1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sengketa Bioenergi

Christa Saloh-Foerster17 Agustus 2012

Akademi Ilmuwan Jerman "Leopoldina" dalam referensinya secara keras meragukan keuntungan penggunaan biomassa.

https://p.dw.com/p/15reU
Foto: picture alliance/dpa

"Bioenergi - Peluang dan Hambatan." Demikian judul analisa yang disusun lebih dari 20 ilmuwan selama sekitar satu setengah tahun. Para peneliti yang terdiri dari pakar biologi, ekologi dan klimatologi itu tampaknya melihat jelas bahwa lebih banyak hambatan ketimbang manfaat dalam peningkatan pemakaian "bahan mentah" sebagai sumber energi. Setidaknya di Jerman.

"Jumlah bioenergi sebesar 23 persen dan kadang 30 persen dari penyediaan energi yang dianjurkan pemerintah, menurut kami adalah impian", demikian disimpulkan Bernhard Schink, profesor ekologi mikrobial di Universitas Konstanz. Schink adalah salah seorang dari tiga koordinator penelitian tersebut. Padahal Jerman dengan jelas telah menegaskan bahwa salah satu bagian dari yang disebut "titik balik energi" adalah biogas, biodiesel dan bioethanol. Misalnya, mobil-mobil Jerman dapat menggunakan bensin yang 5 -10 persen mengandung bioethanol.

Kesimpulan yang rumit

Ada dua alasan mendasar untuk menolak penggunaan bioenergi. Di satu sisi, keterbatasan cadangan energi berasal dari fosil, misalnya minyak bumi dan batu bara. Impor energi konvensional ini menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi. Teknik eksploitasi yang semakin tinggi, misalnya bagi sumber yang "kurang berkualitas" seperti pasir minyak, menimbulkan risiko lingkungan. Tetapi yang terutama adalah penggunaan bahan bakar fosil melepaskan CO2 dan dianggap paling bertanggung jawab atas pemanasan iklim bumi. Sementara jumlah CO2 yang dilepaskan ke atmosfer pada pemanfaatan bioenergi, sama besarnya dengan jumlah CO2 yang diserap tanaman terkait sebelumnya. Sekilas memang terlihat perbandingan yang seimbang.

Tetapi berbagai aspek produksi biomassa yang berkaitan dengan iklim juga harus diperhitungkan. Dan inilah yang merupakan titik tolak penelitian dari "Leopoldina". Yang disoroti misalnya pemakaian pupuk yang memicu pelepasan gas rumah kaca, pengotoran udara dari traktor saat penaburan benih, pengolahan tanah dan panen. Dan juga emisi yang dilepaskan saat pengolahan lahan dan transportasi yang dilakukan petani. Yang juga rumit adalah pertanyaan, berapa energi yang "didapatkan" pada satu liter bioethanol? Di sini juga harus diperhatikan penggunaan energi secara keseluruhan dalam rantai produksi secara keseluruhan.

ARCHIV - Blick auf den Gebäudekomplex der Deutschen Akademie der Naturforscher "Leopoldina" in Halle (Saale), (Archivfoto vom 19.12.2007). Mit einem Festakt in Halle in Sachsen-Anhalt wurde am Montag (14.07.2008) die Leopoldina zu Deutschlands Nationalakademie ernannt. Schirmherr der Nationalakademie ist Bundespräsident Köhler. Aufgabe der Nationalakademie wird es sein, die Politik wissenschaftlich zu beraten, Brennpunkte der Gesellschaft zu benennen und Empfehlungen zu geben. Die seit 1878 in Halle ansässige Gelehrtenakademie Leopoldina führt derzeit 1300 herausragende Wissenschaftler aus aller Welt als Mitglieder, darunter 32 Nobelpreisträger. Um die Errichtung einer Nationalakademie wurde in Deutschland jahrelang gestritten. Foto: Peter Endig dpa/lah +++(c) dpa - Bildfunk+++
Leopoldina Nationale AkademieFoto: picture-alliance/ ZB

Kurangnya lahan di Jerman

Di negara berlahan luas, seperti Brasil yang penduduknya sedikit, penanaman tebu sangat ideal. Demikian menurut para peneliti. Namun di Jerman lahan sangat terbatas sehingga sepertiga produk biomassa sudah harus dipasok, terutama sebagai makanan hewan. Tambah Schink.

