1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Strategi Baru Jemaah Islamiyah di Indonesia

Zaki Amrullah21 Maret 2008

Dua petinggi Jamaah Islamiyah menghadapi tuntutan di pengadilan untuk sejumlah kasus terorisme. Pemimpin sayap militer Abu Dujana dan pemimpin darurat JI Zarkasih terancam hukuman mati. Bagaimana kekuatan JI sekarang?

https://p.dw.com/p/DSX9
Bendera berkibar di Kedubes Australia di Jakarta yang dibom pada tanggal 9 September 2004. Tampak gedung di sebelah kanan kedubes yang hancur akibat bom tersebut.
Bendera berkibar di Kedubes Australia di Jakarta yang dibom pada tanggal 9 September 2004. Tampak gedung di sebelah kanan kedubes yang hancur akibat bom tersebut.Foto: AP

Catatan menunjukkan, setidaknya ada sekitar 317 anggota JI yang telah ditangkap dan diadili atas sejumlah kasus terorisme. Mulai kasus Bom Bali I dan II, Bom Hotel Marriott, Bom Kuningan, Bom Atrium Senen, Bom Malam Natal tahun 2000, Bom di Kediaman Dubes Filipina serta kasus terorisme di Poso. Penangkapan pemimpin darurat JI, Zarkasih dan pemimpin sayap militer Abu Dujana, tak pelak merupakan salah satu puncak keberhasilan polisi. Diyakini, penangkapan kedua petinggi itu telah memporak- porandakan organisasi Jamaah Islamiyah.

Nyatanya, serangan bom teror juga sudah menurun sangat jauh. Tetapi Kepada Deutsche Welle dari dalam selnya, Abu Dujana meyakinkan, bahwa masih banyak kader JI yang siap melanjutkan aksi-aksi maut jaringan teror Asia Tenggara ini.

Peneliti ICG Sidney Jones mengakui, kemungkinan JI telah berkonsolidasi sepeninggal Zarkasih. “Ada banyak rumor bahwa sejak Zarkasih ditangkap ada Amir sementara lagi, ada beberapa calon yang namanya pernah saya dengar tapi juga gak jelas apakah orang seperti pejabat sementara akan dilantik secara penuh, ” ungkapnya.

Kepemimpinan organisasi penyebar kematian seperti JI memang selalu gelap dan rahasia. Namun pertanyaan siapa sekarang menjalankan roda JI di tengah masa sulit ini, tetap saja menggelitik informasi intelijen kepolisian memunculkan satu nama, Abu Huzna. Ia kini diyakini merupakan pemimpin tertinggi JI. Abu Huzna memang bukan orang baru, Ia adalah adik dari Abu Fatih, bekas ketua Mantiqi 2 JI.

Bekas petinggi JI, Nasir Abbas, yang kini justru membantu polisi, mengenal dekat sosok ini. Nasir Abbas menceritakan, “Dia kelahiran Pacitan, Jatim. Dia itu hanya kursus singkat saja di Filipina. Kursus singkat aja sekitar tahun 99 - 2000. Keterampilan yang menonjol, dia seorang pendakwah seorang guru, seorang motivator, gitu. Dia memang ketua yayasan di sana. Dia pengurus Ma'had Ali. Perannya yang menonjol, bersama Abu Dujana, dan Zarkasih, ia termasuk yang melantik Zarkasih untuk jadi Amir.” Namun Nasir Abbas tidak yakin betul bahwa Abu Huzna sudah diangkat menjadi Amir baru Jamaah Islamiyah. Dikatakannya, “Saya tidak pernah dengar itu. Ya, orang hanya bisa saja berandai-andai”

Deutsche Welle juga mencoba menelusuri kabar kepemimpinan baru JI lewat terpidana Bom Bali I, Ali Imron, yang kini bekerja untuk polisi. Namun sayang, melalui telepon selulernya ia menolak memberi keterangan.

“Saya di sini di bawah pengawasan Mabes Polri dilarang memberikan keterangan tanpa ijin dari mereka, jadi saya menghormati peraturan itu. saya menjaga perjanjian yang saya itukan dengan mereka.“

Begitulah ungkap Ali Imron, yang beruntung memiliki fasilitas telepon genggam di dalam penjara. Terlepas dari itu, sejumlah laporan menyebutkan Abu Huzna adalah sosok yang berbeda dibanding para pemimpin JI sebelumnya, yang umumnya punya keahlian militer. Huzna lebih menonjol sebagai pendakwah ketimbang ahli tempur. Ia juga disebut-sebut sebagai penentang keras Faksi JI yang dikendalikan Nordin M. Top yang mengedepankan teror.

