1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Shell Bayar Kompensasi Korban HAM

9 Juni 2009

Perusahaan minyak terbesar Eropa, Shell, bersepakat untuk menyelesaikan gugatan pelanggaran HAM di luar pengadilan. Shell harus membayar sebesar 15,5 juta dolar, atau sekitar 150 milyar rupiah.

https://p.dw.com/p/I6D1
Ken Saro-Wiwa, pejuang suku Ogoni yang digantungFoto: picture-alliance / dpa/epa

Shell memang bersedia membayar enam keluarga suku Ogoni, Nigeria, sebesar 15,5 juta dolar, atau sekitar 150 milyar rupiah. Namun raksasa perminyakan dari yang berkantor pusat di Belanda itu tetap membantah terlibat dalam eksekusi terhadap enam aktivis yang menjadi subyek gugatan. Menurut Direktur Eksekutif Shell untuk urusan eksplorasi dan produksi, Malcolm Brinded, Shell tetap menganggap gugatan dan tuduhan itu salah. Untuk itu mereka siap melakukan seluruh proses peradilan. Namun aklhirnya memilih jalan penyelesaian di luar peradilan, karena menganggap inilah jalan terbaik bagi rekonsiliasi dan perdamaian di kawasan Ogoni. Malcolm Brinded kukuh menengaskan bahwa Shell tak terlibat dan tidak ambil bagian dalam segala bentuk kekerasan yang diperkarakan. Namun mengakui bahwa para penggugat dan berbagai pihak lain memang telah mengalami penderitaan yang sangat berat.

Kasus ini sudah bergulir 13 tahun lamanya.

Yang diperkarakan adalah eksekusi enam aktivis non kekerasan suku Ogoni yang memperjuangkan hak-hak kaumnya atas kawasan kaya minyak di Delta Sungai Niger. Mereka digantung pada tahun 1995, berdasarkan hukuman mati yang dijatuhkan Mahkamah Militer Nigeria. Salah satu yang digantung adalah sastrawan terkenal Ken Saro-Wiwa. Keluarga ke-enam aktivis menuduh Shell berperan di balik kasus itu. Berbagai bentuk penyiksaan dan pelanggaran HAM terhadap suku Ogoni dan para aktivisnya memang dilakukan oleh aparat pemerintah militer Nigeria waktu itu. Namun rezim militer di bawah pimpinan Jenderal Sani Abacha melakukan semua itu untuk melancarkan eksplorasi miyak oleh Shell di tanah suku Ogoni.

Anak dari Ken Saro Wiwa, bernama Ken Sari Wiwa Jr, sebagai salah satu penggugat mengungkapkan kegembiraannya:

"Kesepakatan ini memberikan semacam kelegaan dan pelepasan psikologis terhadap keluarga para korban. Karena suatu perusahaan besar akhirnya bisa dimintai pertanggungjawaban atas peran langsung ataupun tidak dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia"

Para keluarga korban, bersama sejumlah lembaga HAM, memanfaatkan sistem hukum Amerika untuk menggugat Shell di Pengadilan New York. Sidang pertama sedianya berlangsung bulan lalu namun ditangguhkan, dan dijadualkan pekan depan. Dengan kesepakatan hari Senin (08/06), persidangan itu tak akan pernah berlangsung. Namun Judith Chomsky, dari lembaga HAM AS, Center for Constitutional Rights, menegaskan kesepakatan ini tidak berarti perkara-perkara pelanggaran HAM suku Ogoni yang melibatkan Shell berakhir juga.

"Ini bukan akhir dari perjuangan suku Ogoni melawan Shell. Bukan pula akhir dari semua tuntutan hukum melawan Shell." Kata Judith Chomsky yang juga salah satu pengacara para penggugat. Ditambahkannya: "Masih ada sejumlah perkara hukum yang terus diproses. Satu di Belanda, satu di New York, Amerika Serikat, dan satu lagi di Nigeria. Selain tentu saja masih banyak sengketa yang masih tak terselesaikan antara suku Ogoni dengan Shell."

Betapapun, para penggugat dan aktivis HAM menyambut kesepakatan ini sebagai kemenangan perjuangan mereka. Suatu tonggak sangat penting bagi perjuangan atas hak-hak suku asli terhadap perusahaan raksasa.

Selain kompensasi 15,5 juta dolar, Shell juga membayar semua biaya perkara, dan turut serta dalam program pembangunan untuk rakyat di Niger Delta, senilai 240 juta dolar. Hingga saat ini, kendati tanahnya kaya minyak, namun 20 juta rakyat Niger Delta hidup dalam kemiskinan. Dan ketertindasann.

Judith Chomsky, pengacara para penggugat yakin, kesepakatan Shell dengan para penggugat mengirim isyarat penting bagi perusahan-perusahaan inmgernasional yang beroperasi di negara-negara miskin. "Saya kira pesan penting dari kasus ini adalah bahwa kerja sama apapun, baik perusahaan maupun perorangan, terikat pada panduan dan hukum-hukum hak asasi internasional," kata Chomsky. "Bisa jadi apa yang mereka lakukan jauh dari pengawasan publik , atau korbannya kebanyakan rakyat miskin dan lokasinya berada di kawasan yang tak terjangkau. Namun bukan berarti mereka bisa semena-mena. Tetap saja mereka akan dimintai pertanggungjawabannya."

GG/RP/afp/ap/