1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Masa Depan Suram India-Pakistan

Grahame Lucas20 Agustus 2014

India telah membatalkan rencana dialog pekan depan di Islamabad. Ini terjadi setelah PM India menuduh Pakistan melakukan 'perang proxy' di Kashmir.

https://p.dw.com/p/1Cy1M
Foto: Reuters

Beberapa hari yang lalu, masih terlihat sinyal positif dari New Delhi dan Islamabad. Perdana menteri Pakistan Nawaz Sharif telah diundang ke New Delhi untuk menghadiri inagurasi Narendra Modi sebagai perdana menteri India. Pembicaraan bilateral antar dua menteri muda di kementrian luar negeri dijadwalkan akan digelar pekan depan di Islamabad.

Kedua pihak juga menahan diri untuk terlibat dalam permainan saling menyalahkan dan mengurangi retorika dalam beberapa bulan terakhir. Semua ini menambah harapan bahwa kedua negara ini bisa menemukan cara untuk memulai kembali composite dialogue India yang dibekukan setelah serangan teroris 2008 di Mumbai. Saat itu organisasi Lashkar-e-Taiba yang berbasis di Lahore yang dituduh melakukan aksi tersebut.

Tapi harapan ini musnah, setelah India membatalkan kunjungan Menlu Sujata Singh ke ibukota Pakistan minggu depan. Alasan pembatalan terkesan masuk akal. Pemerintah India mengatakan, keputusan Komisaris Tinggi Pakistan Abdul Basit untuk berunding dengan separatis dari wilayah Kashmir yang berada di bawah pengawasan India "menimbulkan pertanyaan akan ketulusan Pakistan dan merusak upaya diplomatik konstruktif yang dilakukan oleh perdana menteri baru India." Tapi jika mengingat bahwa sebelumnya Pakistan juga berbicara dengan Kashmir tanpa mendapat reaksi dari India, masalah baru ini sepertinya tidak hanya sebatas hal tersebut.

Jadi apa yang memicu perubahan pemerintah India? Ini tantangan bagi Modi. Pemimpin Hindu-nasionalis ini tidak bisa tampil lemah di hadapan warga yang memilihnya. Ia telah berjanji untuk memperkuat India dalam kampanye pemilu.

Kashmir telah menjadi tema konflik kedua negara tersbeut sejak 1947. Dua negara tetangga yang memiliki senjata nuklir ini telah berperang tiga kali dalam 67 tahun dan hampir kembali berperang tahun 2008 setelah serangan Mumbai. Jelas, India merasa teroris Islam kembali berusaha membuat masalah di Kashmir dan mereka mendapat lampu hijau dari penyadang dana di Islamabad. Kesimpulan ini terdengar jelas dari pernyataan Modi pekan lalu sebelum ia berkunjung ke Kashmir. Ia menuduh Pakistan menjalankan 'perang proxy' di kawasan tersebut.

Deutsche Welle Grahame Lucas
Redaktur DW Grahame LucasFoto: DW/P. Henriksen

Bagi PM Pakista Nawaz Sharif, pembatalan dialog tersebut adalah sebuah bencana. Perjalanannya ke New Delhi untuk inagurasi Modi adalah pertaruhan nama besarnya. Ia mengambil resiko menantang kalangan angkatan bersenjata industrial-militer yang berkuasa dan dinas intelijen ISI. Pembuktian pengaruh mereka atas kebijakan luar negeri dan keamanan Pakistan tergantung pada ketegangan signifikan dengan India. Tanpa ancaman dari tetangga yang kuat, warga biasa Pakistan tidak akan menerima anggaran militer besar-besaran atau fakta bahwa ISI beroperasi tanpa diawasi pemerintah Pakistan.

Nawaz Sharif sendiri secara terbuka mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki hubungan perdagangan dengan India dan mengurangi ketegangan politik. Ia berharap kondisi semacam itu akan saling menguntungkan dan membantunya mengangkat negaranya dari masalah ekonomi. Ia adalah orang terakhir yang akan memberikan lampu hijau bagi terorisme di Kashmir.

Namun, ada catatan bahwa di masa lalu dinas intelijen Pakistan, ISI, melatih dan membiayai teroris dengan tujuan menggoyang kestabilan di Kashmir India. Waktu serangan baru-baru ini bukan kebetulan. Ini provokasi bagi Modi dan mempermalukan PM Pakistan yang saat ini kewalahan dengan banyaknya demonstrasi anti-pemerintah yang dikoordinir oleh Imran Khan dan Tahirul Qadri. Keduanya dicurigai terkait dengan militer Pakistan.

Lagipula, ini akan memberi kesan bahwa lawan dan kedekatan antara India dan Pakistan telah memenangkan pertarungan politik pertama di era Modi-Sharif. Ini peringatan bagi Sharif untuk mengabaikan kebijakannya. Tapi faktanya, kedua pria ini saling membutuhkan untuk bisa mengatasai masalah ekonomi yang mendesak. Pertanyaan berikutnya adalah, mampukah mereka mengatasi oposisi di negara sendiri? Hal yang sepertinya memiliki masa depan suram.