1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tentang Para Raja Kecil di 2014

19 Maret 2014

Salah satu fenomena yang muncul setelah reformasi adalah dinasti politik. Dari Sulawesi Selatan hingga Banten, klan-klan menguasai politik lokal. Inilah salah satu wajah politik Indonesia 2014.

https://p.dw.com/p/1BSCv
Foto: Elnur/Fotolia

Keluarga Syahrul Yasin Limpo, gubernur yang sedang berkuasa untuk periode kedua di provinsi kaya, telah mendominasi politik lokal selama tiga generasi, dan kini generasi keempat sedang menanti.

Delapan kerabat Limpo akan ikut berlaga dalam pemilihan umum legislatif 9 April mendatang: dua orang saudara perempuan, satu saudara laki-laki, dua saudara ipar laki-laki, dua keponakan dan seorang anak perempuannya.

Paradoksnya, dinasti-dinasti ini adalah produk sampingan kelahiran kembali demokrasi Indonesia. Setelah jatuhnya bekas diktator Suharto pada 1998, Indonesia memulai program ambisius bernama desentralisasi, melalui pemilihan umum langsung, yang mengubah para pemimpin lokal menjadi para politisi berpengaruh.

Bagi Indonesia, dinasti keluarga adalah fenomena baru dan terlalu cepat untuk menyimpulkan mereka sebagai sebuah “masalah”, kata Michael Buehler, asisten professor di Northern Illinois University, Amerika Serikat yang melakukan riset tentang elit politik Indonesia.

Saya Kuning

Kampung halaman Limpo di Sulawesi Selatan, bukanlah provinsi terbelakang secara ekonomi.

Dengan jumlah penduduk sekitar delapan juta jiwa, provinsi kaya bijih nikel dan dikenal sebagai produsen besar beras, kakao dan jagung. Ibukotanya Makassar adalah titik penghubung transportasi dan perdagangan antara wilayah barat dengan timur Indonesia.

Duduk di kantornya yang dijaga harimau yang telah dikeringkaan dan menjadi pajangan, Limpo mengutip pencapaiannya sebagai gubernur, bertambahnya kelas menengah, turunnya tingkat kemiskinan, dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Namun, Sulawesi Selatan mempunyai peringkat rendah diantara provinsi lainnya dalam soal pengeluaran anggaran untuk kesehatan dan pendidikan, demikian menurut studi yang dilakukan pemerintah Australia dan LSM Partnership asal Indonesia.

Limpo memulai karir sebagai seorang birokrat rendahan di Gowa, sebuah kabupaten pinggiran Makassar, yang sejak 2005 lalu dipimpin oleh adik laki-lakinya, Ichsan.

Ada delapan keluarga Limpo yang mencalonkan diri atau kembali mencalonkan diri, baik sebagai anggota DPRD tingkat II Kabupaten/Kota, DPRD tingkat I Provinsi atau DPR nasional, dalam pemilu 2014. Sebagian besar – meski tak semuanya – maju dengan tiket dari Partai Golkar, yang dulu pernah dipakai sebagai kendaraan politik Suharto pada masa Orde Baru.

Adik perempuan Limpo, yakni Dewi, maju melalui Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan anak perempuannya, Thita maju sebagai calon dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Limpo tidak memandang keluarganya sebagai sebuah dinasti. Para pemilih punya pilihan, kata dia memberi alasan, dan jika mereka kebetulan memilih Limpo – itu karena sanak keluarga dia memang bekerja keras, berpengalaman dan jujur.

“Anggota keluarga saya telah mendedikasikan hidup mereka untuk rakyat, dan sejauh ini rekam jejak kami sangat baik,” kata dia. ”Hingga kini tak ada keluarga kami yang menunjukkan tanda-tanda korupsi.”

Pada usianya yang ke-28 tahun, keponakan Limpo, yakni Adnan, sudah menjadi seorang politisi veteran. Ia pertama kali terpilih menjadi anggota parlemen provinsi satu dekade silam, ketika ia masih duduk di bangku SMA.

