1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Transgender Malaysia Hidup Dalam Ketakutan

29 September 2014

Aryana baru saja kembali ke rumahnya pada suatu malam, di bulan Juni lalu ketika kelompok penegak kemurnian Islam Malaysia mengamuk, menggeledah apartemennya dan menangkapnya.

https://p.dw.com/p/1DMbi
Foto: picture-alliance/dpa

Menggunakan nama samaran untuk melindungi identitasnya, Aryana adalah seorang transgender – terlahir sebagai laki-laki namun mengidentifikasikan diri sebagai seorang perempuan – yang menjadi bagian dari kelompok yang mengalami penganiayaan di negeri jiran yang berpenduduk mayoritas Muslim tersebut.

Transgeder berumur 30 tahun itu ditahan selama beberapa jam, dan selama itu, ia ditangani secara kasar, dipaksa membuat pengakuan bersalah dan dikenai denda.

“Ini sulit. Ketika memakai pakaian pria, saya merasa seperti berbohong,“ kata Aryana, seorang pekerja seks dengan rambut panjang dicat coklat dan berbedak tebal.

Transgender di Malaysia biasanya adalah laki-laki yang identitas gendernya perempuan, meski ada juga sebaliknya. Beberapa dari mereka melakukan operasi kelamin.

Human Rights Watch mengatakan Malaysia merupakan salah satu negara terburuk di dunia bagi kaum transgender, ketika mereka merilis sebuah laporan pekan lalu yang merinci tentang adanya pengucilan dari masyarakat, diskriminasi dan pelecehan, pemerkosaan dan penangkapan oleh pihak berwenang.

Homoseksualitas adalah sebuah kejahatan di Malaysia. Hubungan seks sejenis – dianggap ”bertentangan dengan hukum alam” – bisa dikenai hukuman hingga 20 tahun penjara, berdasarkan hukum federal.

Negara bagian yang menerapkan syariat Islam juga mengkriminalisasi orang yang mengenakan pakaian lawan jenis. Pelanggaran bisa dihukum tiga tahun penjara dan denda.

Gugatan hukum

Tiga perempuan transgender yang ditangkap empat tahun lalu kini berani melawan dengan mengajukan gugatan di negara bagian Negeri Sembilan karena menganggap aturan seperti itu bersifat diskriminatif dan inkonstitusional.

Tahun 1982, Majelis Fatwa Nasional Malaysia yang merupakan otoritas Muslim tertinggi, melarang operasi kelamin dan menyatakannya tidak Islami. Sejak itu, pihak berwenang mengambil sikap lebih keras kepada transgender dan kaum homoseksual. Sebuah festival gay dilarang pada 2011.

Perdana Menteri Najib Razak, yang menggambarkan dirinya sebagai seorang moderat, berulangkali mengatakan bahwa gay dan transgender adalah menyimpang.

Laporan Human Rights Watch mendesak pencabutan semua peraturan diskriminatif, mengatakan bahwa kelompok transgender rentan terhadap penganiayaan.

Pada bulan Juni, 16 transgender ditangkap dalam sebuah penggerebekan di sebuah pesta pribadi di selatan Malaysia. Mereka dipenjara selama seminggu di tahanan dan dijatuhi denda.

Sejumlah transgender juga dikirim mengikuti kelas ”konseling” tentang “nilai-nilai moral“.

Nisha Ayub, seorang transgender, mengatakan ketika ia ditangkap pada tahun 2000, seorang sipir penjara membawanya dari satu sel ke sel lain untuk menunjukkan payudaranya kepada para tahanan lain. Ia kemudian dilecehkan oleh para tahanan lainnya.

“Kami tidak meminta hak special. Kami Cuma meminta diberikan hak yang sama,” kata Nisha.

ab/rn (afp,ap,rtr)