1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Salah Kaprah Dalam Ikonisasi Nazi

Edith Koesoemawiria2 Agustus 2013

Penggunaan ikonografi di Asia kadang mengejutkan bagi orang Eropa yang berkunjung. Tak sedikit yang gerah melihat penggunaan lambang swastika atau penokohan Adolf Hitler, seperti yang terjadi di Thailand Juli lalu.

https://p.dw.com/p/19IcE
#29839411 - Denkmal des Warschauer Aufstandes 1944 © GIBLEHO
Denkmal Aufstand Warschauer GhettoFoto: Fotolia/GIBLEHO

Untuk sebuah upacara akhir tahun, sekelompok mahasiswa universitas kenamaan Bangkok, menggambarkan Hitler disamping super-hero komik, Superman dan Captain Amerika. Kritikpun melayang, termasuk dari Pusat Simon Wiesenthal di Los Angeles, yang bermisi menggiring sisa-sisa Nazi Jerman ke pengadilan dan mengingatkan dunia akan kejahatan Hitler seputar Perang Dunia ke dua. Lebih tujuh juta orang tewas di tangan Hitler dan kaum Nazi, dibantai setelah dijadikan tenaga kerja paksa atau kelinci percobaan dalam eksperimen-eksperimen tak manusiawi.

Universitas Chulalongkorn segera menyampaikan permintaan maaf di Facebook atas kesalah pahaman akibat gambar dinding yang tanpa sengaja „menghina“ itu. Di harian Bangkok Post, Profesor Seni Rupa, Supakor Dispan menerangkan bahwa para mahasiswa itu sebenarnya ingin menunjukkan bahwa berbagai „super-hero“ melindungi masyarakat dan di dunia ada orang yang baik maupun yang jahat.

Asia bukan kawasan anti Yahudi. Namun pengenalannya atas sejarah dan kebudayaan Eropa juga tidak merata. Begitu diingatkan pakar politik di Chulalongkorn, Thitinan Ponsudhirak. Ia mengakui, sejarah Perang Dunia kedua yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak mendetil dan lebih terfokus pada peristiwa di Asia.

Pengajar Institut Kesenian Jakarta, Dolorosa Sinaga, juga menilai bahwa kesadaran sejarah kebanyakan orang di Indonesia sangat tipis. Hal yang tak mengherankan, mengingat pendidikan di sekolah selama pemerintahan Soeharto, yang di luar propagandanya, hanya selintas mengajarkan sejarah Indonesia, apalagi sejarah dunia.

Sebagai seniman yang peka pada ikonografi visual, Dolorosa meragukan bahwa kebanyakan orang Indonesia akan membedakan antara simbol swastika Nazi dan simbol kuno serupa swastika, dengan arah terbalik, misalnya. Namun menurut Dolorosa, tak beda dengan muda-mudi di negara lain, kalangan muda Indonesia gemar mengikuti tren.

Seputar tahun 70 dan 80-an, hampir tak ada orag muda yang tidak memiliki pernak-pernik militer, mulai dari ransel, tas, rompi hingga kemeja dan topi. Di sepanjang sebuah jalan di Bandung, berjejer toko-toko loak yang menjualnya pada masa itu, dan ramai dikunjungi. Kini jumlah toko yang menjualnya bisa dihitung jari.

Perubahan tren semakin cepat dengan adanya internet dan akses informasi yang lebih luas. „Yang lebih nge-tren di kalangan muda saat ini mungkin tokoh-tokoh komik manga, yang bermata besar”. Menurut dia, ikon-ikon itupun sempat merasuk ke ranah seni murni. Visualisasi kemudian berakhir ketika senimannya tidak bisa mengembangkan simbol yang diambil cerabutan dari budaya lain itu.

Bercerita mengenai ikon-ikon populer di Indonesia saat ini, Dolorosa menunjuk pada pengaruh reformasi, "banyak orang muda memakai kaos yang bercetak wajah Gus Dur. Sebagai ikon, Gus Dur melambangkan toleransi dan keterbukaan. Juga Che (Guevara, red), itu ikon yang tiada matinya.“

Heroisme, keberanian menggugat dan pembelaan pada pihak yang lemah amat dikagumi di Indonesia. Hal ini menurut Dolorosa, juga menjelaskan pernah adanya tren kaos bercetak wajah Osama bin Laden. Jelasnya, „tapi seperti posmo (arus post modernisme) dalam seni rupa, banyak simbol dan ikonografi yang dipakai di luar konteksnya. Jarang yang ingat ada sisi lain dari heroisme itu, bahwa ada juga korban.“

Belum lama ini, Jerman dihebohkan oleh laporan mengenai „SoldatenKaffee„ di Bandung. Diberitakan, restoran itu terpaksa ditutup, setelah diterpa kritik yang menyoal pemajangan foto Hitler, motif swastika dan seragam pasukan SS yang kejam, yang dikenakan para pelayannya. Pemiliknya, Henry Mulyana mengaku tidak menyangka bahwa konsep marketingnya akan menyulut kontrovers. „Saya hanya kebetulan mengumpulkan pernak-pernik militer Jerman pada perang dunia ke dua. Saya tidak rasis“, katanya.

Selain pihak-pihak Jerman, juga Pusat Simon Wiesenthal di Los Angeles keberatan atas penggunaan simbol-simbol itu. Rabbi Abraham Cooper, pakar Asia di pusat Wiesenthal tidak melihat adanya peningkatan anti Semitisme di Asia. Sikap itu sangat jarang ditemukan. Rabbi Cooper mengatakan, “ meski begitu, kami tidak bisa diterima atau membiarkannya tanpa komentar, apabila simbol-simbol Nazi tiba-tiba dianggap „Cool“ atau menjadi mode“.