1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tayangan SmackDown! Dihentikan

Zaki Amrullah dan Ayu Purwaningsih1 Desember 2006

Stasiun TV LaTivi akhirnya menyerah. Tayangan berkelahi bebas bohong-bohongan SmackDown! akhirnya dihentikan, menyusul protes dari masyarakat selama lebih dari sepekan terakhir.

https://p.dw.com/p/CPVq
Orangtua diharapkan dampingi anak dalam menonton televisi
Orangtua diharapkan dampingi anak dalam menonton televisiFoto: Bilderbox

Manajer LaTivi mengatakan penghentian penayangan itu dilakukan untuk mengakhiri kontroversi tentang acara televisi itu. Tetapi LaTivi mengimbau agar yang berwenang konsisten dan menertibkan tayangan-tayangan lain yang juga mirip dengan tayangan semacam SmackDown!

Seiring bertambah maraknya protes masyarakat atas tayangan berkelahi bebas bohong-bohongan SmackDown!, Stasiun TV Lativi akhirnya menghentikan penayangannya. Menurut Aris Merdeka Sirait, dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, setidaknya sudah tujuh anak yang dilaporkan menjadi korban kekerasan antar mereka, akibat menonton tayangan SmackDown! di Stasiun TV Lativi. Mereka diduga meniru adegan berkelahi dalam tayangan itu. Lebih tragis lagi, dua diantaranya meninggal dunia.

Laporan aksi kekerasan yang diduga sebagai dampak tayangan TV bermula ketika seorang pelajar usia 9 tahun Reza Ikhsan Fadillah tewas beberapa waktu lalu, setelah dianiaya tiga kakak kelasnya. Pelajar kelas 3 Sekolah Dasar di Bandung Jawa Barat itu meninggal setelah sekitar sepekan dirawat di rumah sakit. Belakangan ayah korban, Herman Suratman, menyatakan, putranya meninggal karena dianiaya ketiga kakak kelasnya yang meniru adegan SmackDown! di layar TV.

Acara berkelahi bohong-bohongan yang dikenal dengan SmackDown! ini memang banyak digemari. Salah satunya Andika, bocah 9 tahun, yang mengaku bertahun-tahun menggemari acara tersebut.

Aditya, 8 tahun, juga menyukainya. Namun mengaku tidak suka meniru adegan perkelahaian yang disaksikannya di acara Smack Down! Ia tahu bahwa adegan tersebut hanya trik semata, bukan adegan perkelahian sesungguhnya.

Yudistira, ayah Aditya tidak melarang anaknya menyaksikan tayangan itu. Sebab menurutnya, tidak ada alternatif lain, karena program TV di Indonesia tidak ada yang bagus dan bersifat mendidik. Apalagi akhir-akhir ini banyak film-film agamis yang dicampur dengan adegan horror sehingga membuat anak-anak malah ketakutan dan berpikir tidak logis.

Ia menganjurkan orang tua lain agar berusaha sebisa mungkin mendampingi anak-anaknya dalam menyaksikan tayangan televisi sambil memberikan pengertian yang positif tentang apa yang ditonton.

Komnas Anak sendiri masih akan meneliti lebih lanjut, apakah kekerasan dan aksi brutal yang melibatkan antar anak itu, betul-betul dipicu oleh tayangan SmackDown! semata. Penelitian yang akan dilakukan Komnas Anak ini, didukung oleh pihak Lativi. Stasiun TV milik pengusaha Abdul Latif itu mengaku telah menaati aturan penyiaran. yaitu dengan menaruh acaranya di jam tayang malam hari dan peringatan bahwa SmackDown! adalah tontonan orang dewasa.

Komisi Penyiaran Indonesia menganggap respon Lativi terlambat, mengingat stasiun itu telah jauh hari diingatkan KPI untuk memindahkan jam tayang acara tersebut ke jam yang lebih larut, sebelum insiden terjadi. Koordinator isi siaran KPI Pusat Ade Armando mempersilakan masyarakat yang merasa dirugikan mempidanakan kasus ini.

Undang-Undang penyiaran Nomor 32 tahun 2002 menyebutkan sanksi bagi pengelola staisun TV yang menayangakan adegan kekerasan dan pornografi diancam hukuman penjara paling lama lima tahun dan atau denda 10 milyar Rupiah.

Sementara KPI sendiri hanya dapat melakukan mediasi antar pihak yang berseberangan, yaitu masyarakat yang memprotes dan manajemen Lativi. Menurut Sasa dari KPI sebenarnya dapat diambil jalan tengah atas kasus tersebut, tanpa merugikan kedua pihak.

Sementara itu, Kantor Pusat World Wrestling Entertainment di Connecticut, perusahaan yang memproduksi tayangan SmackDown!, menyatakan tidak ada hubungan antara acara TV tersebut dengan kematian Reza. Psikolog Universitas Atmajaya Irwanto menjabarkan faktor yang menentukan perilaku seorang anak bukan hanya dari tontotan televisi. Bila sekedar menonton, efek menirukan adegan, relatif kecil. Namun bila ada faktor-faktor lain, misalnya permainan elektronik yang bersifat pertarungan, bisa jadi mempengaruhi perilaku anak.

Irwanto menambahkan hingga kini masih menjadi debat klasik, sejauh mana efek televisi terhadap perilaku anak. Irwanto menyarankan agar orang tua dapat mendorong kegiatan berimbang bagi anak. Bila memperbolehkan menonton TV, juga harus diikuti kegiatan-kegiatan lainnya yang positif.