1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sinema Mendidik?

Andibachtiar Yusuf 1 Maret 2015

Apa makna sebuah karya, kenapa film Indonesia sering dituntut untuk memberikan pendidikan? Sutradara Andibachtiar Yusuf membagi pandangannya tentang "tugas berat" dunia sinema.

https://p.dw.com/p/19P1g
Foto: Fotolia/fergregory

“Apa pesan yang ingin disampaikan dalam film Anda ini?” inilah pertanyaan tersering yang pernah diterima oleh seorang filmmaker. Seolah sebegitu absurdnya karya seorang sineas di Indonesia kebanyakan, sampai saat setelah menontonnya, pertanyaan macam ini masih harus diberikan. “Sebuah karya menjadi milik kita saat masih dalam proses kreatif berpikir serta pembuatan…tapi saat ia sudah dilempar ke masyarakat maka ia menjadi milik publik,” demikian yang pernah saya dengar dari Budiman Hakim, seorang pekerja iklan senior yang merasa keberatan bahwa iklan-iklan yang dibuatnya harus mendidik “Karena iklan adalah sebuah kegiatan promosi,” ujarnya.

Masyarakat kebanyakan di Indonesia cenderung menuntut bahwa sebuah karya harus memiliki nilai pendidikan, terutama pada film karena dianggap paling mudah ditiru oleh pemirsanya. Di Indonesia, sebuah kejadian faktual bisa dianggap terinspirasi dari sebuah karya fiksi sinema…..bukan sebaliknya! Padahal jelas-jelas banyak sekali karya fiksi sinema dibuat berdasarkan kisah nyata. Atau sebuah karya sinema bisa lahir karena terinspirasi berbagai kejadian serta situasi faktual sosial serta kekinian dalam masyarakat.

District 9 (2009) karya Neill Blonkamp adalah bentuk nyata bahwa kisah fiksi tentang alien ngungsi di bumi ini lahir berdasarkan kisah nyata yang pernah terjadi di Afrika Selatan (negeri kelahiran sang Sutradara). “Distrik 9 adalah metafor dari Distrik 8 tempat orang-orang kulit hitam ditempatkan dan diasingkan di era apartheid dulu,” ujar si Sutradara yang juga pencipta cerita ini. Dark Knight (2008) karya Christopher Nolan memang tentang Batman, tapi kisah anti kemapanan dan kekacauan ala Joker jelas terinspirasi dari kisah-kisah serta sikap dari Che Guevara.

Seperti itulah sinema sebenarnya, sama seperti karya seni lainnya, film adalah bentuk visual dari kegelisahan atau keinginan pembuatnya untuk bercerita. Seperti musik metal yang muncul karena anak-anak muda ini jengah dengan kemapanan musik pop, atau rap yang lahir dari rasa depresif masyarakat kulit hitam di New York. Setiap kisah dalam sinema adalah refleksi kejadian-kejadian yang bisa ditemukan dengan mudah dalam kehidupan, diramu dengan pas, sehingga kemudian melahirkan tontonan yang…..menghibur jika ia buatan Hollywood atau (kadang) menjadi kelam—atau justru terang—jika ia dibuat oleh non-Hollywood.

“Kalau mau pendidikan ya ke sekolah, jangan nonton iklan,” demikian ujar Budiman Hakim lagi di saat yang kurang lebih bersamaan beberapa tahun lalu itu. Saya mungkin tidak akan berujar sekeras itu tentang keinginan masyarakat untuk selalu melihat film yang “mendidik” saat mereka menonton film saya misalnya. Tapi jika sejak awal saya sudah mematri ingin membuat sesuatu yang mendidik saya rasa, sudah selayaknya saya meminta honor tambahan pada Departemen Pendidikan Nasional karena saya telah memudahkan pekerjaan mereka mendidik bangsa.

