1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Tau Saya Anak Aidit, Teman Saya Lari"

Hendra Pasuhuk19 Desember 2014

Anak Tokoh PKI DN Aidit menceritakan kisahnya sebagai "manusia yang terbuang". Ketika peristiwa 1965 terjadi, ia baru berusia 16 tahun dan sedang bersekolah di Moskow.

https://p.dw.com/p/1E70i
Soft Launching von Indonesia People's Tribunal 1965
Foto: DW/H.Pasuhuk

Dengan suara tegas, Ibarruri Sudharsono Aidit menceritakan kisahnya ketika terpisah dari keluarga dan mengalami berbagai tekanan dari pemerintah Indonesia di bawah rejim Soeharto. Anak sulung Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit itu lama sekali tidak tahu tentang nasib keluarganya dan di mana mereka berada.

Ketika peristiwa 1965 terjadi, ia baru berusia 16 tahun dan sedang bersekolah di Moskow. Tapi bagi rejim Soeharto, ia adalah seorang berbahaya yang "langsung atau tidak langsung pasti terlibat G30S/PKI". Paspornya dicabut dan ia kehilangan kontak dengan keluarga di Indonesia.

Ibarruri bercerita tentang paranoia warga Indonesia yang mengalami indoktrinasi selama puluhan tahun. Ketika sedang kuliah di luar negeri, ia punya teman bicara yang cukup dekat di kampus. Suatu kali, Ibarruri menunjukkan kartu identitasnya yang memuat nama Aidit. "Waktu tahu saya anak Aidit…, teman saya terdiam, kemudian lari." Bagi sebagian besar orang Indonesia, nama itu adalah sesuatu yang menakutkan, dan bisa membahayakan karir mereka.

Indoktrinasi dan Stigmatisasi

17 September 2014, situs 1965tribunal.org soft launching di Auditorium International Instituut voor Sociaal Geschiedenes (IISG), Jalan Cruquiusweg di Amsterdam. 

Dalam acara IPT 1965 itu, hadir tiga generasi korban kekejaman Orde Baru. Sarmadji Sutiyo, yang sudah berusia di atas 80 tahun, menceritakan kisahnya dengan suara berapi-api. Tahun 1965, ia sedang kuliah di Beijing. Sebelumnya, Sarmadji bekerja di Departemen Pendidikan di Jakarta. Tahun 1950, ia bergabung dengan Pemuda Rakjat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia.

Karena paspornya dinyatakan tidak berlaku, Sarmadji tidak bisa kembali ke Indonesia, dan akhirnya mendarat dan bermukim di Belanda. "Paspor Anda tidak berlaku bagi Republik Indonesia, tapi berlaku untuk polisi Belanda," kata pejabat Belanda yang menerimanya.

Di Belanda, Sarmadji mendirikan "Perhimpunan Dokumentasi Indonesia" dan mengumpulkan dokumen-dokumen tentang orang-orang yang dicabut paspornya dan tidak bisa kembali ke Indonesia. (Gambar atas, kiri ke kanan: Sarmadji, Ibarruri Sudharsono, Yusuf Sudrajat, Penerjemah: Lina Sidarto, Moderator: Joss Wibisono)

Memecah lingkaran kebisuan

Lain lagi cerita Yusuf Sudrajat, cucu seorang anggota PKI. Di Jakarta, orangtuanya menceritakan bahwa kakeknya sudah meninggal. Ternyata, kakeknya masih hidup dan terdampar di Belanda karena peristiwa 1965. Orangtuanya merahasiakan keberadaan kakeknya, karena takut intimidasi. Barulah ketika berlibur suatu kali ke Belanda, Yusuf akhirnya tahu kakeknya masih hidup.

"Ternyata, ayah saya selama itu diam-diam ke Belanda dan bertemu dengan ayahnya," tuturnya. Di Indonesia, Yusuf seperti anak-anak sekolah yang lain mendapat indoktrinasi tentang kekejaman PKI. "Waktu tau kakek saya PKI, saya jadi takut sekali…. Saya menyesal tidak mengenal dia lebih baik lagi, sampai dia meninggal," ujarnya.

Yusuf sekarang berharap, dengan adanya IPT 1965, publik di Indonesia bisa mengetahui lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Saya juga berharap publik di Indonesia sekarang lebih siap mendengar tentang kebenaran peristiwa ini," tambahnya.