1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tentang Islam Politik dan Kelompok Tengah

Andy Budiman7 April 2014

Bagaimana membaca kecenderungan Islam politik Indonesia dalam pemilu 2014? Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi membedah Islam politik dan aspirasi suara kelompok tengah yang menjadi rebutan partai.

https://p.dw.com/p/1Bc4g
Foto: Reuters

Pemilihan umum Indonesia menjadi sebuah kajian menarik di tengah kegagalan Arab Spring, yang kini disebut dengan nada getir berbalik menjadi Islamist Winter.

Rezim Islamis dengan dukungan Ikhwanul Muslimin yang terpilih secara demokratis di Mesir – yang kemudian diprotes jutaan rakyat karena dianggap menggerogoti demokrasi – akhirnya terpental lewat kudeta militer. Partai Islam kini berkuasa di Tunisia, sementara di Libya, kelompok militan semakin membangun pengaruh.

Di tengah kegagalan Musim Semi Arab, pemilu yang digelar Indonesia menjadi sorotan masyarakat internasional. Salah satu yang paling banyak menarik perhatian adalah fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dianggap mewakili spektrum Islam politik yang lebih ideologis.

Satu tahun belakangan, partai ini terguncang setelah presiden partai Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan menerima suap impor daging sapi. Kasus itu semakin menyita perhatian publik karena uang yang diduga hasil korupsi juga mengalir ke sejumlah perempuan muda.

Burhanuddin Muhtadi adalah penulis buku ”Dilema PKS” sebuah referensi terpenting yang pernah dibuat tentang partai dakwah yang disebut terinspirasi dan dekat secara ideologis dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Burhanuddin Muhtadi
Riset Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan, isu moderat hanya dipakai PKS menjelang Pemilu.Foto: Privat

“Ini adalah tahun paling sulit yang dihadapi PKS… kasus yang dihadapi mantan presiden mereka Luthfi Hasan Ishaaq dan Fathanah, bukan hanya menciderai jantung kredibilitas PKS di mata publik, tapi juga menciptakan demoralisasi di kalangan kader,“ kata Burhan kepada Deutsche Welle.

Banyak kader inti hengkang, terang Burhan: “Artis lama Astri Ivo yang membantu PKS sejak tahun 2000an, bilang kepada saya bahwa sejak 5 tahun terakhir, dia menarik diri dari PKS karena perubahan di dalam yang cenderung lebih pragmatis dan dianggap kurang Islami“.

Deutsche Welle: Apa yang mendorong PKS belakangan menampilkan citra yang semakin moderat?

Burhanuddin Muhtadi: Dalam situasi (kasus korupsi yang membeli elit partai) ini PKS tidak punya banyak pilihan, apalagi mayoritas masyarakat Indonesia memang cenderung ke tengah. PKS yang awalnya berada di sudut paling kanan, mau tidak mau harus bermigrasi, bertarung dengan partai-partai lain yang juga memperebutkan segmen tengah yang didominasi swing voters”.

Deutsche Welle: Apakah dengan langkah ini bisa dibilang PKS mengalami proses moderasi atau sebetulnya mereka masih ideologis seperti yang dulu?

Burhanuddin Muhtadi: Masih sama! di dalam sama saja. Studi saya menunjukkan, bahasa-bahasa yang bersifat konservatif masih dipertahankan, misalnya membangun framing bahwa ada konspirasi Yahudi yang menguasai dunia, memakai pendekatan oposisi biner dalam melihat bagaimana dunia memperlakukan mereka. Kemudian pendekatan konservatif masih ada di dalam kurikulum partai. Kalau kita bikin protest event analysist untuk mengkaji berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan PKS… isu-isu yang berbau Islamis, terkait konspirasi Yahudi, atau soal jahiliyah modern, adalah yang paling dominan dalam gerakan sosial yang dilakukan PKS. Tapi ketika menjelang pemilu, isu keluar itu dibranding dengan isu strategis yang bersifat non Islamis.

Deutsche Welle: Anda mau bilang bahwa hanya saat menjelang pemilu saja PKS mencitrakan diri moderat, pada hari-hari biasa, partai ini kembali menjadi Islamis?

Burhanuddin Muhtadi: Iya… ini hanya instrumen elektoral untuk mendapat dukungan publik yang lebih luas, tapi di dalam tidak ada perubahan memadai. Bisa anda lihat timingnya, dari penelitian saya… mulai dari tahun ‘99 ketika masih bernama Partai Keadilan (PK) sampai sekarang, isu-isu yang bersifat non Islamis seperti anti korupsi atau kemiskinan, munculnya hanya pada tahun-tahun pemilu. Tapi ketika jauh dari kalender pemilu, protes-protes atau aksi kolektif yang dilakukan kader-kader PKS adalah isu yang bersifat Islamis.