Tugas seniman atau filmmaker praktis menjadi berat di republik ini, karena sinema modern butuh unsur hiburan tinggi selain pencapaian-pencapaian teknis dari segala aspek di dalam sebuah karya itu sendiri. Mendidik serta menginspirasi adalah sesuatu yang bagi saya menjadi tidak jelas, karena apakah mendidik atau menginspirasi itu sendiri berbeda-beda tergantung bagaimana melihatnya.

Bagi saya Prometheus (2012) karya Ridley Scott sungguh menginspirasi. Di usianya yang ke 72, cara Ridley “mencari serta menemukan” Tuhannya sangat tegas. Ia membawa kita ke ujung langit untuk mencari sang pencipta sampai akhirnya di ujung film dengan tegas ia menyatakan “Bahwa sang pencipta benar ada, namun bentuknya tak bisa kita lihat dan rasakan,”

Christopher Nolan dengan hampir semua karyanya bagi saya sangat menginspirasi. Jelas terlihat ketertarikannya pada psikologi dalam setiap karyanya mulai dari The Following (1998) sampai Dark Knight Rises (2012) adalah kisah-kisah dengan situasi psikologis manusia dilihat dari berbagai aspeknya. Misalnya bagaimana ia menjelaskan teori terjadinya mimpi-mimpi serta psikoanalisa Sigmund Freud menjadi sangat populis lewat Inception (2010) atau situasi traumatik yang membuat seseorang menjadi obsesif pada fantasinya lewat Memento (2000).

Saya yakin Christopher tak perlu lagi ditanya soal “Apa yang ingin ia sampaikan,” saat orang-orang telah menyaksikan film-filmnya. Karena karya itu memang telah menjadi milik publik maka publik sah saja mengintepretasikan karya-karya seorang sineas ke sudut manapun, seliar apapun. Intepretasi itu bisa saja berbeda dengan yang ingin si pembuat sampaikan, tapi itulah keindahan dari sebuah karya yang telah bisa dinikmati oleh masyarakat, ia menjadi bebas ditafsirkan.

“Saat mereka ingin membuat film, batasan mereka cuma ide,” ujar Angga Sasongko, Sutradara Indonesia yang saat ini sedang bersusah payah mewujudkan cita-citanya memvisualkan situasi Maluku selepas perang saudara dengan cara yang sangat populis. Siapapun calon pemodal bahkan calon partnernya selalu bertanya “Ini film bisa dijual gak?” padahal hukum pemasaran hanya satu “Pasar bisa diciptakan karena semua benda bisa dijual,”

Angga Sasongko jelas kesulitan menjelaskan konsepsinya tentang kisah yang—bagi saya sangat menyentuh—pada partner-partnernya, karena hukum sinema di Indonesia adalah “Harus bisa dijual,” padahal apakah itu “Yang bisa dijual,” sangat absurd di negeri ini, karena pelaku perfilman Indonesia seolah sama sekali tidak ingin menciptakan pasar (saya menghindari kata ‘mendidik pasar') tapi cenderung mengekor saja pada apa yang sudah pernah sukses di pasar. Padahal tak ada rumus film laku, karena Hollywood si raja box office saja masih sering gagal total di pasar.

Percayalah pada kenyataan, bahwa pada akhirnya karya-karya yang dibuat dengan seriuslah yang akhirnya berkuasa di pasar. Indonesia mengenal Laskar Pelangi (2008), Ayat-Ayat Cinta (2007), Habibie Ainun (2012) The Raid (2012) dll yang kesemuanya laku keras di pasar bukan karena inspirasi atau pesan moralnya, tapi karena film-film itu memang bagus. Kita memang tak punya kemewahan biaya produksi sebesar Hollywood, tapi film bagus tak melulu ditandai oleh biaya produksi yang tinggi.

Sudah saatnya kita berhenti bertanya “Pesan apa yang ingin disampaikan oleh film Anda?” karena di saat yang bersamaan, bangsa lain sudah berulang kali membuat film tentang imigrasi ke planet lain karena kegelisahan mereka terhadap situasi di bumi kita ini.