1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peneliti Otak Temukan Pemicu Kekerasan

Clara Walther9 Februari 2015

Ilmuwan terus mempertanyakan: apakah manusia pada dasarnya jahat? Apakah kekerasan adalah perilaku alami? Sebuah kajian neurobiologi melacak penyebab kekerasan.

https://p.dw.com/p/1EXK2
19.11.2014 DW FuG Schlaganfall

Warta berita kini selalu menyajikan adegan brutal. Mulai dari penyembelihan manusia di depan kamera, kekejaman saat perang saudara hingga serangan teror. Para ilmuwan sejak lama terus mempertanyakan: apakah manusia pada dasarnya memang jahat?

Pelaku kekerasan dan brutalitas disebut "sakit" atau tidak normal. Tapi "penyakit" itu sering menular dengan cepat, menjadi aksi kekerasan massal, pemerkosaan massal atau juga genosida.

Pakar psikoanalisa Siegmund Freud meyakini, kekerasan pada manusia merupakan sifat alami yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Juga bagi para ahli neurobiologi pertanyaannya adalah apakah melakukan aksi kekerasan termasuk dalam sifat alami manusia. Pakar biologi saraf, dokter dan psikoterapis Joachim Bauer melakukan penelitiannya, dan lima tahun lalu membuat buku "Schmerzgrenze" atau terjemahan bebasnya: batas rasa sakit.

Sistem pemberi ganjaran di otak

Terutama para peneliti saraf dan otak melakukan eksperimen untuk mengamati, apakah jika manusia melakukan agresi, sistem pemberi rasa bahagia di otaknya diaktifkan? Hasilnya: pada manusia normal, aksi kekerasan tanpa alasan kuat, samasekali tidak memberi keuntungan pada sistem kebahagiaan di otak.

"Yang memicu aktifitas sistem pemberi ganjaran rasa bahagia di otak adalah jika kita mendapat perhatian, pengakuan dan penghargaan", ujar ahli biologi saraf itu. Tapi juga terdapat paradox, bahwa orang siap melakukan aksi kejahatan, agar dihargai dan diakui sebagai anggota sebuah kelompok.

Lewat tesis ini, para peneliti saraf dan otak dapat menjelaskan, apa yang mendorong para remaja bergabung dengan grup pelaku kekerasan. Yakni mencari pengakuan dan di sini mereka merasa dihargai, sehingga sistem pemberi ganjaran di otak mereka juga diaktifkan.

Joachim Bauer menegaskan, inilah mekanisme yang mendorong para remaja Eropa secara sukarela menggabungkan diri dengan kelompok "jihadis" Islamic State yang melakukan teror di Suriah dan Irak. Dalam tatanan Eropa mereka tergolong "pecundang". Tapi setelah bergabung dengan ISIS dan melakukan aksi brutal, mereka jadi punya harga diri dan merasa diakui.

Cegah produksi pecundang

Karena itulah, para ilmuwan mengingatkan, sebuah kelompok masyarakat hendaknya mencegah jangan sampai muncul kelompok "pecundang" semacam itu. Karena pecundang semacam itu menjadi potensi bahaya menjadi radikal saat mencari pengakuan dan penghargaan.

Para pelaku kekerasan, apakah itu "jihadis" Islamic State atau anggota NeoNazi memiliki pola yang mirip. Ditelantarkan orangtua, gagal di sekolah, mendapat diskriminasi dari masyarakat. Inilah para pecundang tersebut, yang merasa sakit, bukan fisik tapi sakit psikis di otak. Jika rasa sakit mencapai ambang batas, mereka akan menjadi agresif.

"Ini adalah reaksi alami dari evolusi. Kita memiliki kemampuan untuk menjadi agresif, sebagai mekanisme pertahanan diri yang kita perlukan saat ada ancaman bahaya", ujar pakar biologis saraf Jerman itu. Dengan begitu bisa dijelaskan, mengapa para pecundang yang mengalami rasa sakit psikis, memiliki kesiapan lebih tinggi untuk melakukan aksi kekerasan dan brutalitas.