1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Studi Baru Picu Debat Lumpur Lapindo

Edith Koesoemawiria23 Juli 2013

Debat soal penyebab lumpur Lapindo kembali memanas setelah sebuah penelitian kuatkan alasan perusahaan gas PT Lapindo Brantas.

https://p.dw.com/p/19CAd
Foto: picture alliance/dpa

Hasil studi yang diterbitkan di jurnal “Nature Geoscience” itu menyebutkan bahwa bencana itu akibat gempa bumi, bukan kesalahan tim pemboran. Temuan ini bertolak belakang dengan penilaian banyak pakar sebelum ini.

Lusi, berlokasi di Sidoarjo mulai meluapkan lumpur pada 29 Mei 2006. Luapan itu menghancurkan 13 desa, puluhan pabrik, toko dan jalan lintas. Sekitar 50 ribu keluarga terpaksa diungsikan. Tujuh tahun kemudian, lubang pemboran gas itu kini masih memuntahkan belasan ribu kubik lumpur setiap harinya, yang wilayah tumpahnya dibatasi bendungan setinggi 10 meter.

Indonesien Java Schlammvulkan Lusi
Sidoarjo 2006Foto: picture alliance/dpa

Tim riset baru yang dipimpin Stephen Miller di Universitas Bonn, Jerman menilai bahwa meluapnya lumpur disebabkan gempa berkekuatan 6.3 di skala Richter yang terjadi dua hari sebelumnya dekat Yogyakarta. “Kami berkonklusi luapan lumpur Lusi disebabkan oleh peristiwa alamiah“.

Meskipun jarak kejadian kedua peristiwa itu mencapai 250 kilometer, bentuk dan struktur formasi batuan di Sidoarjo memiliki karaketistik lensa yang mengamplifikasi dan memfokuskan gelombang seismik dari Yogyakarta. Begitu hasil percobaan tim itu pada model di komputer.

Diduga, gejolak energi telah mencairkan sumber lumpur, menyebabkan tumpahnya ke dalam patahan yang terkoneksi dengan sistem hydrothermal yang sangat dalam. Tekanan panas itulah yang menyebabkan terjadinya luapan lumpur. Begitu teorinya.

Mengomentari studi tersebut, geolog Inggris Richard Davies merujuk pada laporan harian pemboran yang dilakukan tim Lapindo Brantas di Sidoarjo. Menurut Davies, laporan itu menunjukkan rangkaian permasalahan saat eksplorasi gas berlangsung. Bahkan pada hari pertama erupsi, tim pemboran mengaku kesulitan menstabilisasi tekanan di dalam lubang. Padahal ini perlu, agar bisa mencabut ujung tombak bor.

Begitu professor dari Universitas Durham, Inggris tersebut. Tambahnya, hal itu dan kenyataan bahwa tidak ada sekat pengaman pada sumur tersebut, menyebabkan reaksi yang “bagaikan menarik keluar tutup botol champagne”.

"Ketika gempa terjadi di Yogyakarta, di dalam sumur tidak terjadi apa-apa. Tekanan di dalam sumur itu memang sudah jauh lebih besar daripada perubahan tekanan yang terjadi akibat gempa itu, jelas Davies. "Mereka telah menemukan model geo fisika yang rumit, tapi sepertinya mereka mengabaikan data-data yang jelas", tambahnya.

Klik untuk halaman berikut artikel ini

Balik ke halaman sebelumnya

Banyak pakar seismologi yang mendukung penjelasan penjelasan Davies. Sejumlah diantaranya menegaskan bahwa telah terjadi sejumlah gempa lebih besar di lokasi yang lebih dekat dengan Sidoarjo, namun semuanya tidak menyebabkan erupsi lumpur.

Sidoarjo 2006
Foto: picture-alliance/dpa

Pada puncak aktifitas, Lusi mengeluarkan 180,000 kubik lumpur seharinya, sekarang luapannya hanya seperpuluh dari itu. Menurut badan pemerintah yang memitigasi dampak luapan lumpur Sidoarjo, BPLS, besar luapan lumpur saat ini masih seukuran enam hingga delapan kolam renang Olimpiade.

Amien Widodo, geolog dari Institut Sepuluh Nopember di Surabaya, mengatakan bahwa sulit memprediksi kapan luapan itu berakhir, “bisa jadi baru berhenti 100 tahun lagi.”

Semua korban Lapindo telah menerima semacam angsuran kompensasi, ada yang menerimanya dari pemerintah dan ada yang dari Lapindo Brantas milik keluarga Bakrie. Masih 5000 orang yang menunggu kompensasi penuh.

ek/hp (afp/dpa)