1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tuntutan Pekerja Tekstil di Bangladesh

Ana Lehmann16 Mei 2013

Setelah runtunnya sebuah pabrik tekstil di Bangladesh, para pekerja menuntut kondisi kerja yang lebih baik. Pemerintah dan perusahaan tekstil memutuskan penutupan banyak pabrik.

https://p.dw.com/p/18Y6x
Näherinnen arbeiten in der Bekleidungsbranche in Bangladesch. Foto: Bernd Kubisch (zu dpa-Reportage:"«Boss ärgere dich nicht» - Frauen erringen Rechte in Bangladesch" vom 11.12.2012) +++(c) dpa - Bildfunk+++
Bangladeh Kawasan Industri AshuliaFoto: picture-alliance/dpa

Para pekerja tekstil kaget mendapat kabar pabriknya ditutup. Mereka sebenarnya menggelar aksi protes untuk perbaikan kondisi kerja. Mereka tidak menyangka bahwa pabriknya malah berhenti berproduksi, kata Shireen Huq, aktivis organisasi perempuan Nariphoko.

”Pekerja menggelar protes agar tuntutan mereka ditanggapi serius. Mereka tentu tidak ingin kalau pabriknya ditutup”, kata Huq. Ini sangat merugikan para pekerja, sekalipun mereka menerima bayaran rendah.

Akhir April, gedung pabrik dan pertokoan Rana Plaza di Dhaka rubuh. Lebih dari 1100 orang tewas dan sekitar 2400 orang luka-luka. Sebagai konsekuensi, pemerintah Bangladesh lalu menutup 22 pabrik tekstil yang tidak memenuhi standar keamanan.

Amirul Haque Amin dari serikat buruh tekstil NGWF menuntut adanya pembayaran kompensasi bagi buruh. ”Ini memang langkah yang sudah benar, karena pekerja tidak boleh mengalami bahaya di tempat kerjanya. Tapi kami menuntut agar pekerja tetap mendapat upah atau pembayaran kompensasi.”

Perundingan Menghindari Penutupan

Di kompleks industri Ashulla, dekat gedung pabrik yang runtuh, ratusan pabrik tekstil rencananya akan ditutup. Di situ ada sekitar 500 pabrik. Para pemilik pabrik mengatakan, penutupan itu dilakukan karena ada aksi protes.

Sejak Senin (13/05) para pekerja di sekitar 400 pabrik menggelar aksi protes. Mereka menuntut pembayaran upah lebih tinggi dan hukuman keras bagi pemilik gedung yang runtuh. Amirul Haque Amin tidak setuju dengan penutupan pabrik. ”Ini tidak baik untuk pekerja maupun untuk pengusaha. Para buruh menuntut perundingan. Pengusaha harus memungkinkan perundingan. Penutupan pabrik tidak akan menyelesaikan konflik ini.“

Banyak pekerja tekstil kini takut kehilangan pekerjaannya. Salah satunya Shilpi Akhtar, 25 tahun. Ia bekerja sebagai penjahit pada perusahaan Star Garments di Dhaka. Suaminya menganggur. Mereka punya 3 anak. Akhtar mendapat gaji senilai 46 Euro per bulan. Upah minimum di Bangladesh saat ini senilai 30 Euro per bulan. ”Yang kami perlukan bukan penutupan pabrik, tapi gaji lebih baik dan tempat kerja lebih aman”, kata Akhtar.

Serikat Kerja dan Upah Minimum

Setelah mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Bangladesh akhirnya sepakat menaikkan upah minimum. Tapi belum ada keputusan akhir. Karena komisi yang terdiri dari wakil pemerintah, wakil perusahaan dan wakil pekerja masih harus melakukan rapat untuk menetapkan tingginya upah minimum.

Selain itu, pemerintah Bangladesh akan mengubah undang-undang dan mengijinkan para pekerja membentuk serikat buruh independen. Tapi teks rancangan undang-undang baru masih belum dipublikasi.

Aktivis Shireen Huq tidak terlalu optimis. Sejak dulu organisasi buruh sudah menuntut pembentukan serikat buruh, ”Seandainya ada serikat buruh independen, para pekerja tidak akan bisa dipaksa bekerja di bangunan yang akan rubuh”. Ia mengatakan, gerakan buruh di Bangladesh memang masih terpecah belah mengikuti kepentingan partai politik. Seharusnya, serikat buruh tidak tergantung pada kepentingan partai.

Shireen Huq kini ikut dalam sebuah Dialog Nasional, putaran diskusi yang melibatkan wakil-wakil pemerintah, pengusaha, pekerja dan kelompok masyarakat sipil. ”Kami ingin agar bencana seperti ini tidak terjadi lagi”, katanya. Forum Dialog Nasional sudah menetapkan lima agenda utama. Selain upah minimum dan pembentukan serikat buruh, agenda penting lainnya adalah keamanan tempat kerja, asuransi kerja yang ditanggung oleh perusahaan dan pelayanan kesehatan bagi pekerja.