1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Turunnya IQ Demokrasi

Andy Budiman21 Mei 2013

Apa yang terjadi jika panggung politik dipenuhi oleh bintang iklan, artis sinetron hingga pelawak? Politik Indonesia mutakhir ditandai dengan sebuah gejala yang disebut "politik outsourcing".

https://p.dw.com/p/17nX7
Foto: Getty Images

Bukan kontestasi antara PKS, PDI Perjuangan dan Demokrat. Tapi ini adalah persaingan antara Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka dan Dede Yusuf. Itulah kesimpulan yang muncul dari hasil pemilihan Gubernur Jawa Barat.

Popularitas tokoh menjadi faktor penentu ketimbang partai politik. Apalagi, partai-partai besar baru dihajar skandal: Presiden PKS terpental dari jabatan dan dipenjara karena dugaan korupsi impor daging sapi. Sementara Ketua Umum Partai Demokrat, baru diganjar status tersangka oleh KPK. Kredibilitas partai yang anjlok karena korupsi, semakin membuat “faktor ketokohan“ menjadi paling dominan untuk menentukan siapa yang akan menang.

Sebelum Pilkada Jawa Barat, belasan artis terkenal sudah duluan masuk Senayan: Venna Melinda, Angelina Sondakh, Eko Patria hingga Qomar. Beberapa yang lain seperti Rano Karno, sukses terpilih dalam Pilkada.

“Inilah politik outsourcing,“ kata pengajar filsafat politik Universitas Indonesia Rocky Gerung kepada Deutsche Welle.

Rocky Gerung
Peradaban politik Indonesia menurun, kata pengajar filsafat politik UI Rocky Gerung.Foto: privat

Jika di Amerika para artis atau orang beken dipakai untuk mendukung kandidat, maka di Indonesia, para selebritas yang justru ikut pemilihan. Ini semua, menurut Rocky, terjadi karena partai politik tidak punya agenda untuk menyelenggarakan politik bermutu.

DW: Apa yang terjadi, kenapa politik Indonesia tiba-tiba dipenuhi bintang sinetron, bintang iklan hingga pelawak?

Rocky Gerung: Karena tidak ada rekrutmen yang dilakukan secara sistematis oleh partai politik, maka yang terjadi adalah outsourcing. Ini membuktikan bahwa partai-partai yang ada tidak melakukan kaderisasi.

DW: Apa akibat dari model politik outsourcing semacam ini?

Rocky Gerung: Ini akan berdampak pada kemampuan kita untuk mengkomunikasikan kembali masalah politik kepada publik. Akibatnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa populer yang sebetulnya dangkal, padahal kita butuh ucapan politisi yang bermutu. Tapi itu tidak mungkin kita peroleh dengan sistem yang outsourcing seperti ini, yang mengambil tokoh populer dengan pikiran yang terbatas dalam soal gagasan, dalam soal pengetahuan tentang konsitusi.

DW: Anda menyebut bahwa ini membuat politik kita menjadi dangkal, bisa anda elaborasi?

Rocky Gerung: Artinya kita tidak akan saksikan suatu debat politik dengan kekuatan gagasan luar biasa dengan kemampuan untuk menghubungkan suatu isu dengan konstitusi. Ini tokoh-tokoh yang nggak mungkin melakukan itu, karena sejak awal kapasitasnya tidak dimaksudkan utk melayani soal-soal politik yang benar-benar bisa menghasilkan pencerdasan kehidupan kewarganegaraan. Ini bukan lapisan yang betul-betul dipersiapkan secara sadar untuk merawat Republik. Ini sekedar merawat partai, hanya semacam snapshot saja supaya kelihatan bagus. Mereka dipetik sebagai kembang, padahal kembang plastik sebetulnya. Saya tidak bicara ini dalam rangka untuk melecehkan pilihan publik. Tentu hak orang buat mengumpankan diri di dalam popularitas, tapi buat saya ini bukan popularitas dalam pengertian berpolitik yang normal.

DW: Apa yang menjadi penyebab diatas ini semua?

Rocky Gerung: Ini pragmatisme yang tiba-tiba harus diselenggarakan karena struktur partai kita bukan partai yang menghendaki kader. Semuanya kan di partai itu ekslusif, eksklusif dalam feodalisme, ekslusif di dalam dinasti, ekslusif di dalam banyak hal. Jadi kalau kita uji lebih mendasar, cara kita menyelenggarakan partai politik tidak diwarnai oleh semangat citizenship, tapi semangat primordial. Partai tidak merasa harus melayani warga negara. Kalau dia melayani warga maka dia harus mengucapkan gagasan dalam tata bahasa warga negara. Itu kan minimum requirement untuk menyebut diri sebagai partai. Tapi yang terjadi adalah bahasa yang paling murah itu yang dipasarkan. Dan itu paling gampang melalui public figure. Politisi seleb bukan alat untuk memasarkan kewarganegaraan, bukan alat untuk memasarkan konstitusi, bukan alat untuk memasarkan akal sehat. Padahal politik membutuhkan rasionalitas, cara berpikir konsitusional.

DW: Apa dampak politik yang banal ini?

Rocky Gerung: IQ demokrasi kita pasti turun dalam pemilu mendatang. Padahal kita butuh standar IQ demokrasi. Peradaban politik kita turun. Kita bisa lihat dari cara metafor diucapkan, cara argumentasi disusun dalam kampanye. Kita tidak melihat sensasi pikiran, yang ada hanya sensasi dalam bahasa tubuh. Padahal yang kita butuhkan adalah sensasi gagasan, yang terjadi adalah konstipasi, orang ngeden saja nggak bisa buang angin. Orang-orang hari ini betul-betul beternak politisi, dan peternakan itu dikendalikan dua tiga orang yang kita sebut oligarki.

DW: Tahun `50-an, kita bisa membaca perdebatan-perdebatan yang bermutu di konstituante. Kenapa sekarang, setelah lebih setengah abad kemudian, kita tidak melihat kualitas seperti itu di parlemen?

Rocky Gerung: Dulu airnya bersih sehingga yang muncul adalah ikan salmon yang berani berenang melawan arus. Sekarang yang ada adalah ikan buntel yang adanya di selokan.

Rocky Gerung adalah seorang ahli Filsafat Politik dari Universitas Indonesia.