1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertemuan Orang Ber-IQ Tinggi se-Eropa.

as15 Agustus 2008

Orang-orang dengan IQ tinggi selalu dianggap makhluk aneh yang sulit difahami. Juga di Jerman, sistem persekolahan masih kesulitan mewadahi orang ber-IQ tinggi.

https://p.dw.com/p/ExiF
Jenius seperti Einstein dicap orang eksentrik dan sulit dipahamiFoto: AP

Orang-orang dengan intelegensia tinggi atau biasa disebut jenius, selalu dianggap makhluk aneh yang sulit difahami. Mereka selalu dianggap orang-orang yang selalu terbenam dalam tumpukan buku, exentrik dan tidak menyentuh realitas. Juga di Jerman yang tergolong negara maju dengan mutu pendidikan tinggi, anak-anak dengan IQ tinggi, juga tidak tercakup dalam sistem persekolahan umum yang amat birokratis.

Prasangka terhadap orang-orang dengan intelegensi tinggi atau para jenius, muncul karena kekurang mengertian akan kemampuan mereka. Penyebabnya, karena orang-orang dengan IQ tinggi memang amat jarang. Jumlahnya hanya sekitar dua persen populasi. Tentu saja kita ikut bertanya? Apa dan siapa yang disebut orang-orang jenius itu? Berdasarkan definisinya, jenius atau orang berintelegensi tinggi adalah mereka yang memiliki kuosient kecerdasan IQ di atas 130. Orang-orang normal memiliki kuosient kecerdasan rata-rata 100.

Kecerdasan tinggi bukan hanya di bidang matematika atau fisika, akan tetapi juga dalam ilmu lainnya. Di sekolah, para jenius ini dapat memahami dengan mudah pelajaran sulit, seperti matematika, fisika atau kimia, jauh meninggalkan teman sekelasnya yang memiliki kecerdasan rata-rata. Untuk menghimpun orang-orang dengan IQ tinggi, dibentuk organisasinya yang diberi namaMENSA, yang saat anggotanya di seluruh dunia berjumlah sekitar 100.000.

Belum lama ini MENSA seksi Jerman yang memiliki sekitar 5.000 anggota, menyelenggarakan pertemuan orang-orang dengan IQ tinggi se Eropa yang digelar di kota Köln. Sebanyak 350 orang berintelegensi tinggi dari 20 negara Eropa hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan itu terutama membahas masalah yang dihadapi para jenius dalam sistem pendidikan yang dirancang untuk murid dengan kecerdasan rata-rata. Sekaligus juga untuk melacak sedini mungkin anak-anak dengan intelegensia tinggi. Masalahnya, banyak orang dengan IQ tinggi yang dinilai justru sebagai orang bermasalah. Sehingga justru kelebihannya jarang diperhartikan.

Seperti diungkapkan Michaela seorang konsultan perusahaan dari negara bagian Jerman Bayern yang memiliki IQ di atas 130 mengatakan, saat duduk di bangku sekolah ia tidak pernah membuat pekerjaan rumah. Tentu saja guru-gurunya marah. Michaela bercerita; “Saya biasanya duduk dengan posisi buku PR yang tidak bisa dilihat orang, karena di dalamnya kosong. Tapi jika saya mulai mengerjakan, perhitungan matematika bisa saya kerjakan dengan cepat.“

Itulah kelebihan orang-orang jenius. Dalam bidangnya mereka bisa bekerja amat cepat. Dalam pelajaran matematika misalnya, dimana orang-orang dengan IQ rata-rata harus mengerjakan hitungannya berjam-jam, orang dengan IQ tinggi biasanya mengerjakan dalam waktu hanya beberapa menit.

Tapi apakah semua orang jenius atau ber IQ tinggi itu jago matematika? Tidak selalu. Demikian ditegaskan ketua perhimpunan orang ber IQ tinggi MENSA cabang Jerman Christine Warlies; “Selalu terdapat praduga yang salah. Semua jago matematika, fisika dan teknologi informatika. Terutama perempuan sering kurang percaya diri, dan mengatakan saya kurang pandai matematika, IQ saya pasti tidak tinggi“

