1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik Jerman di Timur Tengah

Kersten Knipp20 Desember 2012

Dua tahun lalu, aksi protes meluas di Tunisia setelah seorang penjual buah membakar diri. Sejak itu, terjadi perubahan besar di beberapa negara Arab dan Afrika Utara. Politik luar negeri Jerman mencari orientasi baru.

https://p.dw.com/p/176E5
Bendera Jerman di Kantor Pusat PBB, New York
Bendera Jerman di Kantor Pusat PBB, New YorkFoto: picture-alliance/dpa

Pertanyaan terbesar dalam menentukan arah politik luar negeri Jerman adalah, bagaimana perkembangan di Timur Tengah setelah ”revolusi Arab”? Perubahan politik di kawasan itu ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan semula. Yang jelas, sebuah sistem politik baru yang pada awalnya diperjuangkan para demonstran hanya bisa dicapai melalui perjuangan panjang.

Tapi politik luar negeri Jerman sudah menetapkan arah. Jurubicara Kementerian Luar Negeri, Andreas Peschke, menerangkan dalam pernyataan tertulis kepada Deutsche Welle, pemerintah Jerman sejak awal sudah mendukung perubahan demokratis di Afrika Utara. Pemerintah Jerman ”selalu menegaskan, bahwa hak asasi manusia tetap harus dihormati, juga pada masa-masa perubahan besar. Pemerintahan yang baru harus menawarkan perspektif dan hak-hak mendasar kepada semua kelompok masyarakat dan agama.”

Mawas Diri Soal HAM

Perubahan besar yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi alasan bagi Jerman untuk melakukan introspeksi diri tentang politik luar negerinya pada masa-masa sebelum perubahan. Karena Jerman sebelumnya bekerjasama dengan para pemimpin otokratis di Tunisia dan Mesir dalam berbagai bidang, dari politik keamanan, politik pengungsi dan bidang perdagangan. Ahli bidang Timur Tengah dan Afrika Utara di yayasan politik Friedrich Ebert Stiftung yang dekat dengan partai SPD, Hajo Lanz menerangkan, ia tidak yakin bahwa pemerintah Jerman harus menanggapi serius tuduhan telah memperkuat pemerintahan di kedua negara itu atau menjamin kelangsungan hidupnya. ”Tapi Jerman bersama-sama dengan Uni Eropa dulu memang terlalu memberi prioritas pada beberapa target, misalnya soal migrasi dan keamanan.” Sementara kepentingan masyarakat, seperti isu hak asasi manusia, transparansi, partisipasi, proses politik yang terbuka, kebebasan pers, semuanya tidak menjadi prioritas utama. Ini yang harus dikritik dalam politik luar negeri Jerman di masa lalu.

Politisi CDU dan ketua Komisi Luar Negeri di parlemen Jerman Bundestag, Ruprecht Polenz juga berpandangan serupa. Pemerintah Jerman punya lima target politik luar negeri yang menentukan kebijakannya: kerjasama ekonomi, politik migrasi dan pengungsi, perang melawan terorisme internasional, membela Israel sebagai negara demokratis dalam perbatasan yang aman dan bisa hidup damai dengan tetangganya berdasarkan solusi dua negara, dan yang terakhir membantu modernisasi, demokratisasi, negara hukum dan hak asasi manusia. Dari semua tujuan itu, pemerintah Jerman telah melaksanakannya sebelum perubahan besar terjadi di negara-negara Arab, kecuali dalam dua hal yang tidak menjadi sorotan: modernisasi dan kepentingan hak asasi manusia.

Manfaat Negara Hukum

Ruprecht Polenz menerangkan, sekarang menjadi makin penting untuk memperhatikan situasi hak asasi manusia dan negara hukum. Sehubungan dengan Mesir, ini hendaknya dilakukan dalam dialog dengan pemerintah yang baru. ”Kami yakin bahwa nilai-nilai ini juga menjadi kepentingan Mesir sendiri, selain itu tuntutan ini juga sejalan dengan tuntutan para demonstran yang ingin martabatnya dihormati.” Bahwa pemerintah Mesir sendiri punya kepentingan menegakkan negara hukum terlihat misalnya dalam sektor pariwisata.Sektor ini baru akan bangkit, jika keamanan di negara ini kembali terjamin. ”Dan ini berhubungan dengan faktor-faktor dalam negeri yang lain, karena orang tidak ingin keamanan yang penuh kesepian seperti kuburan.” Karena itu pemerintah Jerman berharap, Mesir akan berkembang menjadi negara demokrasi dengan sistem perwakilan yang lengkap. ”Terlepas dari hasil referendum, masa depan politis negara ini akan tergantung dari apakah kelompok-kelompok agama dan masyarakat merasa aspirasinya terwakili dan dihormati dalam konstitusi yang baru,” demikian Andreas Peschke.

