1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tidak Menjadi Pakistan

Andy Budiman13 Mei 2013

Pemilu Pakistan baru saja berlalu. Sebuah negeri yang bagi banyak orang dianggap sebagai negeri gagal, tempat di mana kekerasan dan intoleransi tumbuh subur.

https://p.dw.com/p/18Wmu
Foto: ASIF HASSAN/AFP/Getty Images

Apa yang bisa kita pelajari dari Pakistan?

Sebuah Republik Islam yang tercabik-cabik perang saudara. Tanah di mana orang bersedia meledakkan diri karena keyakinan bahwa itu adalah perintah Tuhan.

Sebuah negeri yang bertahun-tahun, rakyatnya terjepit diantara para Islamis, diktator militer dan kelompok sekuler yang korup.

Di Pakistan, agama adalah alat permainan politik. Sebuah negeri yang dijuluki Wahabbi Darling. Tempat di mana kuil, pertunjukan musik, atau festival boneka, dibom karena dianggap tidak Islami.

Wajah yang terbentuk sejak Nawaz Sharif, yang kini akan terpilih kembali menjadi perdana menteri, berkuasa.

Nawaz Sharif-lah, perdana menteri yang mengubah Pakistan menjadi semakin konservatif. Selama berkuasa, ia mengintensifkan penggunaan simbol.-simbol agama untuk memperkuat dukungan politik.

Ia ikut bertanggungjawab membangun sebuah sistem politik yang bangkrut dan masyarakat konservatif. Dan warisan itu, yang kini ia dapatkan.

Sebagai perdana menteri baru, kini Nawaz Sharif harus berhadapan dengan kelompok Taliban yang ingin menegakkan Islam dengan cara yang lebih ekstrim.

Pakistan adalah sebuah pelajaran mahal tentang pentingnya memisahkan kekuasaan politik dari agama. Dan kita, harus menghindari jalan yang sama, agar tidak jatuh menjadi Pakistan.