Toh, bukan berarti Huzna benar benar bersih dari kekerasan. Setidaknya ia pernah disebut-sebut menyetujui perjuangan bersenjata di wilayah Poso.

Jika benar Abu Huzna adalah pengganti Zarkasih, apakah ini berarti JI akan mengubah pola perjuangannya?

Sidney Jones dari ICG melihat kemungkinan itu sangat terbuka. Bahkan menurutnya, para angota JI sudah menyusup ke mana-mana. “Ada beberapa komite pusat yang mulai masuk ke organisasi yang tidak di bawah tanah lagi. Misalnya baru-baru ini ada beberapa anggota JI yang masuk Dewan Dakwah Islami Indonesia di Jateng. Mereka, untuk pertama kali seolah-olah lebih senang bergerak di organisasi background dari pada organisasi Tandzim Sirih (organisasi rahasia). Mereka mungkin melihat ada peluang di indonesia untuk memperjuangkan syariat islam secara terbuka daripada di bawah tanah saja,” jelas Jones.

Nasir Abbas sependapat dengan kemungkinan itu, mengingat kedekatan anggota kedua lembaga. “Itu dari dulu, mereka berteman, walaupun orang DDI gak tau ini orang JI. Memang dari dulu JI tidak melakukan aksi kekerasan, ini gara gara Hambali mempengaruhi orang-orang JI,” Nasir menuturkan.

Kenyataan ini juga ditegaskan dari data ICG terbaru yang menyebutkan, bahwa banyak anggota JI sudah tidak berminat melakukan teror sebagai alat perjuangan.

“Menurut saya, waktu bikin perhitungan bulan Mei tahun lalu, saya memperkirakan ada sekitar 900-1000 orang. Ini perkiraan yg sangat konservatif tentang jumlah orang yang jadi anggota formal di JI. Tapi sebagian besar orang-orang itu sama sekali tidak berminat untuk melakukan teror,” papar Jones.

Laporan ICG terbaru juga menyebut pola perjuangan JI telah berubah, dari perjuangan senjata ke penerbitan, seperti yang telah DW ungkapkan dalam laporan lain.

Masalahnya, menurut Sidney Jones, perubahan polah JI ini tak menjamin mereka benar benar menghentikan teror. “Masih ada orang orang di dalam JI yang masih bersimpati dengan Nordin dan orang di sekitarnya tapi belum tahu berapa orang. Saya yakin sebagian orang di Jatim atau Jateng. Tapi apakah mereka bisa bergabung dan menjadi tim baru saya tidak tahu, tapi kelihatannya kapasitasnya masih lemah. Tapi kan, tidak butuh banyak orang untuk melakukan sesuatu. Karena saya yakin bisa muncul lagi, hanya kita tidak tahu dalam bentuk apa,” Jones menjelaskan.

Kepala Detasemen Khusus 88 Mabes Polri, Suryadarma Salim, menunjuk sejumlah nama kader JI lain yang masih bebas dan terlatih melancarkan teror. “Azhari itu telah mengajar membuat bom, yang terbaik itu antara lain, Agus meninggal dalam penyergapan di Jogja. Agus sudah melatih 2 orang, Yang satu Icang di Poso, tewas dalam penyergapan tanggal 11. Tapi, Upik Lawanga, DR Agus, Anto Bojel dan beberapa mantan Mindanao , pada saat sekarang ini masih dalam pengejaran kita. Jadi istilah berhenti itu, saya tidak bisa menjamin, hanya bisa menggambarkan, bahwa orang-orang yang punya faham untuk merdeka dan dalam tanda petik membawa bendera Islam masih berkeliaran.” Celakanya, ikatan antar anggota JI selama ini dikenal sangat kuat. Selain karena disatukan oleh paham yang sama, jaringan mereka juga dikukuhkan dengan perkawinan antar anggota, maupun kongsi dagang. Catatan ICG juga menyebutkan hal yang mengkhawatirkan.
“Masih ada 35 sekolah yang berkaitan dengan JI dan mereka sedang membimbing satu generasi baru. Hanya kita tidak tahu apakah lima tahun mendatang apakah keadaan di dalam atau luar negeri bisa mendorong anak-anak itu untuk berjihad secara fisik,” ungkap Sidney Jones. Jamaah Islamiyah diperkirakan berdiri pada akhir tahun 1980-an oleh sekelompok ekstremis Islam yang tinggal di pengasingan dan ingin mendirikan negara Islam di Indonesia dan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kelompok ini diyakini merupakan pelaku berbagai serangan teror di Indonesia sejak bom Bali hingga kedutaan Australia tahun 2004 dan hotel JW Marriott. JI juga disebut-sebut merupakan operator Al Qaida di Asia Tenggara.