1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Simalakama Cina di Semenajung Korea

Matthias von Hein27 Juni 2013

Lawatan Presiden Korea Selatan Park Geun Hye ke Beijing menandakan pergeseran konstelasi politik antara Cina dengan kedua negara di semenanjung Korea. Kendati begitu Beijing tetap ingin mempertahankan status quo

https://p.dw.com/p/18xVd
Foto: Reuters

Bahwa teori tidak selalu selaras dengan realita, bisa dilihat pada hubungan Beijing dan kedua negara di semenanjung Korea.

Korea Utara sejatinya adalah sekutu terdekat Cina di kawasan. Perjanjian persahabatan yang sudah berumur 50 tahun menghubungkan kedua negara. Kesepakatan itu mewajibkan keduanya memberikan bantuan dalam konflik atau perang. Beijing tidak pernah membuat perjanjian serupa dengan negara manapun di dunia.

Tapi dalam realita politik keseharian, Beijing lebih sering mendapat kesulitan dari jiran yang sulit ditebak itu. Terakhir pemerintah Cina merasa dikelabui oleh Pyongyang menyusul ujicoba senjata nuklir 12 Februari lalu. Pemerintah Korea Utara mengabaikan desakan Beijing untuk membatalkan uji coba tersebut.

Integrasi ekonomi

Sebaliknya hubungan Cina dan Korea Selatan saat ini memasuki masa keemasan. Sejak normalisasi hubungan diplomatik 1992, Korea Selatan kini menjadi mitra dagang terbesar ketiga bagi Cina. Sebaliknya Beijing juga mitra dagang terbesar Korea Selatan. Saat ini kedua negara, ditambah Jepang, sedang merundingkan zona bebas perdagangan.

Daniel Pinkston, pakar Korea di International Crisis Group (ICG), melihat perekonomian kedua negara saling erat bertautan. Baik Korea Selatan ataupun Cina termasuk rantai suplai global terbesar di kawasan. Karena pendistribusian proses produksi secara global, sebagian besar produsen bergantung dari pasokan bahan baku atau komponen dari negara lain.

Kaesong Außenaufnahme Stadt
Kaesong, kota di perbatasan yang menjadi eksperimen perdagangan antara Korea Selatan dan Utara,Foto: Getty Images/Chung Sung-Jun

"Integrasi ini membuat semua negara dan perusahaan peka terhadap berbagai bentuk masalah dalam rantai produksi. Ini memaksa setiap negara untuk mempertahankan kerjasama ekonomi," kata Pinkston.

Presiden Korea Selatan, Park Geun Hye membawa delegasi ekonomi yang terhitung besar saat melawat ke Beijing (26/27).

Terkait masalah keamanan, Park yang dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Xi Jinping akan membawa agenda Korea Utara. Presiden perempuan pertama Korea Selatan itu baru-baru ini meracik ulang kebijakan luar negeri Seoul terhadap Pyongyang. Di Beijing, Park punya kesempatan untuk memaparkan rencananya tersebut.

Status Quo di Semenanjung Korea

Secara umum Korea Selatan menata ulang kebijakan luar negerinya dengan lebih mengedepankan dialog, meski tidak serta merta menghapus opsi militer, "Park sudah sangat jelas terhadap Korut. Kalau Pyongyang bekerjasama, Seoul juga akan kooperatif. Tapi kalau utara bersikap agresif, selatan juga akan bersikap demikian," kata Pinkston. Menyusul kejengkelan Beijing terhadap tindak-tanduk sekutunya itu, Park diyakini akan mencoba mempengaruhi Cina untuk menekan Pyongyang.

Saat ini perekonomian Korea Utara secara umum bergantung sepenuhnya dengan Cina. Lebih dari 70 persen nilai ekspor Korut diproses melalui pelabuhan-pelabuhan di Cina. Sebaliknya Cina menyumbang 90 persen pasokan minyak, 80 persen barang jadi dan 45 persen bahan pangan.

Keraguan diungkapkan oleh Cai Jian, Professor bidang politik di Universitas Fudan, Shanghai. Ia mengakui potensi yang dimiliki Cina untuk menekan Korea Utara, "tapi Beijing akan menahan diri;" katanya. Karena betapapun juga, Cina berkepentingan mempertahankan status quo di semenanjung Korea. "Cina tidak akan terlampau menekan, sehingga Korea Utara malah menjadi tidak stabil atau bahkan kolaps," pungkasnya.