1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

William Wongso: Tak Sekedar "Icip-icip"

Ayu Purwaningsih6 Maret 2013

Tak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu. Sudah saatnya untuk semakin aktif memperkanalkan masakan Indonesia di dunia. Terutama saat Indonesia menjadi negara mitra dalam ajang pariwisata internasional ITB di Jerman.

https://p.dw.com/p/17qLk
William Wongso
William WongsoFoto: Kefas Sendi Wong

Bicara soal masakan dengan William Wongso, seakan tiada habisnya. Kelihaiannya dalam mengolah masakan internasional, tak mengurangi kecintaannya pada kuliner Indonesia. Di sela kesibukannya mempromosikan masakan Indonesia di berbagai negara, ia selalu menyempatkan diri terjun langsung ke pasar-pasar tradisional. Dalam ajang pariwisata ITB yang berlasung di Berlin, Jerman, ia ikut mengevaluasi jamuan makanan yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudoyhono.

Traditionelles Essen aus Indonesien
SiomayFoto: DW/S.Mayang

DW: Bagaimana Anda bisa terjun ke dunia kuliner sampai menjadi pakar kuliner?

Wongso: Saya terjun ke dunia kuliner pertama kali karena belajar di bidang pembuatan kue atau Confiserie-Pâtisserie, yang salah satunya saya pelajari di Jerman. Di saat senggang, saya punya kebiasaan selalu melakukan 'icip-icip' yang menimbulkan minat dan niat untuk menelusuri seluk beluk kuliner internasional.

15 tahun terakhir ini saya lebih memperhatikan kuliner tradisional. Sebab di Indonesia ternyata sangat minim jumlah orang yang menekuni tradisi kuliner nusantara.

DW: Setiap hari Anda berkunjung ke satu tempat ke tempat lain untuk menggali kekayaan kuliner tanah air. Bisa diceritakan apa yang mengesankan?

Saya selalu memulai aktivitas dari pasar-pasar tradisional. Setiap ada kesempatan, saya melakukan kunjungan kuliner ke daerah-daerah. Kenapa? Karena pasar adalah refleksi budaya, ekonomi suatu daerah. Setelah mengunjungi pasar-pasar tradisional dan melakukan pengamatan, barulah saya melakukukan uji 'icip' kuliner makanan khas tradisional di daerah-daerah tersebut. Yang paling mengesankan dalam melakukan kegiatan kunjungan ke pasar tradisional maupun 'icip-icip' makanan itu adalah kita dapat mengamati variasi dan perbedaan bahan khas yang digunakan dalam pembuatan masakan di daerah-daerah serta karakteristik cita rasa daerah yang variatif pula, misalnya pedas, asam, manis dan lain sebagainya….

Traditionelles Essen aus Indonesien
Sup ikanFoto: DW/S.Mayang

DW: Mengapa kuliner Indonesia banyak dianggap kalah bersaing di tatanan internasional jika dibandingkan dengan kuliner negara-negara tetangga?

Wongso: Kuliner Indonesia dianggap kalah bersaing di tatanan internasional sebab tradisi kuliner Indonesia selama ini hanya sebagai penunjang kehidupan 'eat to live', tanpa menyadari bahwa kuliner adalah citra bangsa. Selain itu ditambah lagi, tidak adanya perhatian sama sekali dari pihak Indonesia atas kuliner nusantara.

DW: Jenis makanan Indonesia yang berbumbu dan beberapa di antaranya pedas, apakah bisa diterima apa yang sekiranya dapat terkenal di mata dunia?

Wongso: Masakan Indonesia seolah hanya terwakili oleh gado-gado, nasi goreng dan sate. Rumah makan Indonesia minim di manca negara. Lain halnya dengan masakan Thailand, Jepang, Cina, Korea yang tersebar luas di manca negara. Rasa bumbu yang pedas sebenarnya bukan issue (red: masalah/atau jadi penghambat) tidak menyebarnya masakan kuliner di manca negara.

Traditionelles Essen aus Indonesien
Tumis buncisFoto: DW/S.Mayang

DW: Apa langkah Anda dalam mempromosikan makanan Indonesia?

Wongso: Yang saya lakukan salah satunya adalah ‘food diplomacy' , bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di seluruh dunia. Jadi, saya melakukan promosi kuliner Indonesia di manca negara, kerjasama itu selain dengan KBRI juga dengan restoran-restoran maupun hotel-hotel setempat. Gerakan ini disebut dengan ACMI atau Aku Cinta Masakan Indonesia.

DW: Bagaimana seharusnya agar makanan Indonesia bisa lebih dikenal di mata dunia?

Wongso: Saya rasa seharusnya dimasukan dalam kurikulum pendidikan mengenai kuliner tradisional, terutama di dalam program pendidikan sekolah menengah kejuruan dan akademi pariwisata. Selain itu perlu dibangunnya minat dan niat bagi para calon juru masak Indonesia. Selain itu juga harus ditingkatkan niat pemerintah dalam program ACMI atau Aku Cinta Masakan Indonesia. Dan hal lain yang juga bisa dilakukan, adalah menampilkan masakan Indonesia pada tatanan elit, jadi jangan hanya di tatatan jalanan.

Indonesiens Präsident Susilo Bambang Yudhoyono (r), Ehefrau Anis (r) und Bundespräsident Joachim Gauck mit Lebensgefährtin Daniela Schadt stehen am 04.03.2013 vor dem Schloss Bellevue in Berlin. Zeitlicher Anlass des Staatsbesuchs ist die Eröffnung der Internationalen Tourismus Börse (ITB) in Berlin, auf der Indonesien dieses Jahr offizielles Partnerland ist. Foto: Hannibal/dpa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Jerman dalam ajang pameran pariwisata ITB.Foto: picture-alliance/dpa

DW: Bagaimana Anda melihat peran pemerintah dalam memperkenalkan kuliner Indonesia?

Wongso: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau kemenparekraf sudah berniat untuk menggalang program kuliner tradisional secara domestik dan internasional. Salah satunya dengan mengukuhgkan nasi tumpeng sebagai citra kuliner Indonesia dan 30 kuliner tradisional lainnnya sebagai platform.

DW: Saat ini Pameran Pariwisata Internasional di Berlin, ITB juga memperkenalkan kuliner tradisional, Anda juga telah beberapa kali mengikuti ajang ini, apa cukup signifikan untuk promosi kuliner juga?

Wongso: Untuk tahun ini saya mengevaluasi sajian kuliner Indonesia pada saat gala dinner pembukaan Pameran Pariwisata Internasional di Berlin, ITB, yang dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi ajang ini lebih pada promosi kepariwisataan secara umum, jadi untuk kulinernya belum terlalu dititikberatkan.

DW: Anda optimistis kuliner Indonesia akan makin dikenal di manca negara?

Wongso: Tentu saya selalu optimis, asalkan saja ada niat baik dari semua pihak dalam memajukan kuliner Indonesia di tatanan internasional.