1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peringkat Korupsi 2013

Heimo Fischer4 Desember 2013

Menurut studi Transparency International, pemuncak peringkat tidak korup adalah negara-negara Skandinavia. Jerman termasuk kelompok atas negara tak korup itu, sementara Indonesia di peringkat 114 dari 177 negara.

https://p.dw.com/p/1ASUu
Foto: fovito/Fotolia

Transparency International meranking Yunani sebagai negara Uni Eropa, dengan kasus korupsi paling meraja lela. Demikian indeks korupsi yang dipublikasikan Selasa (03/12). Namun Yunani adalah negara yang situasinya membaik dibanding tahun lalu, sehingga peringkatnya juga membaik dan berada di ranking 80 dari 177 negara di dunia.

"Dalam upaya memerangi krisis utang, Athena mencapai kemajuan dan melaksanakan beberapa kebijakan politik penting", kata Finn Heinrich, dari Transparency International.

Ia menjelaskan lebih lanjut, di antara negara-negara Uni Eropa, Spanyol yang kehilangan skor terbanyak. Negara itu kehilangan 10 poin dan berada di posisi ke 40. Negara itu dilanda krisis ekonomi sejak lima tahun lalu. Dari studi itu tampak jelas, terutama di negara-negara Uni Eropa yang dilanda krisis keuangan, tingkat korupsinya juga meningkat.

Bersama Spanyol, Mali, Gambia, Guinea-Bissau dan Libya juga kehilangan jumlah skor sama. Hanya Suriah, yang sekarang dilanda perang saudara kehilangan lebih banyak poin. Jerman berada di peringkat 12 bersama Islandia. Sementara Indonesia mendapat skor sama seperti tahun 2012, yaitu 32. Meski demikian, posisi Indonesia membaik, dari peringkat 118 menjadi 114.

Ranking Tahunan

Index Korupsi Transparency International 2013 Englisch

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) mulai diperingkat dari angka 0 sampai 100. Nilai 100 adalah tingkat korupsi paling rendah. Negara yang paling terbebas dari korupsi adalah Denmark dan Selandia Baru. Kedua negara mendapat 91 poin, disusul Finlandia dan Swedia dengan 89 poin. Sementara tempat terbawah tahun ini diduduki Afghanistan, Korea Utara dan Somalia dengan delapan poin.

Indeks itu bertujuan memberi gambaran tentang banyaknya kasus penyogokan dan proses memperkaya diri yang dilakukan anggota pemerintahan, aparat negara dan institusi umum lainnya. "Angka, data dan fakta bagi indeks itu diperoleh dari studi dan perkiraan institut internasional seperti Bank Dunia. Selain itu, pebisnis serta pakar dari negara-negara diminta pendapatnya dan jajak pendapat diadakan pada rakyat negara itu yang berada di dalam dan luar negeri", ijelas Heinrich.

Di banyak negara anggota Uni Eropa, korupsi berkaitan erat dengan krisis keuangan. "Akibat krisis keuangan, institusi publik tidak punya cukup uang." papar Heinrich. Menurutnya, peringkat buruk yang diperoleh sebuah negara biasanya mendorong pemerintah negara itu untuk mengambil tindakan untuk memperbaiki posisi. "Sebagian besar negara melihat studi tersebut sebagai tanda bahaya, dan berusaha memperbaiki diri. Banyak yang bertanya kepada kami, bagaimana cara memperbaiki rankingnya," jelas Heinrich lebih lanjut.