1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Strategi Anti Terorisme Global Telah Gagal?

Grahame Lucas (as)25 Januari 2015

Indeks Terorisme global mencatat naiknya serangan teror dan rekor jumlah korban tewas di seluruh dunia. Statistik itu menunjukkan strategi yang dijalankan saat ini tidak berfungsi. Tinjauan Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1DpCz
Foto: Reuters/A. Soomro

Serangan teror yang dilancarkan al Qaeda pada 2001 terhadap Amerika memicu balasan berupa "perang melawan teror" yang digagas presiden AS saat itu George W. Bush. Dilihat dari perspektif saat ini, 13 tahun setelah dilancarkannya aksi tersebut, nyatanya perang melawan teror gagal menghentikan aksi teror.

Malahan sebaliknya. Indeks terorisme global menunjukkan, aksi terorisme justru meningkat drastis ke tingkat amat mencemaskan. Tahun 2013 tercatat 10.000 kali serangan teror yang menewaskan 18.000 orang. Jika disimpulkan, perang melawan teror ternyata menciptakan lebih banyak teror.

Dalam indeks juga disebutkan, 80 persen organisasi teroris bisa dilumpuhkan, dengan menjalin kesepakatan politik yang bisa diterima banyak pihak. Hanya 10 persen organisasi teroris menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang digariskan.

Deutsche Welle DW Grahame Lucas
Grahame Lucas pimpinan redaksi South-East Asia DWFoto: DW/P. Henriksen

Yang lebih menarik lagi, hanya tujuh persen aksi terorisme yang berhasil ditumpas dengan intervensi militer. Prestasi yang rendah itu, juga mempertimbangkan ongkos yang harus dibayar, berupa korban jiwa.

Data memberikan kesan kuat, bahwa negosiasi dan partisipasi harus menjadi program utama dalam memerangi terorisme. Tapi di sejumlah negara, aksi militer atau paramiliter tetap menjadi opsi utama dari reaksi pemerintah.

Masalahnya, di zaman perang asimetris ini, kelompok milisi bersenjata juga mampu mengalahkan militer yang terorganisir rapi. Caranya dengan mempublikasikan serangan-serangan yang sukses lewat dunia maya, dan menghindari perang frontal dimana militer bisa meraih kemenangan. Contoh paling tegas adalah gagalnya misi militer barat di Afghanistan, untuk melindas Taliban dengan ideologi islamis beracunnya.

Temuan signifikan lainnya, negara-negara yang paling menderita akibat aksi terorisme, yakni Irak, Pakistan, Nigeria, Suriah dan juga Afghanistan, menghadapi terorisme oleh kelompok Islamis. Terorisme semacam ini, secara alamiah juga bersifat totaliter.

Di sini, dilema terlihat nyata. Negosiasi tidak akan menghasilkan apapun. Sebab solusi pragmatis tidak punya peluang menang melawan ideologi islamis. Juga aksi militer mustahil sukses. Paling banter, aksi militer semacam itu hanya bisa menahan sementara bukan mengalahan ideologi ini.

Memandang latar belakang ini, wajar jika kita merasa takut, bahwa di tahun-tahun mendatang kelompok teror Islamic State, al Qaeda, Boko Haram dan Taliban akan terus meningkatkan upaya merusak situasi keamanan global. Kelompok teror semacam ini, akan menebarkan ketakutan dan kebencian lewat serangan terornya. Kebanyakan korban tewas adalah sesama kaum Muslim yang saling jagal.

Dalam kasus ini, hanya ada satu aksi bersama yang bisa menanggulanginya. Faktanya, negara-negara yang paling parah dilanda terorisme itu, gagal menggalang partisipasi rakyat. Negara-negara ini harus bekerja keras meningkatkan situasi ekonomi, memberi akses pendidikan mencegah skuadron pembunuh melakukan pembantaian di luar hukum serta menguatkan masyarakat sipil dan struktur demokratik.

Inilah satu-satunya cara dalam perang panjang melawan teroris untuk menghentikan dukungan terhadap mereka, sekaligus mengisolasi kelompok teror di negara-negara tempat mereka beroperasi. Barat bisa mendukung proses ini, akan tetapi semua itu harus dimulai di dalam negara bersangkutan.