1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Yang Bergeser Jauh ke Tengah

Andy Budiman21 Mei 2013

Budiman Sudjatmiko pernah menjadi orang yang paling diburu orde baru. Setelah reformasi ia bergabung dan menjadi anggota DPR dari PDI Perjuangan. Politik praktis mendorong tokoh kiri ini semakin ke tengah.

https://p.dw.com/p/18ZsF
Foto: Hanief An

Budiman yang dulu sering mengutip Mao Zedong, kini bergeser ke kiri tengah. Sebagai orang yang relatif baru di partai, pengagum pemimpin revolusi Cina itu harus berhadapan dengan musuh tradisional kaum kiri yakni feodalisme.

Ketika Deutsche Welle bertanya kenapa kritiknya tentang feodalisme dan dinasti di dalam partai tidak cukup keras, Budiman menjawab: “ Kritik saya memang tidak sekeras itu…saya mengkritik dengan cara saya sendiri. Itu style saya dalam berkomunikasi di dalam partai.“

DW: Apakah anda masih kiri?

Budiman Sudjatmiko: Saya cenderung centre left. Saya merasa opsi ini lah yang paling progresif dan relevan bagi Indonesia.

DW: Centre left seperti apa?

Budiman Sudjatmiko: Saya kira Jerman punya tradisi sosialisme demokrasi, meski lebih moderat. Tapi ada contoh centre left yang lebih radikal seperti Brazil di era Lula da Silva. Saya kira itu posisi yang lebih dekat dengan saya. Dalam politik, ada kebebasan. Dalam ekonomi peran swasta diperbolehkan berkembang, tapi negara bisa melakukan intervensi untuk menjaga agar ketimpangan tidak meluas dan masyarakat bawah bisa mengejar ketertinggalan. Tidak untuk menyamaratakannya, tapi untuk mengurangi gap. Dan masyarakat bawah bisa mendapat pelayanan dan program sosial dari hasil pajak mereka yang berpendapatan sangat tinggi.

DW: Pergeseran pandangan ini jauh. Anda dulu dikenal sangat dogmatik?

Budiman Sudjatmiko: Tanpa meninggalkan posisi pembelaan saya untuk mereka yang ekonominya lemah, tapi saya merasa harus melakukan kompromi-kompromi bahwa ada aspirasi-aspirasi, selain kelas atas dan bawah. Ada juga lapisan tengah dan itu adalah bagian yang sangat besar dari masyarakat kita. Mereka ini menginginkan keadilan tapi bukan dengan cara yang sangat radikal. Saya harus belajar bahwa kepentingan-kepentingan yang beragam ini harus diakomodasi.

DW: Musuh utama kaum kiri adalah feodalisme. Bagaimana anda menghadapi problem ini di dalam PDI Perjuangan?

Budiman Sudjatmiko: Ini memang problem dalam PDI-P, tapi cara perjuangan di dalam organisasi dengan yang ada di luar organisasi, dalam melawan feodalisme harus berbeda. Jangan sampai perjuangan menghadapi feodalisme menimbulkan perpecahan.

DW: Anda tidak cukup keras mengkritik soal dinasti atau feodalisme di dalam partai?

Budiman Sudjatmiko: Kritik saya memang tidak sekeras itu. Tapi kami memang lebih sering membicarakan soal-soal internal ke dalam, tidak ke luar. Saya pikir saya mengkritik dengan cara saya sendiri. Itu style saya dalam berkomunikasi di dalam partai.

DW: Anda masih sering kontak dengan Andi Arif (Tokoh SMID yang kini menjadi Staf Khusus Presiden Yudhoyono) dan Dita Indah Sari (Staf Khusus Menakertrans)?

Budiman Sudjatmiko: Dengan Dita agak lebih sering. Kami saling mengingatkan bahwa dimanapun posisimu jangan menjadi orang yang korup. Ketika ada isu korupsi di Kemenakertrans saya tanya dia: kamu terlibat nggak? Kamu tahu nggak ada kasus ini? Ketika saya tahu dia tidak terlibat korupsi dan bahkan dia kadang-kadang harus berkonflik dengan staf-staf menteri yang lain soal gratifikasi, dan posisi dia clear. Saya respek. Demikian pula dengan Andi Arief, meski tidak bertanya langsung, saya masih sering bertanya kepada kawan yang lain: bagaimana kehidupan Andi Arif? Apakah ada perubahan gaya hidup? Apakah ada indikasi atau informasi bahwa dia korupsi? Alhamdulilah yang saya dengar tidak ada indikasi bahwa dia memperkaya diri. Itu bagi saya sudah cukup, bahwa dia tidak mempermalukan masa lalu kami.

Budiman Sudjatmiko adalah bekas Ketua PRD, pernah dipenjara pada masa orde baru. Kini menjadi anggota DPR dari PDI Perjuangan.