1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Warisan Beracun Rezim Gaddafi

19 Oktober 2012

Muammar Gaddafi selama empat dekade menentukan kehidupan warga di Libya. Setahun setelah kematiannya, negara ini masih berjuang membangun sebuah pemerintahan baru.

https://p.dw.com/p/16TJX
Libyan leader Moammar Gadhafi, right, welcomes French President Nicolas Sarkozy at the Bab Azizia Palace in Tripoli Wednesday, July 25, 2007. Sarkozy promised to boost relations with long-isolated Libya as he met with the oil-rich country's leader Moammar Gadhafi on Wednesday as a reward for the release of five Bulgarian nurses and a Palestinian doctor. (ddp images/AP Photo/Michel Euler)
Nicolas Sarkozy dan Gaddafi di LibyaFoto: AP

Gaddafi mengaku sebagai sahabat Perancis. Kadang ia menjamu beberapa kepala negara. Dan di tahun-tahun terakhir kekuasaannya, ia terkesan tidak 'sekeras' biasanya.

Namun, teman atau sekutu sebenarnya sudah sejak lama tidak dimiliki lagi oleh Muammar Gaddafi. Ia sering menunjukkan sikap yang tidak bisa diduga. Gaddafi mendukung kelompok teror. Kadang kesatuan Arab, kemudian Afrika.

Dia juga bersikap brutal terhadap warganya sendiri. Tidak ada suara yang menentang di Dewan Keamanan PBB, saat diputuskan misi NATO terhadap Gaddafi 2011 lalu. Keputusan yang menandai akhir era Gaddafi. Tapi, konsekuensi negatif masa kekuasaannya masih terasa.

Partai terlarang, oposisi yang tertekan

Ini tidak mengherankan. Selama 40 tahun Gaddafi menentukan haluan politik Libya. Pada awalnya sebagai kepala negara dan sejak 1979 ia menyebut dirinya sebagai pemimpin revolusi.

FILE - This Sept. 21, 2012 file photo shows Libyan civilians celebrate the raiding of Ansar al-Shariah Brigades compound, after hundreds of Libyans, Libyan Military, and Police raided the Brigades base, in Benghazi, Libya. Small teams of U.S. special operations forces arrived at American embassies throughout North Africa to set up a new counterterrorist network months before militants killed the U.S. ambassador in Libya. But officials say the network was too new to stop the Benghazi attack. (Foto:Mohammad Hannon, File /AP/dapd)
Rakyat Libya mengelukan serangan atas pangkalan brigade Ansar al-ShariahFoto: AP

Tidak peduli, siapa yang sedang menjadi kepala negara atau perdana menteri, kekuasaan tetap berada di tangan Gaddafi. Tidak boleh ada partai lain dan oposisi ditekan. Karena takut akan lawan kuat, Gaddafi secara sistematis mengabaikan infrastruktur negaranya. Pusat kekuasaan yang mampu bersaing tidak boleh didirikan. Bahkan militer pun tidak mampu berbuat apa-apa.

Kini warga Libya harus mewujudkan struktur dan lembaga politik baru. "Ini tantangan besar. Libya harus membangun kembali seluruh administrasi negara, pasukan keamanan dan militer", kata Gunter Meyer, profesor ekonomi geografi dan pimpinan pusat penelitian dunia Arab.

Sengketa penataan negara baru

Warga Libya memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Ini ada sejarahnya. Sebelum Gaddafi mengambil alih kekuasaan tahun 1969, tiga wilayah Cyrenaika, Fessan dan Tripoli memiliki identitas terpisah.

Libyan protesters gather on the rubble of a destroyed section of the mausoleum of Al-Shaab Al-Dahman near the centre of Tripoli on August 26, 2012 to condemn attempts to demolish it and to protest against Islamic extremism. Islamist hardliners bulldozed part of the revered mausoleum in Tripoli in the second such attack in Libya in two days. AFP PHOTO/MAHMUD TURKIA (Photo credit should read MAHMUD TURKIA/AFP/GettyImages)
Penghancuran Musoleum LibyaFoto: Mahmud Turkia/AFP/GettyImages

Di bawah penguasa Libya pertama, Raja Idris, negara ini memiliki konstitusi federal hingga 1963. Sebelumnya, ketiga wilayah tersebut adalah koloni Italia dan bukan merupakan sebuah kesatuan. Kini banyak wilayah di Libya yang merasa lebih terikat dengan kota dan asal-usulnya dibandingkan negara yang bersatu.

Ini karena banyak warga Libya yang memiliki pengalaman buruk dengan kekuasaan terpusat. Karena Gaddafi juga menguasai industri minyak bumi dan dengan demikian seluruh ekonomi negara. Dari pemasukan industri tersebut, ibukota Tripoli dan kampung halaman Gaddafi Sirte yang khususnya mengeruk keuntungan paling besar.

Sementara wilayah Cyrenaika di timur dengan kota Benghazi diabaikan. Bukan suatu kebetulan, bahwa Februari 2011 revolusi dimulai di sana dan Benghazi hingga jatuhnya Tripoli dianggap sebagai ibukota pemerintah revolusi.

Masa lalu belum terlupakan

Upaya mengendalikan milisi bersenjata dan membenahi kejahatan masa lalu dan saat revolusi masih belum dilakukan oleh Libya. "Perkembangan negara terhambat karenanya", ujar Wenzel Michalski dari Human Rights Watch.

Menurut laporan organisasi tersebut, tidak hanya pejuang Gaddafi saja yang melakukan kejahatan. Milisi, yang berperan dalam kemenangan menumbabngkan rezim Gaddafi, juga bersikap brutal terhadap tentara pro-rezim. Setahun setelah kematian Gaddafi pemerintah Libya belum memulai penyidikan terhadap pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan pelanggaran hak warga dari kedua belah pihak.

"Mereka harus diajukan ke pengadilan, supaya apa yang dituntut revolusi bisa benar-benar terlaksana", kata Wenzel Michalski. "Yakni demokrasi dan negara berlandaskan hukum."

LINK: http://www.dw-world.de/dw/article/0,,16313903,00.html