1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Pemilu Presiden, Pemenangnya Sudah Lama Diketahui

9 Juli 2009

Dengan perolehan suara yang sekitar 60 persen menurut penghitungan cepat lembaga survey, hampir dipastikan SBY akan menduduki jabatan presiden untuk ke dua kalinya..

https://p.dw.com/p/IkJL
Sybille Golte

Membosankan - begitu sejumlah pengamat menilai berlangsungnya pemilu presiden di Indonesia. Kampanye pemilu tanpa kehebohan yang berarti; proses pemungutan suara diwarnai masalah birokrasi dan organisatoris yang biasa muncul dan pemenang yang sebenarnnya sudah lama diketahui: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan mayoritas suara.

Sebelas tahun setelah kekuasaan otoriter Jendral Suharto berakhir, pemilu demokratis menjadi bagian keseharian Indonesia. Hasil pemilu kali ini tidak mengejutkan, di luar negeri pun kembali terpilihnya SBY tak terlalu menghebohkan karena memang tidak ada yang meragukan kemenangannya.

Mengapa tidak? Indonesia adalah negara multietnis, sama seperti Cina, Afghanistan dan Sri Lanka - negara-negara yang mengalami ketegangan antar ethnis yang memicu konflik berdarah. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak dunia, namun radikalisme massal yang mengatasnamakan agama, seperti yang saat ini bisa diamati di Iran, Afghanistan dan Pakistan tidak terbayang di Indonesia.

Di Indonesia kemiskinan masih tersebar luas dan merupakan salah satu masalah utama. Meski, berkat stabilitas ekonomi ada harapan situasi ini akan membaik, karena di saat krisis keuangan melanda pun Indonesia mencatat angka pertumbuhan stabil yang cepat atau lambat akan mengangkat Indonesia ke kelompok negara ambang industri.

Korupsi yang adalah warisan era Suharto masih dapat diamati dalam ekonomi dan sistem hukum Indonesia. Walau begitu, pernyakit kronis ini tetap tidak mampu menghancurkan sistem politik Indonesia.

Topik lainnya yang pelik: sama seperti negara lainnya yang memiliki sejarah kekuasaan diktator, Indonesia pun dihantui konflik dan pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Tidak ada penyelesaian perhitungan era Suharto dan pelanggaran-pelanggarannya seperti misalnya masalah Timor Timur atau Aceh. Kembalinya aparat militer yang sebelumnya begitu berkuasa ke barak-barak - jika diamati dari luar - terjadi tanpa banyak huru hara.

Mungkin salah satu alasannya adalah para kandidat, baik yang tengah menjabat maupun yang menginginkan jabatan - memiliki masa lalu politis di era Suharto. Ketiga pasangan capres dan cawapres selalu masing-masing menampilkan seorang jendral yang pernah mengabdi di bawah Suharto.

Tangan dua di antaranya jelas-jelas berlumuran darah. Jendral Wiranto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Timor Timur. Jendral Prabowo Subianto memimpin Kopassus dan adalah menantu mendiang Suharto. Hanya Jendral Yudhoyono yang sedari dulu dan sampai sekarang dinilai memiliki integritas - meski perhitungan dengan masa lalu juga tidak dapt diharapkan darinya. Tampaknya itu akan menjadi tugas salah satu penggantinya.

Lalu, mengapa perubahan di Indonesia terjadi tanpa kekerasan dan hampir tidak terdengar walau ada sejumlah potensi konflik? Bisa jadi itu adalah berkat presiden yang kini terpilih kembali - tapi tanpa masyarakat sipil yang selalu siaga, yang terus mendesak dituntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM, menuntut kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, perkembangan ini tak mungkin terjadi.

Dengan pemilu ini, negara multietnis Indonesia dengan 240 juta penduduknya kembali membuktikan, bahwa ia layak menduduki peringkat sebagai demokrasi terbesar ketiga dunia.

Sybille Golte

Editor: Ziphora Robina