1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tak Ada Kebahagiaan Idul Fitri di Gaza

28 Juli 2014

Hari paling membahagiakan dalam kalender Muslim adalah hari raya Idul Fitri, yang hari Senin (28/7) ditandai dengan tangis dan penderitaan di Jalur Gaza, yang babak belur akibat perang antara Israel dengan Hamas.

https://p.dw.com/p/1CkEy
Israel Gazastreifen Nahost-Konflikt
Foto: REUTERS

Menandai akhir bulan puasa Ramadhan, Idul Fitri biasanya adalah saat perayaan yang menyenangkan, bahkan bagi warga Palestina pesisir yang miskin dan terisolasi oleh blokade ekonomi Israel.

Tapi ini bukan masa-masa normal di Gaza.

“Bagaimana perasaan seorang ibu, ketika ia bangun membuka mata pada hari Idul Fitri dan tidak melihat putranya berada di sisinya?” kata Abir Shammaly, yang anak laki-lakinya tewas selama serangan Israel di distrik Shejaia, sebelah timur Gaza,

Bukannya merayakan lebaran dengan yang hidup, Shammaly memilih duduk di samping makam putranya yang masih basah, bergabung dengan warga Gaza lainnya yang menyampaikan penghormatan kepada lebih dari 1.000 orang, yang banyak diantaranya adalah warga sipil, yang menjadi korban. (Baca: PBB Desak Gencatan Senjata)

Anak perempuannya meletakkan bunga putih dan jambon dengan bisu ke gundukan yang baru digali itu.

“Dunia sedang melihat kita, tapi mereka tidak merasakan (penderitaan) kita. Kenapa mereka menyia-nyiakan nyawa rakyat Palestina? Kenapa mereka melakukan ini kepada kami?” kata Shammaly, yang rumahnnya hancur dibombardir Israel.

Setelah tiga munggu pertempuran, salakan senjata berhenti pada hari Senin, karena Hamas mengumumkan gancatan senjata 24 jam yang bertepatan Idul Fitri. Israel mengatakan mereka hanya akan menembak jika ditembak, dan hanya sesekali terdengar bunyi ledakan yang memecah keheningan.

Racun

“Ini adalah hari libur melihat orang menjadi martir, melihat kehancuran. Liburan apa ini? Siapa yang punya hati untuk menikmati liburan ini?” tanya seorang perempuan tua, Um Mustafa Jarbou, dengan air mata mengalir di wajahnya.

Ia datang dari Beit Lahiya di Gaza bagian utara, tapi sebagaimana banyak orang lainnya, ia mengungsi sebelum serangan Israel.

“Ketika kami makan, rasanya seperti racun. Memalukannya mereka. Di mana dunia? Mana orang-orang? Tanya dia, menyampaikan pandangannya bahwa dunia luar, termasuk banyak negara sahabat Arab, tidak mempedulikan penderitaan mereka.

Pada saat normal, jalan-jalan di Gaza akan diisi dengan anak-anak yang bergegas memamerkan pakaian baru dengan tangan penuh menggenggam permen. Hari Senin jalan-jalan kosong.

Suasana tegang. Jika telepon berbunyi, tak selalu artinya dari kerabat atau teman yang ingin menyampaikan selamat lebaran.

“Dengar Hamas, jika kamu masih hidup kamu harus tahu bahwa jika kalian melanjutkan (serangan roket), kami akan membalas, kami akan membalas keras,” demikian rekaman pesan telepon yang diterima warga Palestina, yang merupakan bagian dari kampanye Israel untuk membujuk Hamas menghentikan serangan.

Di rumah sakit terbesar Gaza, sebuah kelompok anak muda datang membagikan permen kepada anak-anak yang terluka, yang tubuh kecilnya menanggung luka merah dan marah akibat perang.

“Saya tidak tahu Idul Fitri. Mungkin ada Idul Fitri di luar. Kami semua terluka di ini,” kata Inas Ashour, 16 tahun, yang kepalanya luka akibat gempuran senjata di kota pinggiran timur Gaza, Zeitoun.

Ketika ditanya apakah dia bahagia, seorang anak 5 tahun Aya Al-Namla, berpikir sejenak saat berbaring di tempat tidurnya. ”Ya, sebelum pengeboman.”

ab/hp (afp,dpa,ap)