1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Studi: Penderita Fobia Tidak Berlebihan

Brigitte Osterath13 Januari 2014

Takut laba-laba? Mungkin Anda memandang hewan berkaki delapan itu dengan sangat berbeda. Ini karena fobia mengubah persepsi seseorang, menurut sebuah studi teranyar dari periset Jerman.

https://p.dw.com/p/1Aola
Foto: picture-alliance/dpa

Laba-laba mungkin hanyalah hewan kecil berkaki delapan. Namun hewan ini dapat membuat penderita arachnofobia menjadi gila.

Dalam sebuah eksperimen, para ilmuwan mempelajari bahwa penderita arachnofobia menyadari gambar laba-laba lebih cepat dari kelompok lainnya yang tidak menderita fobia yang sama. Dan gambar-gambar laba-laba itu terpatri di pikiran mereka untuk waktu yang lebih lama. Ini semua karena kesadaran persepsi mereka telah berubah, menurut temuan sebuah studi oleh para psikolog di Universitas Mannheim.

"Studi kami menunjukkan bahwa rangsangan terkait fobia mengatur bagaimana otak memproses penglihatan," ujar Georg Alpers, salah satu penulis studi. "Perbedaan individual antar manusia mempengaruhi bagaimana mereka melihat lingkungan sekitar."

Oleh karena itu, orang yang menderita sebuah fobia tidak melebih-lebihkan rasa takut mereka, entah se-irasional apa reaksi mereka.

Dua gambar sekaligus

Dalam melakukan eksperimennya, psikolog memperlihatkan kepada sampel mereka, yang termasuk penderita arachnofobia dan non-arachnofobia sebagai kelompok kontrol, dua gambar berskala abu-abu sekaligus, menggunakan stereoskop - satu untuk mata kiri dan satu lagi mata kanan.

Salah satu gambar selalu menunjukkan pola segitiga yang berganti-ganti antara gelap dan terang. Gambar satu lagi memperlihatkan entah laba-laba atau bunga. Dan setelah 8 detik, gambarnya berganti.

Periset tengah mengembangkan cara baru untuk mengatasi arachnofobia, termasuk dengan realitas maya
Periset tengah mengembangkan cara baru untuk mengatasi arachnofobia, termasuk dengan realitas mayaFoto: Fotolia/Klaus Eppele

Laba-laba mengalahkan bunga

Subyek penelitian harus menekan tombol untuk mengindikasikan apa yang mereka lihat: pola, laba-laba (atau bunga, bergantian) atau kombinasi keduanya. Karena persepsi dapat berubah sepanjang tes, periset juga menghitung berapa lama sebuah gambar bertahan di pikiran subjek.

Penderita arachnofobia mengenali laba-laba hampir dua kali lebih sering dibandingkan mereka yang tergabung dalam kelompok kontrol. Dan rata-rata, mereka melihat gambar laba-laba selama sekitar empat detik - dua kali lebih lama dibandingkan subjek tes lainnya.

"Dengan penderita arachnofobia, gambar laba-laba unggul lebih cepat dan lebih sering dalam kontes persepsi melawan gambar yang netral," kata Antje Gerdes, penulis kedua dalam studi itu.

Keputusan tidak disengaja

Hingga 5 persen populasi dunia menderita akrofobia, takut ketinggian
Hingga 5 persen populasi dunia menderita akrofobia, takut ketinggianFoto: ISNA

Gerdes dan Alpers menutup kemungkinan bahwa penderita arachnofobia dalam studi mereka secara sukarela mendekatkan diri pada laba-laba. "Tidak mungkin seorang pasien yang takut laba-laba secara sengaja mengekspos diri kepada objek yang ditakuti lebih lama dari seharusnya," tulis mereka dalam 'Journal of Experimental Psychopathology.'

Lebih lanjut, dalam kasus ini, orang tidak dapat secara sadar mengontrol apa yang mereka lihat.

"Studi ini menunjukkan apa yang selama ini sudah diketahui dalam psikologi," ucap Dieter Best, wakil ketua Asosiasi Psikoterapis Jerman (DPtV).

Emosi dan rasa takut terutama berperan penting dalam menentukan preferensi otak terhadap gambar tertentu.

Kutukan yang evolusioner

Para ilmuwan dalam studi menduga sirkuit saraf dalam otak yang bertanggung jawab.

Amigdala, saraf yang memicu rasa takut dalam otak, mungkin terhubung langsung dengan korteks penglihatan, sebuah bagian otak yang memproses apa yang seseorang lihat dan memilih apa yang harus diwaspadai.

Jadi ini berarti apabila mata menangkap sesuatu yang ditakuti, sirkuit saraf akan mengaktifkan korteks penglihatan dan kemudian memastikan orang tadi pasti melihatnya. Namun ini sesuatu yang masih harus dibuktikan oleh periset.

Alpers yakin hasil studi dapat membantu psikoterapi karena membuktikan bahwa pasien tidak melebih-lebihkan reaksi mereka. Sehingga psikoterapis dapat lebih memahami pasiennya. Namun tidak semua orang setuju.

"Setiap psikoterapis sudah cukup mengenal prinsip dasar persepsi selektif," kata psikoterapis Best.