foto: Christophe Petit Tesson/AP Photo/picture alliance

Sebanyak 20 kali Presiden Prancis Emmanuel Macron mengucap kata "paradigma” dalam pidatonya tentang integrasi Eropa, Kamis (26/4) kemarin.

"Kita kembali berkonfrontasi dengan sejarah. Eropa bisa saja punah,” kata dia kepada ratusan hadirin di aula Universitas Sorbonne, salah satu universitas tertua di Eropa.

Macron menuntut kedaulatan Eropa di bidang industri dan membangun strategi pertahanan secara independen, termasuk dengan sistem pertahanan udara sendiri. "Sangat penting bagi Rusia untuk tidak memenangkan perang di Ukraina. Di sana lah keamanan Eropa dipertaruhkan,” kata dia.

"Eropa hanya bisa menjadi kuat jika kita makmur dan kita harus berhenti bersikap naif, serta lebih melindungi industri kita," tambahnya.

Macron menyerukan digunakannya "preferensi Eropa" di lima sektor unggulan, yakni kecerdasan buatan, teknologi kuantum, teknologi antariksa, bioteknologi dan sumber energi baru.

Mencari kedaulatan Eropa

Menurut Sophie Pornschlegel, salah seorang direktur di lembaga pemikir Eropa Jacques Delors di Brussels, Belgia, Macron pertama kali menyerukan "kedaulatan Eropa” dalam sebuah pidato di Sorbonne tujuh tahun lalu.

"Dia lihai mengidentifikasi isu-isu yang relevan dalam politik. Dan dia sudah benar ketika menuntut dipereratnya kerja sama dan integrasi, karena itulah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan Eropa," kata dia.

"Akan menarik untuk melihat bagaimana reaksi anggota UE lainnya. Apakah mereka akan menerima ide-idenya?” tanyanya.

Dalam sebuah konferensi pers baru-baru ini, Istana kepresidenan Elysee menggarisbawahi bahwa kedaulatan Eropa sudah mulai diupayakan sejak tahun 2017.  "Di bawah inisiatif Perancis, UE bersatu mendukung Ukraina, kami menyepakati haluan bersama untuk industri dan teknologi, serta telah menyesuaikan pandangan kami mengenai perjanjian perdagangan bebas untuk lebih melindungi industri di Eropa,” kata seorang juru bicara kepresidenan.

"Adalah normal bagi Prancis untuk berkontribusi dalam menyusun agenda strategis UE berikutnya,” imbuhnya, merujuk pada rencana kerja lima tahunan yang akan dibahas oleh negara-negara anggota pada akhir Juni mendatang.

Pornschlegel setuju dengan Istana Elysee, karena "setidaknya Macron mengusung gagasan baru untuk Eropa, dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jerman, yang hanya memasang blokade,” katanya.

Menyasar audiens domestik?

Namun Benjamin Morel, dosen hukum publik di Universitas Paris-Pantheon-Assas, meragukan bahwa pidato Macron semata demi kemaslahatan Uni Eropa.

"Eropa menjadi salah satu agenda utama Macron, yang harus memperbaiki prospek suram partainya menjelang pemilihan Parlemen Eropa pada bulan Juni ini,” katanya kepada DW.

Menurut survei teranyar, Valerie Hayer, kandidat presiden Komisi Eropa dari partai Renaissance, akan memperoleh sekitar 16 persen suara.

Dukungan elektoral untuk calon yang diusung Macron itu terpaut jauh dengan Jordan Bardella, kandidat partai populis kanan Rassemblement National, RN, yang diprediksi mendapat 30 persen.

"Perolehan suara yang rendah dalam pemilu legislatif Eropa akan melumpuhkan Macron sebagai presiden dan menghancurkan otoritas yang tersisa,” tegas Morel.

Cuma kurang dari sepertiga pemilih Perancis saat ini yang menyatakan puas atas kinerja Presiden Macron, menurut jajak pendapat terbaru.

"Tetapi saya ragu pidato Macron ini akan membuat pemilih di Prancis antusias,” kata Morel.

Cina Kuasai Farmasi, Eropa Ingin Kembali Bangkit

Kebangkitan populisme kanan

Hal senada diungkapkan Catherine Fieschi, peneliti tamu di Pusat Studi Lanjutan Robert Schuman di Institut Universitas Eropa di Florence.

"Anehnya, menurut jajak pendapat, sebagian besar warga Prancis justru bersikap pro-Eropa dan sangat menentang gagasan ekstrem kanan untuk meninggalkan UE,” katanya kepada DW.

"Tetapi banyak pemilih sepertinya menyepelekan Eropa dan mata uang euro dan mereka tidak memiliki masalah dalam memilih RN yang sangat anti-Eropa,” tambahnya.

Jika tren berlanjut, RN bisa memenangkan lebih banyak kursi di Parlemen Eropa dibandingkan tahun 2019, ketika partai tersebut memperoleh 23 persen suara.

Kemenangan Le Pen

"Bukan artinya koalisi populis kanan akan lantas mendominasi Parlemen Eropa,” kata Pornschlegel. "Tapi semakin besar kekuatan partai-partai ekstrem kanan, semakin besar kemungkinan kelompok konservatif lain, seperti EPP yang berhaluan kanan-tengah, untuk mengadopsi pandangan populis kanan demi mempertahankan kekuasaan, dan hal ini sudah mereka lakukan, misalnya dalam isu keimigrasian,” lanjutnya.

"Pergeserean itu akan memudahkan partai-partai ekstrem kanan untuk menormalisasi gagasan politiknya dan menambah perolehan suara dalam pemilu nasional, yang pada akhirnya akan memperkuat pengaruh mereka di Dewan Eropa.”

Para analis juga tidak lagi mengabaikan kemungkinan kemenangan partai populis kanan dalam pemilihan presiden Prancis tahun 2027. Ironisnya, Presiden Macron ikut dituduh "melazimkan” populisme politik dengan mengadopsi sejumlah usulan RN, seperti misalnya dalam pembuatan UU Keimigrasian baru-baru ini.

Pornschlegel meyakini, kemenangan Marine Le Pen dalam pilpres Prancis akan berdampak buruk bagi Eropa. "Kemenangannya akan mengakhiri poros Prancis-Jerman, yang sangat penting sebagai fondasi UE,” kata dia.

Namun di Sorbonne, Macron bersikukuh dirinya tidak terintimidasi oleh kebangkitan populisme ala Donald Trump di Eropa."Kita harus percaya pada nilai-nilai Eropa dan humanisme,” kata dia.

(rzn/hp)