Berdasarkan kenyataan itu "sangat sulit untuk diterima bahwa kita sekarang hanya membudidayakan tanaman penghasil energi, dan mengimpor bahan pangan dari luar." Pertanian yang dilakukan di luar negeri harus dipertimbangkan berdasarkan aspek menyeluruh, ujar Schink. Dalam studinya para peneliti hanya menganjurkan dukungan bagi reformasi bioenergi "yang tidak menimbulkan kekurangan pangan dan peningkatan harga melalui persaingan untuk mendapatkan tanah dan air."

Pada dasarnya para peneliti Leopoldina hanya menganjurkan sebuah skenario penggunaan bioenergi di Jerman, yaitu pengolahan sampah pertanian. Artinya, produksi biogas dari sampah. Jerman sebaiknya tidak mencampurkan bioethanol ke dalam bensin, melainkan memperluas "sumber-sumber energi terbarukan" seperti photovoltaik, energi surya dan angin yang disebut lebih efisien dan lebih langgeng.

Symbolbild zum Thema Nachhaltigkeit und Natur, hier zu sehen: Rapsfelder und Windpark.#32163680 © Gabriele Rohde - Fotolia.com
Gambar simbol bagi keterbaruanFoto: Gabriele Rohde/Fotolia

"Kinerja buruk yang menjengkelkan"

Sementara Elmar Baumann, pemimpin "Ikatan Industri Bahan Energi Bio Jerman" (VDB) menyebut dokumen Leopoldina sebagai "kinerja buruk yang menjengkelkan". Tidak ada yang baru. "Hanya data yang sudah dipublikasi dalam bentuk yang serupa. Pertanyaan yang sudah diajukan sebelumnya oleh pihak lain. Jadi untuk apa studi ini?"

Sudah tentu misalnya bensin mengandung bioethanol dari tanaman kanola Jerman secara ekologis bermanfaat, tegas Baumann. Semuanya sudah ada peraturannya dan disertifikasi. Menurut "peraturan terkait energi terbarukan" produsen harus membuktikan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Baumann selanjutnya menuding para peneliti tidak mengenali bahwa sama sekali tidak ada alternatif lain bagi biodiesel dan bioethanol dalam sektor lalu lintas. Dan sarana penggunaan energi surya dan angin di sini tidak dapat dikembangkan.

Bioethanol sebagai penyelesaian sementara

Kritik dalam butir ini disetujui Bernhard Schink. "Menurut fakta ini memang benar. Kami di sini hanya menawarkan alternatif." Namun ia dapat membayangkan penghematan energi fosil pada sektor tertentu. Minyak bumi atau produk sampingan bensin dan diesel kemudian disediakan khusus untuk mesin pembakaran, sampai suatu saat penggunaan kendaraan listrik meluas secara merata. Tetapi hasil studi Leopoldina bahkan menyebut sebuah contoh secara jelas bagaimana bioethanol di Jerman dapat diproduksi dengan manfaat penuh secara ekologis dan ekonomis. Menurut teknik yang dikembangkan peneliti Jerman dari Universitas Hohenheim, bensin bio dan biogas diproduksi bersamaan. Dan ini menimbulkan neraca energi yang jelas lebih baik, tambah Schink. Hingga saat ini, pola tersebut hanya berfungsi pada format kecil. "Perluasan dalam penerapan, yang secara teknis cukup besar, tentunya memerlukan pengembangan selanjutnya."

Michael Gessat/Christa Saloh

Editor: Dyan Kostermans