1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Wajah Mendua Wahabisme

10 September 2014

Mufti besar Arab Saudi Sheikh Abdulaziz Al al-Sheikh menggambarkan Islamic State sebagai ”khawarij”, yang dianggap melakukan bid’ah terbesar, dan menyebabkan perpecahan pertama dan paling traumatis dalam sejarah Islam.

https://p.dw.com/p/1D9fV
Foto: Fotolia/Marcel Schauer

Retorika semacam itu yang ditujukan untuk mengeluarkan kelompok militan itu dari arus besar umat Islam, beberapa pekan terakhir semakin berkembang diantara ulama terkenal Arab Saudi yang melihat Islamic State atau ISIS sebagai ancaman bagi sekutu mereka yakni dinasti Al Saud.

Meski Wahabi yang merupakan mashab resmi Sunni Arab Saudi menyerang ISIS sebagai bid'ah dan ”menyimpang”, namun para pendakwah terkenal mereka masih mendorong sikap tidak toleran terhadap kelompok tertentu yang selama ini juga menjadi sasaran persekusi ISIS di Irak.

Ulama konservatif Abdulrahman al-Barrak dan Nasser al-Omar, yang memiliki lebih dari satu juta pengikut di Twitter, telah menuduh kelompok Syiah menabur “perselisihan, korupsi dan kerusakan diantara umat Islam”.

Sheikh Saleh al-Luhaidan yang dipecat dari jabatan kepala peradilan pada 2008 karena mengatakan bahwa para pemilik media yang bejat telah meninggalkan iman mereka, sesuatu yang bisa dijatuhi hukuman mati dalam Syariat Islam, hingga kini masih dipertahankan sebagai salah satu anggota majelis tertinggi umat Islam di kerajaan tersebut.

Abdulaziz al-Fawzan, seorang profesor hukum Islam dan sering menjadi tamu acara sebuah stasiun televisi relijius terkenal al-Majd, adalah orang yang menuduh Barat berada di belakang serangan 11 September 2011 di Amerika Serikat, sambil mengatakan “para penjahat ini ingin menguasai dunia”.

Pandangan semacam itu, yang digemakan oleh para militan di Irak, bukan hal yang tidak umum di Arab Saudi, yang memberlakukan Syariah, dan telah memenggal kepala 20 orang bulan lalu, di mana para ulama menikmati dukungan dan pendanaan besar dari kerajaan.

Arab Saudi dan mashab Wahabi-nya yang ultra konservatif sering dilihat di Barat sebagai mata air ideologi bagi al-Qaeda, yang melancarkan serangan teror di seluruh dunia termasuk terhadap ISIS, yang melakukan pemenggalan kepala atas sandera di Suriah dan Irak. (Baca: Arab Saudi - Antara Modern dan Dogmatis)

Cara pandang ISIS ditentang oleh para ulama Saudi, termasuk duta besar di London, Pangeran Mohammed bin Nawaf, yang menulis bulan lalu bahwa itu ”bahkan tidak sesuai” dengan ajaran Wahabi.

Selama ini pemerintah Arab Saudi menunjuk pengaruh kelompok radikal Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok yang bertanggungjawab menyebarluaskan pemikiran jihad, sambil pada saat bersamaan mengecilkan peran Riyadh selama beberapa dekade dalam mendukung para Islamis di seluruh dunia, sebagai penyeimbang ideologi kiri yang anti-kerajaan.

Ketidakmampuan pemerintah atau keengganan menindak sikap tidak toleran atas kelompok non-Sunni telah mendorong sejumlah kelompok liberal Arab Saudi serta para analis asing untuk meminta kerajaan itu lebih berkomitmen dalam mengatasi akar radikalisme dan gejalanya.

“Definisi mereka atas ekstrimisme kami tidak setuju. Masih dianggap biasa untuk menyebut Syiah sebagai kafir. Itu tidak dilihat sebagai ekstrimis,“ kata Stephane Lacroix, penulis ”Awakening Islam”, sebuah buku tentang Islamisme di Arab Saudi.

ab/hp (afp,aprtr)