1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peneliti Indonesia Ikut Serta Pertemuan Penerima Nobel

Carissa Paramita6 Juli 2013

Pertemuan tahunan penerima Nobel di Lindau tahun ini salah satunya berupaya untuk mengangkat kesadaran warga dunia akan teknologi dan metode kimia hijau. Dua orang peneliti Indonesia ikut serta.

https://p.dw.com/p/192uO
Foto: Rolf Schultes

"Ini adalah dialog antar manusia," ucap Countess Bettina Bernadotte saat membuka pertemuan hari Minggu (30/06/13) selaku presiden dewan Lindau Nobel Laureate Meetings. Dan memang hingga penutupan resmi hari Jumat (05/07/13), semua peserta dapat berdialog secara terbuka tanpa ada jarak.

Isu energi menjadi sorotan utama. Diskusi panel yang berlangsung di antaranya membahas pencarian solusi ramah lingkungan terkait penyimpanan dan konversi energi kimia.

Pertemuan tahun ini diikuti oleh 34 penerima Nobel. Salah satunya José Ramos-Horta, mantan presiden Timor Leste dan penerima Nobel Perdamaian tahun 1996, yang secara antusias mendukung sains dan riset dalam mengatasi tantangan universal.

Sejak tahun 2012, pertemuan penerima Nobel di Lindau turut diramaikan oleh ratusan peneliti muda yang mengikuti pendaftaran terbuka. Tahun ini ada 626 peneliti dari 77 negara. Sepekan dialog ilmiah, penuh kuliah edukatif dan inspiratif, diskusi, panel, dan tak ketinggalan acara sosial. Sejumlah peneliti muda yang hadir menganggap pertukaran budaya dan generasi amatlah penting bagi sains.

Kelvin Anggara: Penelitian sains di Indonesia masih sering terbentur fasilitas
Kelvin Anggara: Penelitian sains di Indonesia masih sering terbentur fasilitasFoto: DW/C.Paramita

Minim Peneliti Indonesia

Sayangnya Indonesia hanya diwakili oleh 2 orang peneliti. Malaysia terwakili 5 peneliti muda, Jepang 15 peneliti, 38 peneliti dari India, dan jumlah peneliti terbesar tentunya datang dari negara penyelenggara yakni Jerman dengan 139 peneliti.

"Ini menyangkut sosialisasi. Sebenarnya banyak mahasiswa Indonesia yang tidak tahu mengenai pertemuan ini," ungkap Kelvin Anggara (23), salah seorang wakil Indonesia dari Medan, Sumatera Utara. Peraih medali emas dalam Olimpiade Kimia Internasional tahun 2008 ini mengetahui adanya pertemuan tahunan penerima Nobel melalui partisipasinya pada Asian Science Camp tahun 2009 di Jepang.

"Dan satu hal lagi, tidak ada dukungan resmi atau partner Lindau di Indonesia. Tapi negara-negara lain seperti Singapura mempunyai partner resmi sehingga mereka bisa mengirim duta Singapura ke Lindau. Sedangkan untuk Indonesia tidak ada hal seperti itu," tambahnya.

Sementara Tatas Brotosudarmo (32), kepala pusat riset untuk pigmen fotosintesis (MRCPP) di Universitas Ma Chung di Malang, Jawa Timur, mendapatkan informasi melalui Himpunan Kimia Indonesia. Ia berpendapat: "Sebenarnya ini menjadi sarana bagi para ilmuwan Indonesia untuk menggali ilmu dan juga berani untuk mencoba suatu hal yang baru, berinteraksi dengan para penerima Nobel."

Tatas Brotosudarmo: Penelitian di bidang fotosintesis sangat dibutuhkan di Indonesia
Tatas Brotosudarmo: Penelitian di bidang fotosintesis sangat dibutuhkan di IndonesiaFoto: DW/C.Paramita

Belajar dari Para Senior

Tatas pun tidak melewatkan peluang bertukar pikiran secara langsung dengan para penerima Nobel. Atau bahkan berfoto.

"Saya ingin melihat kesabaran para penerima Nobel. Bekerja sekian puluh tahun dan juga ketekunannya melalui kesulitan maupun sukses. Mereka konsisten langkah demi langkah pada jalan yang sama. Itu yang menjadi motivasi saya untuk memiliki suatu kesabaran menghasilkan suatu hasil penelitian yang benar-benar mengubah perspektif dunia," kata Tatas yang merasa terpanggil untuk berkontribusi nyata menjawab kebutuhan nasional dalam mengatasi krisis energi melalui sains aplikatif di bidang energi terbarukan.

Kelvin yang mendapat beasiswa penuh dari Universitas Nasional Singapura, dan tahun ini siap melanjutkan studi ke jenjang PhD di Universitas Toronto, Kanada, memberikan reaksi serupa. Tidak hanya dapat mengenal lebih jauh penelitian Serge Haroche dan David J. Wineland, pasangan penerima Nobel Fisika tahun 2012, ia juga mendapatkan sumber motivasi. "Karena di riset tentu saja kita selalu menemui kesulitan, frustrasi dan kegagalan. Pertemuan semacam ini menjadi sumber energi saya untuk melakukan riset," jelasnya.

Masukan berharga juga didapat para peneliti muda yang tentunya membutuhkan pendanaan untuk menjalani riset mereka. "Jadi pemberi dana biasanya menanyakan KPI (Key Performance Indicator). Ini hasilnya apa, tahun depan hasilnya apa. Ini butuh pekerjaan yang benar-benar fundamental yang membutuhkan kesabaran. Tetapi jika ini ditemukan, aplikasi-aplikasi yang lebih besar dapat ditemukan," ujar Tatas merujuk pada penemuan internet berkat penemuan blue sky research seperti laser dan kabel serat optik.

Program, foto, video dan hasil pembahasan dalam pertemuan ini dapat Anda akses di sini.