1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reaksi Berantai Dampak Pencairan Kutub

12 Mei 2012

Peneliti kutub dari Jerman memprediksi, arus lebih hangat di bawah kawasan Kutub Selatan akan makin cepat cairkan lapisan es. Akibatnya muka air laut akan tambah naik rata-rata 4 mm/tahun.

https://p.dw.com/p/14ttt
Foto: Fotolia/Raldi Somers

Mencairnya lapisan es di Kutub Utara dan selatan terus-menerus sebagai dampak dari perubahan iklim, sudah sejak lama diketahui. Tapi kesimpulan terbaru dari hasil penelitian tim riset Jerman memicu kejutan baru. Diramalkan, bagian es di Kutub Selatan yang tidak diperhitungkan mencair, juga akan ikut terpengaruh pemanasan global.

Kawasan Kutub Selatan ibaratnya benua tersendiri yang mencakup daratan dan lautan yang tertutup lapisan es abadi. Juga mencakup lapisan es yang mengapung di lautan seluas ratusan ribu kilometer persegi, hingga sejauh 1.000 kilometer di lautan dan terus terhubung dengan gletsyer di daratan.

Walaupun suhunya ekstrim dingin dan selama enam bulan gelap gulita, Kutub Selatan bukan kawasan mati. Kawasan Antartika merupakan sebuah ekosistem yang hidup. Di atas lapisan es berkembang biak pinguin. Di daratan terdapat habitat beragam burung.

Königspinguine
Pinguin penghuni kutubselatanFoto: picture-alliance/Wildlife

Di kawasan perairan Kutub Selatan hidup kawanan anjing laut, paus dan yang amat penting ikan serta organisme mikro di laut seperti krill atau udang kecil, yang berfungsi sebagai pakan binatang pemangsa lainnya.

Mencair di kawasan yang tidak diduga

Perubahan iklim yang memicu efek pemanasan global, juga terasa dampaknya di kawasan Kutub Selatan. Seperti di Kutub Utara, lapisan es abadi di kawasan Kutub Selatan juga mengalami pencairan. Airnya mengalir ke laut di sekitarnya yang memicu kenaikan muka air laut rata-rata.

Selama ini para peneliti memperkirakan pencairan lapisan es abadi hanya terjadi di kawasan laut Amundsen di barat Kutub selatan. Tapi secara kebetulan peneliti Jerman, Hartmut Hellmer dari institut penelitian kutub dan kelautan di Bremerhaven mengamati kenyataan yang selama ini kelihatannya terabaikan oleh peneliti lain.

Pakar ilmu kelautan itu mengungkapkan, penghitungan ulang model komputer kontribusi lapisan es dari daratan terhadap kenaikan muka air laut di Antartika menunjukkan, kurva statistiknya mulai tahun 2090 naik tajam.

Hartmut Hellmer mencari dari mana asalnya volume air dalam jumlah besar itu pada model yang ia buat. Penelitian mengarah ke lapisan es Filchner-Ronne yang mengapung di kawasan laut Weddell di bagian selatan Antartika. Laut Weddell terletak di kawasan ujung selatan Amerika Selatan pada perbatasan Samudra Atlantik dengan zona Kutub Selatan.

Eis Eisberg Klimawandel Klima Globale Erwärmung Flash-Galerie
Gunung es yang terus mencair akibat perubahan iklim.Foto: AP

"Laut Weddell sejak lama dipandang sebagai nyaris tidak terpengaruh perubahan iklim", kata Hellmer. Publikasi para peneliti Kutub selatan lainnya menegaskan, massa air di bawah lapisan es yang mengapung, yang mengabrasi lapisan es dari bawah, pada iklim yang lebih hangat seharusnya lebih kecil. "Melalui efek berkebalikan, yang muncul pada arus dimana suhu lebih hangat, seharusnya pemanasan iklim di kawasan itu dikompensasi", paparnya.

Tapi model penghitungan dari para peneliti di Bremerhaven menunjukkan, juga kawasan Laut Weddell terpengaruh efek fluktuasi iklim. "Massa air yang lebih hangat diLaut Weddell dalam beberapa dekade mendatang akan menggerus secara dramatis lapisan es Filchner-Ronne", ujar Hellmer.

Memicu reaksi berantai

Naiknya suhu udara di kawasan tenggara Laut Weddell menurut perhitungan itu, dalam waktu sekitar 60 tahun ke depan akan memicu reaksi berantai. Mula-mula udara hangat akan menyebabkan menipis dan rapuhnya lapisan es yang mengapung di laut. Akibatnya ada bagian yang pecah, sebuah fenomena yang selama ini dapat dicegah. Akibatnya air yang bersuhu lebih hangat dapat mengintrusi kawasan di bawah lapisan es.

"Berdasarkan perhitungan kami, lapisan pelindung ini akan lenyap pada akhir abad ini", papar Hellmer. Akibatnya arus air yang lebih panas akan mengalir di bawah lapisan es dan mencairkannya dari bawah, demikian ditunjukkan dalam model yang dibuat para peneliti di Bremerhaven.

Lapisan es yang mengapung itu berfungsi seperti sumbat botol. "Lapisan ini mengerem aliran es dari daratan, karena tersedimentasi di semua sudut teluk dan juga menutupi pulau-pulau", kata peneliti kelautan itu. Jika lapisannya menipis, itu dapat memicu lapisan es di daratan bergerak menuju laut. "Jika sampai di laut, lapisan es ini tidak perlu mencair untuk dapat menaikkan drastis muka air laut" tambah Hellmer.

Karte der Antarktis mit den Kennzeichnungen Weddell-Meer, Filchner-Ronne-Schelfeis und Ammundsensee --- DW-Grafik: Peter Steinmetz
Peta AntartikaFoto: DW

Perhitungan menunjukkan, proses ini dapat memicu penambahan kenaikan muka air laut rata-rata 4,4 milimeter per tahunnya. "Tapi itu perhitungan paling buruk. Kemungkinan kenaikannya berkisar pada angka yang lebih rendah", kata Hartmut Hellmer lebih lanjut.

Namun diakui, sejauh ini belum diketahui seakurat apa model perhitungannya dibandingkan kenyataan yang muncul. Hellmer hanya mengatakan, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, yang juga tidak banyak, model perubahan iklim di abad ke 20 ternyata cocok dengan kenyataan yang muncul kemudian.

Walaupun begitu, periset kelautan dari Bremerhaven itu menegaskan, amat sulit membuat peramalan yang akurat bagi kawasan Kutub Selatan. Karena pengetahuan menyangkut kawasan Antartika sejauh ini masih relatif terbatas.

Brigitte Osterath/Agus Setiawan

Editor: Dyan Kostermans