Sekarang ia menjadi kandidat dari Golkar – slogan kampanyenya (“Saya Kuning”) berasal dari warna partai – dan mencalonkan diri untuk duduk di kursi legislatif untuk periode ketiga.

“Lihat John F. Kennedy,” kata dia setelah rapat strategi kampanye di salah satu kedai kopi Makassar. ”Semua kerabatnya cocok menjadi pemimpin pada masanya.”

Thita, 33, salah seorang kerabat Limpo yang maju sebagai calon anggota parlemen nasional, membandingkan keluarganya dengan dinasti Gandhi-Nehru di India.

Selanjutnya

Sebelumnya

Bisa difahami, jika Limpo kurang tertarik untuk membandingkan klan mereka dengan dinasti Chosiyah di Banten yang kini sedang menjadi sorotan karena kasus korupsi. ”Kami mempunyai asal-usul yang berbeda,” kata Limpo.

Symbolbild Indonesien Wahlen
Pemilu menjadi sarana klan politik untuk memperkuat pengaruhFoto: picture-alliance/dpa

Dinasti Chosiyah punya akar bisnis: proyek-proyek konstruksi yang dimenangkan ayahnya selama kekuasaan Suharto menjadi fondasi kekuasaan dan kekayaan mereka sekarang.

Mendiang suaminya, Hikmat Tomet, adalah tokoh Golkar Banten, yang membuat dia bisa menempatkan keluarganya sebagai kandidat atas dalam daftar calon anggota laegislatif partai, kara Buehler. Tiga dari empat sanak keluarga Chosiyah yang maju mencalonkan diri dalam pemilu 2014, adalah kandidat dari Golkar.

“Saya tidak yakin penangkapannya (Chosiyah) akan menghancurkan kekuasaan keluarganya,” kata peneliti Michael Buehler. ”Semua anak buahnya masih menjabat.”

Juru bicara Chosiyah, Fitron Nur Ikhsan berulangkali membela keluarga itu di media massa, dengan menggambarkannya “demokratis” dan berkuasa melalui konsensus.

Sebaliknya, keluarga Limpo berakar di birokrasi – ayah gubernur itu adalah bekas tentara dan lima kali menjadi pemimpin daerah – dan ia sesumbar bahwa keluarganya tidak punya kekayaan atau kontrol atas partai politik. Limpo adalah ketua Golkar di Sulawesi Selatan, tapi memilih kandidat untuk diajukan dalam pemilu adalah tugas anggota partai lainnya yang dipegang oleh keluarga saingan Limpo.

Ini membuat posisinya menjadi lebih lemah dari keluarga Chosiyah, kata Buehler.

Pertumbuhan klan di Indonesia bukannya tak bisa dilawan – lihat saja hasil pemilihan walikota Makassar tahun lalu. Irman Yasin Limpo, adik laki-laki sang gubernur, yang maju dalam pemilihan akhirnya kalah.

Demikian pula Nani Rosada, yang pada Juni 2013 maju untuk menggantikan suaminya Dede sebagai walikota Bandung, juga kalah oleh seorang arsitek lokal.

Di hampir sebagian besar wilayah, bagaimanapun, anggota klan biasanya kalah bukan karena kandidat lainnya punya pikiran yang lebih reformis, tapi karena dikalahkan oleh anggota klan saingan, kata Buehler. “Pembangunan dinasti keluarga terutama dibatasi oleh pengaruh dari keluarga lainnya,“ kata dia.

Penyelidikan KPK atas keluarga Ratu Atut Chosiyah di Banten, bisa memperkuat beberapa dinasti, karena para incumbent ingin digantikan atau bergabung dengan anak-anak serta sanak keluarga lainnya yang mungkin akan melindungi mereka dari penyelidikan.

ab/hp (rtr,dpa,afp)