Deutsche Welle: Dalam penelitian anda, bagaimana cara PKS mempertahankan kader inti (kelompok Islamis), sementara pada saat bersamaan, di luar menampilkan citra yang lebih moderat?

Burhanuddin Muhtadi: PKS melakukan pendelatan double track strategy, jadi di satu sisi mereka merawat konstituen Islam konservatif yang selama ini menjadi tulang punggung partai dengan tetap menjaga isu-isu konservatif. Misalnya lewat isu Palestina, anti Israel dan Amerika, yang terus digemakan lewat Liqo (kelompok pengajian kecil kaderisasi) serta kegiatan internal lainnya. Itu terus disuarakan dalam usaha merawat segmen tradisional, tapi saat yang sama, elit PKS juga sadar bahwa pemilih dengan ciri konservatif dan ortodoks semacam ini tidak banyak, karena itu ketika ke luar mereka memakai pendekatan yang universal, yang bisa disambut atau dikenal oleh pemilih yang non konservatif dan jumlahnya secara statistik besar. Jadi double track strategy itu pendekatan Islamis ke dalam, tapi ketika menyapa pemilih di luar, mereka memakai pendekatan non Islamis.

Selanjutnya

Sebelumnya

Kelompok tengah yang diisi oleh para swing voters menjadi incaran semua partai politik. Sejumlah lembaga riset memperkirakan jumlah mereka bisa mencapai 40 persen. Siapapun yang bisa merebut hati mereka, akan bisa memenangkan kontestasi politik.

Moschee Indonesien Jakarta
Kelompok tengah yang didominasi para swing voters adalah mereka yang mendukung Pancasila tapi tak keberatan simbol-simbol Islam semakin banyak muncul di ruang publik.Foto: AP

Deutsche Welle: Siapa sebetulnya “kelompok tengah“ yang suaranya diperebutkan oleh partai politik baik dari spektrum Kanan maupun Tengah ini?

Burhanuddin Muhtadi: Kelompok tengah yang sebagian besar adalah swing voters ini adalah mereka yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi final, tapi saat yang sama akomodatif dalam isu-isu keagamaan. Jadi mereka tidak antipati pada isu-isu keagamaan, dan itu terkonfirmasi oleh berbagai studi kuantitatif dan kualitatif bahwa masyarakat Indonesia memang semakin Islami pada taraf sosial. Tapi ketika masuk ke dalam taraf politis, isu Islami yang diterjemahkan dalam konteks yang radikal seperti mengganti Pancasila, tidak laku. Jadi swing voters itu versi campuran dari karakter Nasionalisme yang dibungkus dengan tafsir terhadap ideologi Pancasila yang jauh lebih terbuka dalam upaya untuk mengekspresikan Islam ke dalam ruang publik.

Deutsche Welle: Jadi bagaimana kelompok tengah ini melihat hubungan antara negara dan agama?

Burhanuddin Muhtadi: Mereka menolak ide untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, tapi makin reseptif terhadap upaya untuk meng-Islamkan ruang publik. Nah pada titik itu, jangankan Demokrat dan Golkar, bahkan PDI Perjuangan juga memakai isu-isu relijius atau Islamisasi ruang publik tadi untuk kepentingan elektoral. Karena itu, isu agama penting, bahkan seorang Jokowi-pun risau kalau diserang bahwa dia kafir, sehingga dia pun harus menunjukkan bahwa seorang Jokowi dan ibunya adalah haji, misalnya. Hal-hal yang berbau simbolik keagaamaan masih penting bagi pemilih yang ada di tengah tadi.

Deutsche Welle: Apakah ini yang menyebabkan partai “Tengah“ atau Nasionalis kini semakin ke “Kanan“?

Burhanuddin Muhtadi: Partai-partai cenderung mengaburkan jenis kelamin ideologis. Mereka tidak mau disebut Nasionalis Sekuler, juga tak mau disebut Nasionalis Kanan, yang terjadi adalah pengaburan identitas, partai-partai ingin meraup semua suara baik yang di Kiri maupun di Kanan. Karena itu identitas yang sering mereka munculkan adalah Nasionalis Relijius, sebuah identitas yang menurut saya kurang menampakkan karakter ideologi. Nah kemudian kalau ada elit-elit Partai Demokrat, Golkar atau bahkan PDI Perjuangan yang menggunakan isu-isu keagamanan, itu merupakan bagian dari kontestasi elektoral. Jadi mereka memanfaatkan isu itu untuk kepentingan elektoral, dalam kerangka melihat fakta sosiologis bahwa masyarakat mengalami proses Islamisasi, yang selama ini gagal dikemas secara menarik oleh partai-partai Islam. Itu semua hanya upaya menunggangi proses Islamisasi… terutama mengambil hati para pemilih yang mengalami proses born again Muslim.

Burhanuddin Muhtadi, Pengamat Politik, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Master Ilmu Politik Australia National University (ANU), Penulis buku ”Dilema PKS: Suara dan Syariah”, 2012.