Aksi protes menentang Presiden Mohammed Morsi di Kairo
Aksi protes menentang Presiden Mohammed Morsi di KairoFoto: Reuters

Kekalutan di Suriah

Situasi di Suriah membawa tantangan lain bagi Jerman. Kekerasan di kawasan ini terus berlangsung. Tapi tidak dianjurkan untuk melakukan intervensi, demikian analisa Hajo Lanz dari Friedrich Ebert Stiftung. Sikap yang disarankan adalah menahan diri, karena ada kaitan internasional yang kompleks dalam masalah ini. Namun langkah yang baik adalah mendukung secara luas aliansi oposisi yang terbentuk beberapa minggu lalu. Perlu dipertimbangkan juga tentang persenjataan kelompok oposisi. ”Harus dipikirkan, bagaimana menghadapi serangan militer terus-menerus dari pihak rejim yang sudah bisa disebut sebagai aksi genosida”.

Pertemuan koalisi Suriah di Doha (09/11/12)
Pertemuan koalisi Suriah di Doha (09/11/12)Foto: KARIM JAAFAR/AFP/Getty Images

Pemerintah Jerman memang sudah mengakui Koalisi Nasional Suriah sebagai wakil yang legitim dari rakyat Suriah. Namun Jerman juga mengharapkan beberapa hal dari koalisi ini. Kepada wakil-wakil Koalisi Nasional Suriah, pemerintah Jerman menegaskan bahwa semua kalangan harus terwakili dalam organisasi ini, juga kelompok Kristen, Kurdi dan Alawi, kata Andreas Peschke. ”Kami berharap, koalisi akan menggunakan pengaruhnya, sehingga tidak terjadi aksi kekerasan dan pelanggaran hak asasi terhadap masyarakat sipil.”

Sinyal Baru Untuk Israel

Jerman juga perlu arah politik baru dalam konflik Israel dan Palestina. Ketika Palestina mengajukan permohonan di PBB untuk diakui statusnya sebagai negara yang bukan anggota, Jerman tidak memberi suara menolak, melainkan bersikap abstain. Ini sinyal yang cukup kuat bagi Israel. Sikap ini diambil, karena permintaan Palestina memang sejalan dengan bayangan kuartet Timur Tengah, demikian kata Ruprecht Polenz. Terutama karena Palestina dalam teks resolusi mengakui eksistensi Israel dalam wilayah perbatasan tahun 1967. Karena itu, permintaan Palestina adalah peluang untuk menyelesaikan konflik ini. Pemerintah Jerman menghargai langkah Palestina. ”Orang tidak bisa memberi suara menolak, jika kasus yang diajukan memang benar, sekalipun tidak kata per kata sesuai dengan bayangan kami, namun pada substansinya sudah benar.”

Netanyahu datang ke Berlin, Jerman tetap kritik politik pemukiman (06/12/12)
Netanyahu datang ke Berlin, Jerman tetap kritik politik pemukiman (06/12/12)Foto: dapd

Juga Hajo Lanz menilai permohonan Palestina di PBB adalah langkah yang benar. Terutama karena harapan dunia Arab cukup besar. ”Memberi suara tidak setuju adalah sinyal yang salah. Memang tidak bisa diharapkan Jerman memberi suara ”ya”, karena ini akan jadi tamparan keras bagi pihak Israel. Tapi politik luar negeri Jerman ingin memberi sinyal jelas. Dan sinyal ini memang dipahami.”

Politik luar negeri pemerintah Jerman memang mengalami penyesuaian dalam beberapa hal. Pada garis besarnya, politik itu tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang sama. Tapi beberapa bidang, misalnya dalam isu hak asasi manusia, sedang didiskusikan dan ditinjau kembali.