1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peneliti Jerman Temukan Protein Anti-Artritis

Carla Bleiker19 Maret 2014

Tim riset Jerman menemukan protein yang dapat mengatur penyakit autoimun. Dan mereka harus berterima kasih kepada seekor tikus yang sangat istimewa yang memungkinkan perawatan baru atas artritis.

https://p.dw.com/p/1BSLh
Foto: picture alliance/Rolf Kremming

Radang sendi atau artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang mempengaruhi sendi pada tangan dan kaki. Sistem kekebalan tubuh seorang pasien merusak jaringan ikat. Alhasil kapsul sendi meradang, berujung pada pembengkakan dan menghambat gerakan pada bagian yang sakit. Sekitar 800.000 orang menderita penyakit ini hanya di Jerman saja - hampir satu persen dari total populasi.

Kini sekelompok ilmuwan dari Institut Max Planck untuk Imunologi dan Epigenetika di Freiburg menemukan cara yang dapat memperluas pemahaman atas penyakit autoimun seperti artritis reumatoid.

Sel-sel multitalenta

Tim yang dikepalai imunolog molekul Jerman, Michael Reth, menemukan bahwa sel-sel lebih responsif dan menyebar sinyal stimulasi, yang bisa menyebabkan penyakit seperti artritis, saat sel B kekurangan protein yang disebut PTP1B. Protein PTP1B yang kurang aktif mengakibatkan reaksi autoimun yang lebih parah di mana tubuh menyerang jaringan yang sehat.

"Temuan yang mengejutkan adalah sel B terlibat dalam penyakit dengan cara seperti ini," ujar Michael Reth kepada DW. "Sel B umumnya ditaruh dalam satu laci - begitu diaktifkan, mereka memproduksi antibodi. Namun kini kami menemukan bahwa sel B punya peranan lain. Mereka juga dapat terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh secara umum."

Tangan pasien artritis reumatoid merupakan bagian tubuh yang paling sering terpengaruh
Tangan pasien artritis reumatoid merupakan bagian tubuh yang paling sering terpengaruhFoto: picture-alliance/Okapia

PTP1B adalah juru kunci. Protein ini harus berkekuatan penuh untuk dapat menghentikan meluasnya sinyal beracun sehingga mencegah tubuh menyerang jaringan sendiri seperti yang terjadi pada pasien artritis reumatoid.

Mencari tahu cara kerja protein merupakan penemuan penting, namun bukan berarti solusi untuk menyembuhkan artritis berhasil ditemukan, ungkap Michael Reth. Untuk itu, kalangan periset harus membuat stimulasi buatan terhadap protein PTP1B, dan mereka masih mencari cara yang mudah untuk melakukannya.

"Dalam industri farmasi, banyak pengembangan untuk menciptakan penghambat," jelas sang imunolog molekul. Namun menstimulasi atau bahkan menciptakan sebuah protein pada pasien adalah soal berbeda.

"Belum ada obat yang bisa melakukan ini," kata Reth. "Menghambat sesuatu adalah keseharian bagi banyak pengembang obat, namun tentunya meningkatkan sebuah aktivitas sangatlah sulit."

Tikus yang beruntung

Ada terlalu banyak protein untuk dilihat satu per satu dan menguji coba apakah dapat menghentikan sinyal dan mencegah peradangan. Reth dan kawan-kawan menemukan protein PTP1B secara tidak sengaja.

Para ilmuwan menemukan properti yang berguna dari PTP1B karena bekerja dengan jenis tikus yang tepat yang diciptakan oleh kelompok riset lainnya. Cara rekayasa genetika tikus-tikus ini memungkinkan para peneliti untuk 'menghapus' protein PTP1B dari sel B mereka dan menyelidiki efeknya.

"Lalu kami berkata, 'Mari kita coba dan lihat apa fungsi yang satu ini,'" tutur Reth. "Jadi ketersediaan materi dan model genetika yang memulai proyek ini."