1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pers di Bawah Bayang-Bayang Politik - Kebebasan Pers di Jerman

Wolfgang Dick/Rizki Nugraha26 Oktober 2012

26 Oktober 1962 polisi menggeledah kantor majalah Der Spiegel di Hamburg dan Bonn. Sejumlah redaktur dituduh sebagai "pengkhianat negara". Sejak skandal itu, kebebasan pers di Jerman mulai pulih, meski bukan tanpa cacat.

https://p.dw.com/p/16XQA
Demonstrasi Kebebasan PersFoto: picture-alliance/dpa

Oktober, 1962 menandai arus balik dalam hubungan antara politik, lembaga peradilan dan media di Jerman. Saat itu mingguan Der Spiegel mempublikasikan sebuah laporan mendalam soal Bundeswehr.

Dengan judul "bedingt Abwehrbereit", si empunya tulisan menelanjangi ketidaksiapan militer Jerman dalam menghadapi serangan Uni Sovyet. Kesimpulan tersebut merujuk pada manuver militer NATO, Fallex 62.

Spiegel Affäre
Majalah der Spiegel yang menangkat tema manuver NATOFoto: DHM

Laporan tersebut menggoyang panggung politik. Sejumlah tudingan miring, diantaranya "pengkhianatan negara" diarahkan terhadap majalah yang terbit di Hamburg itu, termasuk di antaranya dari bekas Kanselir Konrad Adenauer dan Menteri Pertahanan Franz Josef-Strauß.

Kejaksaan bahkan sempat melayangkan surat gugatan yang disusul dengan surat perintah penangkapan terhadap penulis dan pemimpin redaksi Der Spiegel. Keduanya terpaksa mendekam selama 100 hari di balik jeruji besi. Selama berminggu-minggu polisi menyegel ruang redaksi.

Sikap represif negara terhadap media itu memicu aksi protes oleh masyarakat. Kritik juga datang dari sejumlah pejabat teras di partai yang berkuasa. Strauß, yang bertanggungjawab atas pendudukan ruang redaksi Der Spiegel oleh polisi, terpaksa melepaskan jabatannya. Beberapa pekan kemudian Mahkamah Agung menyudahi skandal tersebut dengan mengeluarkan putusan yang membebaskan Der Spiegel dari semua tuduhan penghianatan.

Peristiwa yang dicatat sejarah sebagai "Skandal Spiegel" itu memicu pertanyaan yang masih aktual hingga kini. Apakah sebuah negara demokratis memiliki otoritas moral untuk membungkam jurnalisme investigatif dan di mana batas kebebasan pers?

Spiegel Affäre Polizei Redaktion Besetzung
Dua polisi menjaga ruang dokumentasi kantor der SpiegelFoto: picture-alliance/dpa

Kebebasan Pers di Jerman

"Intervensi politik terhadap media dalam dimensi seperti itu sudah tidak mungkin lagi saat ini," kata politikus Partai Sosial Demokrat (SPD), Bodo Hombach beberapa waktu lalu. Ucapan Hombach tidak keliru sepenuhnya. Betapapun aturan main yang sudah jauh berubah, politik di Jerman kini masih berupaya mencari celah hukum untuk mempengaruhi pemberitaan media.

Contoh teranyar adalah skandal yang melibatkan jurubicara Partai Uni Sosial Kristen (CSU), Hans Michael Strepp. Politikus muda konservatif itu melayangkan surat yang mendesak redaksi stasiun televisi ZDF agar membatalkan berita seputar rakernas SPD di Bayern. Strepp, kemudian mengundurkan diri dari jabatannya, Kamis (24/10).

ZDF faktanya sudah berulangkali menjadi ladang perebutan pengaruh antara partai-partai berkuasa di Jerman. Di kalangan media dan wartawan, stasiun televisi tersebut sejak lama dikenal terbagi dua, antara kubu hitam yang berafiiliasi dengan partai konservatif CDU dan kubu merah, merujuk pada SPD.

Tidak heran jika Reporter tanpa batas menurunkan posisi Jerman ke urutan ke-19 dalam daftar kebebasan pers di dunia.

Intervensi Politik Terhadap Lembaga Penyiaran Publik

Kasus "Bender" adalah contoh lain intervensi politik terhadap media. Nikolaus Bender adalah pemimpin redaksi di stasiun televisi ZDF. Ia dikenal tanpa kompromi, seorang jurnalis senior yang tidak ragu mempertahankan independensinya. Ironisnya justru kualitas itulah yang menjadi malapetaka. Bender dengan cepat dianggap sebagai musuh partai pemerintah, CDU. Buntutnya Perdana Menteri negara bagian Hessen, Rolland Koch, mendesak agar ZDF tidak memperpanjang kontrak kerja Bender. Ia pun disingkirkan kendati protes dan cibiran masyarakat.

Petaka untuk lembaga siaran publik di Jerman adalah pengaruh besar yang dimiliki oleh dewan pengawas yang membawahinya. Dewan ini beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat dan fungsionaris partai. Sejak beberapa tahun terakhir dewan pengawas di ZDF didominasi oleh kader CDU. Ini memuluskan jalan Koch menggeser Bender dari posisinya.

"Skandal Bender" memicu gejolak di kalangan media di Jerman. Bahkan media-media konservatif mengecam tindakan Koch sebagai sebuah "arogansi" dan "intervensi berbahaya terhadap DNA sebuah media", kata Frank Schirrmacher, pemilik harian Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ).

Sebaliknya koran-koran di Jerman mendapati kemunduran dari sudut yang lain. Dalam bukunya Dirk C. Fleck mewawancari 25 jurnalis senior dan pemimpin redaksi di Jerman. Kesaksian mereka menguak cerita muram soal kebebasan pers.

Internet Membawa Petaka

Sejak kebangkitan era internet, koran-koran berbondong-bondong membuka layanan informasi di dunia maya. Investasi bernilai jutaan Euro digelontorkan dengan harapan, pengguna internet yang kebanyakan berusia muda akan menarik minat investor untuk beriklan. Namun kenyataannya berbanding terbalik. Sebagian besar media mencatat angka merah dan kerugian melonjak setiap tahunnya.

Berkurangnya anggaran disertai dengan meningkatnya tekanan kerja seiring konsumen yang haus dan harus disuapi selama hampir 24 jam. Padatnya beban kerja memaksa redaksi bekerja lebih cepat. Riset mendalam yang selama ini menopang kualitas terpaksa diabaikan. Laporan investigatif menjadi barang langka.

Fenomena tersebut terutama terasa di antara harian-harian lokal. Untuk menghemat ongkos produksi, mereka seringkali mengadaptasi naskah dan muatan yang dibuat oleh perusahaan dan PR Agency. "Begitulah akhir dari kebebasan pers," keluh Michael Konken dari Asosiasi Jurnalis Jerman (DJV).

Seperti juga sering terjadi di Indonesia, perusahaan-perusahaan berani mencabut iklan dari sebuah media jika dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan manajemen atau keputusan politik yang membela kepentingan mereka. "Ini bukan kebebasan pers yang kita inginkan," tukas Konken.