1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sengsaranya Jadi Buruh di Negara Teluk

25 Oktober 2014

Penyiksaan terhadap buruh migran di kawasan Teluk terus terjadi. Mereka juga tidak berdaya, karena tidak termasuk buruh yang dilindungi aturan kerja negara bersangkutan.

https://p.dw.com/p/1DbRL
Indonesien Arbeiterin Saudi-Arabien Protest Menschenrechte
Foto: picture alliance/dpa

Ditempeleng, ditinju, ditendang, dicekik, dipukul tongkat, dicambuk kabel bahkan disetrika. Inilah siksaan yang sering dilakukan majikan di Uni Emirat Arab, yang dilaporkan buruh migran di kawasan Teluk kepada organisasi hak asasi Human Right Watch-HRW yang bermarkas di New York. Selain di Uni Emirat Arab, HRW juga mengritik praktek serupa yang terjadi di Arab Saudi dan Qatar.

Masalah yang dihadapi sulit diatasi, karena tenaga kerja migran yang kebanyakan perempuan dari Asia dan Afrika itu izin tinggalnya tergantung dari majikan masing-masing. Sistem perekrutan buruh biasanya berdasarkan sponsor dari majikan, hingga buruh nyaris tidak bisa pindah kerja.

HRW mencatat terdapat sedikitnya 146.000 buruh migran perempuan di Uni Emirat Arab, kebanyakan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kebanyakan buruh migran ini datang dari Indonesia, Filipina, India, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Ethiopia.

Para buruh migran yang disiksa atau diperlakukan semena-mena juga tidak berani melapor kepada pihak berwenang, karena takut dideportasi. Dalam kasus ini, mereka juga bisa dituding "melarikan diri" yang akan menyulitkan bekerja lagi di Uni Emirat Arab di masa depan.

Perlakukan tidak manusiawi

Selain disiksa, buruh migran perempuan juga melaporkan kasus perkosaan, tidak digaji dan jam kerja yang sangat panjang. Seorang buruh migran perempuan asal Indonesia dalam wawancara dengan HRW mengatakan, ia diperkosa majikan saat disuruh membersihkan rumah kedua yang baru dibeli.

Dalam video wawancara dengan pembantu rumah tangga asal Filipina, Marelie Brua terungkap, bahwa majikan mengancam buruh dengan ucapan: "Kamu sudah saya beli, kamu tidak punya hak untuk mengeluh". Dari janji upah 1000 Dirham sebulan, ia hanya dibayar 800 Dirham, yang setara dengan upah buruh di Filipina.

Kebanyakan buruh migran perempuan juga mengeluhkan jam kerja sangat panjang, dalam situasi ekstrim sampai 21 jam sehari. Banyak pembantu rumah tangga yang melaporkan upah mereka ditahan, dikurangi, bahkan seorang buruh perempuan mengatakan, selama 3 tahun ia tidak menerima upah sepeserpun.

Tuntutan perlindungan hak

Organisasi hak asasi HRW, menimbang maraknya kasus penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan hak buruh menuntut, agar negara-negara Teluk mengubah sistem pemberian visa berdasarkan sponsor. Juga dituntut pemberian hak umum bagi buruh, yakni hari libur, kebebasan begerak, dan kebebasan memilih majikan.

HRW juga mengimbau negara-negara pengirim buruh migran perempuan untuk jadi pembantu rumah tangga di kawasan Teluk, agar memperbaiki kerjasama perburuhan dengan negara-negara Teluk. Juga ditegaskan, agar dilakukan proses rekrutisasi yang lebih baik, penerapan kontrak kerja serta penuntasan kasus secara hukum.

Menteri tenaga kerja Filipina, Erlinda Baldoz menanggapi laporan dan imbauan HRW itu menyatakan, pihaknya telah menghentikan proses pengiriman buruh migran ke Uni Emirat Arab. Pasalnya, negara Teluk itu menolak verifikasi kontrak kerja oleh pejabat kementrian tenaga kerja Filipina. Ia juga menambahkan, kementrian luar negeri telah mengambil alih masalah itru, dan akan membicarakan solusinya dalam perundingan bilateral.

as/vlz (ap,afp,dpa)