Tapi mengetahui apakah seseorang itu memang jenius amatlah sulit. Juga di Jerman yang tergolong negara maju, sistem pendidikan yang diterapkan belum mampu mewadahi anak-anak didik yang tergolong jenius. Banyak yang bakat jeniusnya ditemukan agak terlambat. Atau secara tidak sengaja, seperti yang dialami Julian murid sekolah dasar yang baru berusia 8 tahun. Ia selalu dihukum oleh guru, karena dinilai biang kerok yang selalu menimbulkan kericuhan di kelas. Karena dituduh sebagai anak hyper-aktif, Julian dikirim ke psikolog untuk dites. Tes IQ menunjukkan Julian tergolong memiliki kuosioent intelegensi 142 atau tergolong jenius. Rupanya Julian merasa bosan belajar di kelas, karena semua mata pelajaran dianggapnya terlalu mudah. Karena itu ia mulai meneror teman-teman sekelasnya. Berdasarkan hasil tes itu, Julian diizinkan lompat ke kelas yang lebih tinggi. Setelah itu, gairahnya pada sekolah dan mata pelajaran kembali normal dan perilakunya lebih tenang. Namun sampai kapan? Karena biasanya orang dengan IQ tinggi seperti itu, hanya dalam waktu singkat mampu melalap semua pelajaran dan harus kembali lompat kelas.

Deutschland Ferienakademie für Hochbegabte Kinder
Di Jerman mulai digalakkan apa yang disebut akademi saat liburan, untuk menampung anak-anak ber-IQ tinggiFoto: picture-alliance/ dpa

Sebetulnya untuk mengetahui bahwa seseorang itu memiliki IQ di atas rata-rata caranya cukup gampang. Yakni menjalani test IQ. Tapi jarang yang melakukan test psikologi semacam itu- apalagi harus membayar. Misalnya saja seorang remaja berusia 25 tahun yang mengaku bernama Kat yang tinggal di Hamburg menggambarkan bagaimana ia secara tidak sengaja menjadi anggota perhimpunan para jenius MENSA karena penasaran ikut tes IQ:

Kat bercerita sambil ketawa cekikikan; “Saya pikir, test ini pasti seru, apa salahnya jika dicoba. Saya ikut test dan setelah itu perasaan saya biasa-biasa saja. Seminggu kemudia saya menerima surat, saya tergolong jenius. Saya lalu telefon semua teman yang saya kenal.“

Kat tidak menyangka dirinya tergolong memiliki IQ tinggi. Karena perilakunya sehari-hari tidak sesuai dengan gambaran tipikal orang jenius yang exentrik dan sulit bergaul. Kat memiliki banyak teman, di sekolah merasa bahagia, juga dalam pekerjaan tidak ada masalah. Anak jenius biasanya menghadapi masalah, karena tingkat kecerdasannya tumbuh lebih pesat dari kematangan emosinya. Karena itu banyak yang terus gelisah, sepanjang hidupnya mencari jatidiri dan pekerjaan yang membuat bahagia.

Seperti diungkapkan Jerome remaja dengan IQ tinggi yang berasal dari Belanda : “Kerja adalah hobby saya, boleh disebut hobby-holic lah. Saya nggak bisa diam. Saya harus terus bekerja, kalau tidak saya akan bosan.“

Adapula orang jenius hanya dalam satu ilmu saja, tapi dalam bidang lainnya justru terbelakang. Orang-orang semacam ini disebut autis. Menempatkan autis dalam sistem persekolahan umum, jauh lebih sulit lagi ketimbang jenius biasa. Misalnya saja seorang remaja bernama Nicole yang jago ilmu alam, selalu bingung jika ditanya soal keseharian.

Nicole mengatakan: “Saya bisa berdebat tema ilmu pengetahuan dengan baik. Tapi kalau ditanya soal remeh temeh, seperti bagaimana cuaca hari ini, atau apa kabar kamu atau bagaimana kabar nenek, saya seringkali tidak bisa mengikutinya lagi.“

Menyadari kesulitan yang dihadapi anak-anak dengan IQ tinggi, para jenius yang sudah mapan, baik yang bekerja di bidang pendidikan atau di bidang lain, mendirikan sekolah-sekolah khusus. Hal ini membantu para jenius muda mengembangkan kemampuannya. Namun masalah lain juga muncul, yakni biaya yang amat tinggi bagi pendidikan individual semacam itu. Sementara negara juga sulit membantu, karena anggaran lebih banyak untuk mengembangkan persekolahan umum.